"Kalau kamu tidak bermaksud apa-apa, kenapa dinding kamarmu penuh dengan FOTOKU?!!" teriakku pada Firman.
Firman hanya diam. Dia berusaha memutar kursi rodanya agar menghadap ke arahku.
"Aku minta penjelasan!!" aku sudah mulai sulit mengontrol emosiku sendiri.
Aku tidak pernah berfikir ada orang yang berniat mencetak foto-fotoku untuk dipajang seperti ini. Bagaimana bila niatnya buruk dan menjadikan aku sebagai objek fantasinya? Aku bergidik ngeri.
Firman memberikan isyarat pada Arum. Arum mengerti, ia segera membawa suster yang berada di sampingnya untuk keluar tanpa membantah.
"Apa yang ingin kamu dengar?" tanya Firman.
"Apa maksud semua ini?" aku menunjuk ke arah foto-fotoku.
Dia berusaha mendekat dengan memutar kursi rodanya sendiri.
"Seperti yang kamu lihat, ini semua kamu. Aku menyimpan semua fotomu, sejak kita sekolah sampai sekarang," katanya tenang.
"Untuk apa kamu melakukan ini?" tanyaku.
"Karena aku ingin melihatmu setiap saat. Sebelum aku memejamkan mata dan ketika aku membuka mata. Aku ingin melihatmu ketika aku merasa bahagia, ketika aku merasa sedih, ketika aku kecewa, ketika aku lelah bekerja."
"Tapi kenapa?" tuntutku.
"Karena aku mencintaimu sejak kelas 1 SMP sampai detik ini."
Hatiku melonjak, tidak siap dengan pernyataan seperti ini.
Aku tertawa mengejek.
"Sejak SMP sampai detik ini? Kamu gila?"
"Ya, aku gila karena kamu," jawabnya.
Aku terperangah.
"Kenapa aku?"
"Sepertinya aku tidak penting dalam ingatanmu. Jadi kamu nggak mengingat apapun tentang aku." Mimik wajahnya langsung berubah.
"Nggak, Man. Aku selalu menghargai setiap orang yang pernah ada dalam hidupku. Termasuk kamu. Aku inget kita berteman sejak aku pindah sekolah waktu kelas 1 SMP. Kita sekelas waktu kelas 1 dan 2. Trus kita sama-sama ikut ekstrakurikuler karate sama anggar. Trus waktu lulus SMP aku dibawa pindah lagi sama orang tuaku kesini. Kita nggak pernah ketemu lagi. Kita ketemu lagi pas kuliah. Kita satu kampus beda jurusan. Aku arsitektur dan kamu nuklir. Kita ketemu beberapa kali di kampus. Gitu kan?"
"Aku menghargai semua yang kamu ingat," Firman tersenyum.
"Aku akan lebih menghargai lagi kalau kamu ingat kenapa aku ikut karate," lanjutnya.
Aku berusaha mengingat kejadian yang sudah belasan tahun berlalu itu. Tapi nihil.
Dia tersenyum.
"Kamu ingat waktu kelas 1 aku pernah dibully sama Ragil dan Tommy?" tanyanya berusaha mengingatkan.
Aku berusaha mengingatnya.
...
Ketika itu, aku sedang menulis lagu Karma-Coklat untuk dipajang di majalah dinding. Kelas dalam keadaan sepi. Hanya ada beberapa anak di kelas.
Tiba-tiba aku mendengar suara makian yang ditahan dan suara bergedebug. Aku menoleh dan melihat di sudut kelas ada 2 orang anak yang sedang menendang sesuatu. Sekolahku adalah sekolah favorit dengan ruang kelas yang besar dan luas. Bahkan dari tempatku duduk aku tidak bisa melihat dengan jelas apa yang mereka lakukan.
Akhirnya aku mendatangi mereka dan melihat apa yang mereka lakukan. Mereka sedang menendang seorang anak berbadan kecil dan memaki-makinya. Dan dengan marah aku mendorong mereka berdua dan berusaha melindungi anak itu. Dengan sombongnya aku menantang dua teman sekelasku itu, meskipun badan mereka lebih besar dari badanku.
...
Aku mengingatnya. Anak yang dibully itu adalah Firman. Aku mengingat dengan jelas ketika anak itu melipat seluruh tubuhnya dan melindungi kepalanya dengan tangan ketika kaki-kaki temannya sendiri memberi lebam di tubuhnya.
Air mataku menetes. Aku berusaha mengusapnya sebelum ia jatuh di pipi.
"Ya, aku ingat," kataku lirih.
Dia masih juga tersenyum.
"Jangan bilang setelah itu kamu jadi suka sama aku," tebakku.
"Aku tidak hanya menyukaimu, aku benar-benar memujamu. Kamu sudah menyelamatkan nyawaku," katanya dengan pandangan yang membuatku salah tingkah.
"Jangan berlebihan. Aku cuma melakukan yang seharusnya aku lakukan. Kalau pun waktu itu aku nggak nolong kamu, pasti ada orang lain yang nolong kamu," kataku. "Malah sekarang aku yang berhutang nyawa sama kamu. Kamu yang nyelamatin nyawaku."
"Aku nggak keberatan menukar nyawaku sama keselamatan kamu," kata-katanya membuatku kembali terhenyak.
Kenapa kata-kata itu tidak keluar dari mulut Hendy yang notabene adalah kekasihku selama 2 tahun ini, calon suamiku. Kenapa harus dari orang yang bahkan tidak pernah aku ingat keberadaannya.
Aku berbalik, menyembunyikan air mata yang nekat keluar lagi.
Kulihat foto itu satu per satu.
Ada fotoku dengan Firman dan beberapa teman kami sedang latihan karate. Ada fotoku sedang mengangkat sebuah medali yang terkalung di leherku. Ada fotoku tengah duduk di taman di sekitar kampus sambil membaca majalah desain. Ada fotoku sedang tertawa bersama teman-teman kampusku. Ada fotoku yang sedang berjongkok sambil mengintip lewat kamera. Bahkan ada foto wisudaku dari ujung kepala sampai ujung kaki berukuran poster dengan bingkai berukir berwarna emas.
Entah berapa puluh foto lainnya yang semua adalah fotoku.
"Kamu mengambil ini dari sosmed ku?" tanyaku.
"Ya, dan beberapa diantaranya aku ambil sendiri waktu aku ketemu kamu di kampus," katanya.
Aku menunjuk sebuah foto. Aku tersenyum. Rasa marahku padanya menguap begitu saja.
"Kamu dapet ini dari mana?" tanyaku.
Itu adalah fotoku ketika ikut PON waktu kami kelas 3.
Dengan berbalut seragam anggar, aku menenteng masker ¹ di lengan kiriku dan pedang jenis Degen di tangan kanan. Berdiri dengan kaki bersilang dan senyum nakal dengan sebelah mata berkedip. Aku tak pernah ingat pernah secentil itu.
"Aku dapat dari Yoga. Waktu itu aku nggak bisa ikut, soalnya aku ikut Olympiade Matematika," katanya.
"Ya aku ingat."
Saat itu kami adalah atlet kadet, atlet pemula dibawah 17 tahun. Jarang sekali ada atlet di cabang anggar. Karena hanya sekolah kami yang mempunyai ekskul anggar, maka pelatih membawa kami sebagai atlet kadet. Harusnya kami berangkat berlima, tapi Firman berangkat untuk Olimpiade Matematika.
Di Floret ada Indah yang seharusnya datang bersama Firman. Sedangkan aku membawa Degen bersama Yoga. Dan David memegang Sabel.
Rasanya melihat foto-foto ini aku kembali ke kenangan-kenangan indah di masa lalu.
"Lin..," tiba-tiba Firman memegang tanganku.
"Maukah kamu menikah denganku?"
Hah??
Tak cukupkah kejutan hari ini? Mendengar dia mencintaiku sejak lama saja sudah membuatku terkejut. Dan sekarang dia membuatku lebih terkejut dengan memintaku menikah dengannya?!
"Man.. kamu harus tau sesuatu," kataku. "Aku punya pacar. Dan kami sudah berencana menikah."
"Tapi belum kan?" pertanyaannya membuatku ingat pada Hendy, kekasihku yang terus mengulur waktu untuk melamarku.
"Tapi aku nggak bisa, Man. Aku cinta sama dia. Dan dia juga cinta sama aku. Aku nggak mungkin ninggalin dia buat nikah sama kamu."
"Aku tidak memaksa, Lin. Mungkin sekarang belum bisa. Tapi kita kan nggak pernah tahu apa yang akan terjadi besok," ujar Firman.
Ya, itu semua rahasia Tuhan.
...
Keterangan:
-masker¹ : alat yang digunakan untuk melindungi wajah, berbentuk oval dan biasanya dibuat dari bahan foil
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Mungkin ini lah yg di namakan Jodoh,Jodohnkamu adalah Forman bukan Hendy..
2024-08-22
1
Qaisaa Nazarudin
Berarti sekarang impas dong..
2024-08-22
0
Nacita
baru naca 2 bab cukup puas bacanya ☺
2024-02-22
0