Jam dinding menunjukkan pukul 17.02 WIB ketika hujan tiba-tiba turun dengan lebat. Aku yang sedang mengerjakan pembukuan menoleh ke arah jendela kaca besar di lantai dua. Air hujan bagai ditumpahkan dari langit. Padahal beberapa saat yang lalu matahari masih bersinar cerah.
Aku berjalan ke arah mini bar di pojok ruangan. Kubuat secangkir coklat panas untuk menghangatkan tubuhku. Kubawa beberapa camilan pemberian Satria yang kusimpan dalam toples. Hujan-hujan begini tentu saja menjadi waktu yang tepat untuk secangkir coklat dan berbagai camilan.
Hanya ada aku dan Bi Siti di lantai dua. Penghuni yang lain masih bekerja di lantai bawah. Beberapa saat yang lalu, Bi Siti meminta izin untuk beristirahat di kamarnya. Otomatis aku sendirian di ruang tamu ini. Kunyalakan winamp di laptopku, mengalunkan lagu Padi-Kasih Tak Sampai.
Sambil duduk di atas karpet, kulanjutkan memeriksa pembukuan WO yang dikirim via email. Sesekali kusinkronkan lagi dengan data yang dikirim sebelumnya.
"Lagi sibuk, Sayang?" aku menoleh ketika kudengar suara yang sangat kukenal terdengar dari arah tangga.
"Hen, ya ampun. Kamu hujan-hujanan?"
Aku segera berdiri dan membuka jasnya yang basah. Kugantung di kaitan yang berjajar di dinding ruang tamu.
"Tunggu, aku ambilin handuk kecil dulu." Aku bergegas masuk ke dalam kamar dan membawa ke luar sebuah handuk.
"Ko bisa keujanan?" tanyaku sambil membantunya mengeringkan rambut.
"Tadi dari sana nggak ujan. Baru di perempatan depan ujan turun," kata Hendy sambil menggulung lengan kemejanya.
Kulap wajahnya yang juga basah.
"Terima kasih," ujarnya sambil memegang tanganku. Dikecupnya sebentar.
Kuserahkan handuk itu agar dia bisa mengeringkan rambutnya sendiri.
"Mau aku bikinin coklak panas, kopi atau teh?" tawarku.
"Kopi aja."
Aku kembali ke mini bar dan membuatkannya secangkir kopi.
"Kok tumben akhir bulan gini bisa pulang sore? Biasanya kamu kan lembur."
Tidak ada sahutan.
"Sayang...."
Kulihat dia masih duduk di atas sofa di depan laptopku. Di tangannya ada handphoneku yang sedang ditatapnya dengan serius. Memang tak ada yang kami rahasiakan satu sama lain. Jadi aku tidak pernah melarangnya membuka handphoneku. Begitu pun juga dia.
Beberapa detik kemudian kubawa kopi pesanannya. Kuletakkan pelahan di atas meja.
"Siapa Satria?" tanya Hendy ketus.
"Satria? Satria Permana?" tanyaku.
Hendy menyodorkan handphoneku. Kulihat ada beberapa pesan dari Satria di sana.
"Oo, dia klien baruku yang di Garut itu," kataku sambil meletakkan handphoneku tanpa kubaca pesannya terlebih dahulu.
"Emangnya pantes kalau klien sampe nanyain udah mandi belum, udah makan belum."
"Hah?" aku terlonjak kaget. Kuangkat lagi benda pipih itu. Dan benar saja apa yang dikatakan Hendy.
"Dia becanda, Hen."
"Oh, becanda, ya?" katanya sinis. "Kalo becanda kenapa dia nanyain kapan Mama ke sana? Kenapa dia sampai manggil Mama dengan sebutan Mama Mertua?"
"Udah aku bilang dia cuma becanda. Dia orangnya emang gitu. Lagian aku ada bisnis lain sama dia."
"Kamu masih mau ngeles? Sebegitu inginnya kamu cepet-cepet nikah sampai kamu cari pria lain yang mau nikahin kamu?! Perempuan macam apa kamu ini?"
Aku terasa disambar petir mendengar kata-katanya.
"Serendah itu kah aku di matamu, Hen?"
Hendy langsung berdiri dan menyambar jas hitamnya. Dia melangkah lebar menuju tangga.
"Hen, dengarkan dulu penjelasanku! Kamu salah faham!" Aku berlari mengejarnya menuruni tangga.
Dan di depan pintu, dia terhalang oleh seorang kurir yang mengantarkan sebuah buket mawar merah yang sangat besar.
"Kak, ada kiriman buket bunga lagi buat Kakak," ujar Sasa sambil menyodorkan sekotak coklat yang menyertainya.
Hendy masih mematung di depan pintu dengan wajah merah padam. Disambarnya kartu ucapan yang ada pada buket itu.
"Sebenarnya kamu bermain api dengan berapa pria?" sorot matanya seakan ingin membunuhku.
Hendy membuka pintu kaca itu dengan kasar. Dia berlari ke arah mobilnya terparkir tanpa menghiraukan derasnya air hujan.
Aku mengejarnya ke luar.
"Hen, please. Dengerin aku dulu!" teriakku sambil menggedor kaca mobil.
"Nggak ada yang perlu dibicarakan. Semuanya sudah berakhir. Pergi saja dengan pria mana pun yang kamu mau!"
"Hen...."
Dia tidak mendengarkanku sama sekali. Dimundurkannya mobilnya dengan cepat. Dilajukannya mobil itu dengan kecepatan tinggi.
Tinggallah aku sendiri dalam pelukan air hujan. Baju dan rambutku sudah basah kuyup. Aku sudah tidak peduli lagi saat seisi studio ke luar untuk menyaksikan apa yang terjadi. Pak Samad berlari ke arahku dengan sebuah payung di tangannya. Dipayunginya tubuhku yang sudah terlanjur basah. Aku tidak bisa membedakan lagi apakah air mata atau air hujan yang kini membasahi wajahku.
...
Bi Siti memberikan secangkir teh hangat untukku yang baru saja berganti pakaian. Dikeringkannya rambutku yang basah dengan handuk. Persis seperti yang aku lakukan pada Hendy beberapa menit yang lalu.
Hendy. Dua tahun kami bersama, tapi kenapa dia bisa menjudgeku seperti itu sekarang? Tak percayakah dia padaku? Kata-katanya benar-benar melukai hatiku. Tidak hanya hati, tapi juga harga diriku. Bagaimana dia bisa mengatakan bahwa aku wanita murahan?
"Udah, Non, jangan dipikirin. Nanti kalau terlalu banyak pikiran, Non sakit. Mas Hendy harusnya tau kalau Non itu memang banyak fansnya. Harusnya dia pertahanin Non, bukannya malah diputusin. Dia laki-laki paling bodoh yang pernah Bibi kenal."
Aku masih merasa bermimpi Hendy melakukan ini padaku. Begitu mudahnya dia mengakhiri hubungan kami. Apakah karena dia cemburu? Seharusnya dia mendengarkan semua penjelasanku. Bukannya pergi begitu saja dengan mempermalukanku seperti ini.
"Lin?" seseorang membuka pintu kamarku.
Mama! Siapa yang memberitahu Mama?
"Kamu baik-baik aja, Sayang?"
Aku diam tak menjawab. Bi Siti langsung pamit dan ke luar dari kamarku.
"Ma, kenapa Mama ke sini?" tanyaku.
Mama menghampiriku dan duduk di tepi tempat tidur. Dibelainya rambutku penuh kasih.
"Mama sudah dengar apa yang terjadi. Memang sejak awal dia tidak serius padamu, Lin."
"Nggak, Ma. Dia serius sama Lintang. Dia benar-benar mencintai Lintang. Tadi dia cuma cemburu aja, makanya dia gelap mata," belaku.
"Ya ampun, Lin. Kamu masih mau membelanya?" Mama terlihat sangat kesal. "Kamu terima dipermalukan seperti ini?"
Tentu saja tidak!
"Lin, Mama tidak akan mengizinkan kamu berhubungan dengan laki-laki itu lagi. Udah, ayo pulang!" Ditariknya tanganku.
"Nggak, Ma. Lintang mau di sini aja. Lintang nggak pa pa kok."
"Jangan ngebantah! Mama nggak mau kecolongan lagi. Biar Mama yang urus soal jodoh kamu."
Aku sudah tidak bisa mengatakan apa pun bila Mama sudah mengambil keputusan. Lebih baik mengikuti kemauannya dulu, baru kemudian dinegosiasikan kembali. Aku yakin meskipun Mama seperti itu, beliau ingin aku mendapatkan yang terbaik.
Selama seminggu aku tinggal di rumah orang tuaku. Mama selalu menemaniku kemana pun aku pergi, termasuk berangkat bekerja. Aku sudah seperti anak TK yang terus dibuntuti ibunya kemana-mana. Mama serius dengan ucapannya tentang Hendy. Tak ada sedikit pun kesempatan untukku menghubunginya. Tapi sepertinya Hendy pun tidak berniat mencariku apalagi meminta maaf dan memperbaiki hubungan kami.
"Kata Sasa dan Ratri, ada yang ngirimin kamu buket bunga setiap hari. Dari Firman, katanya. Benarkah itu?" Mama sudah melemparkan pertanyaan saat aku baru saja duduk di ruang tunggu studio.
"Nggak tiap hari, Ma. Cuma sering aja," kataku cuek sambil membuka laptop.
"Firman yang nolongin kamu waktu itu 'kan? Yang temen SMP kamu?"
"Iya."
"Dia udah sembuh?"
"Belum. Lagi terapi. Mudah-mudahan bisa jalan secepatnya."
"Kerjanya apa?" tanya Mama.
Aku mendengus kesal. Pasti Mama akan menanyakannya.
"Lintang nggak tau. Yang Lintang tau, dia lulusan Tehnik Nuklir di kampus Lintang dulu. Entah kerja di perusahaan tambang atau minyak. Yang pasti dia jarang ada di Indonesia."
Mama hanya mengangguk-angguk.
"Kamu udah nengokin dia lagi?" tanya Mama.
"Kan seminggu ini Lintang nggak boleh kemana-mana," jawabku sambil menaik turunkan kursor di layar laptopku.
"Ya udah, yuk, kita jenguk dia sekarang. Mama temenin."
"Hah?!" aku terkejut setengah mati.
Mau apa Mama nengokin Firman? Orang waktu dia di rumah sakit aja Mama nggak niat nengok.
"Kenapa? Ko kaget gitu? Udah, tutup laptop kamu. Kita ke sana sekarang!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Dhinok Farrel
hunting dan seleksi calon mantu ya maaaa😀😍
2023-10-21
2
Dhinok Farrel
makin kurang ajar nih Hendy 😬
2023-10-21
1
Dhinok Farrel
kok bisa Hendy ngomong gitu????
yaaaahhhh....ntar wes nikah, makin² aja dia gak bisa ngontrol mulutnya....apa yg dia pengen omong, njeblak aja tuh mulut...tanpa mikir, nyakitin ndak
2023-10-21
0