"Eh, Hendy gimana?" tanya Firman. "Aku sampai lupa kamu masih punya pacar."
"Aku udah nggak ada apa-apa lagi sama dia," jawabku ketus.
"Maksudnya, kalian udah putus?"
Aku mengangguk.
"Kok bisa?"
"Dia cemburu sama salah satu klienku. Ditambah lagi dia pikir aku selingkuh sama kamu," jelasku malas.
"Aku nggak ngerti. Kan dia tau, kalau kita memang sudah kenal dari dulu." Firman terlihat bingung.
"Aku nggak pernah bilang sama dia kalau kamu suka kirimin aku bunga. Kebetulan dia ada di studio, dan bunga dari kamu datang. Ya, udah. Kamu bisa bayangin sendiri."
"Aku nggak tau aku harus ikut bersedih atau malah seneng. Tapi kayaknya aku harus ngasih tips buat yang nganterin bunga itu," kata Firman tanpa rasa bersalah.
Plak!
Dan Firman pun mengaduh sambil menggosok pahanya.
"Lho, kenapa?" Ibu sudah berada di belakang kami.
"Itu Tante, Firman becandanya nggak lucu," kataku sambil pindah tempat duduk.
"Kamu itu lho, Le, anak orang dibecandain terus. Jadi gimana? Udah ngobrolnya?" tanya Ibu.
"Udah, Bu."
"Tapi saya harus telpon Mama dulu, Tante. Takutnya di rumah nggak nyiapin apa-apa," sahutku.
"Nggak pa pa, ndak usah nyiapin apa-apa. Nanti malah merepotkan," kata Ibu.
"Nggak pa pa, Tante," aku mencari kontak Mama di ponselku.
"Mamamu itu Ibu Vonny kan?" tanya Ibu.
"Iya," aku mengangguk sambil menajamkan telinga ke arah benda pipih di telingaku.
"Maaf. Sebentar ya, Tante," aku menjauh dari Firman dan ibunya.
Aku berjalan ke arah teras. Mama belum juga mengangkat panggilanku.
"Kemana sih, Mama," batinku.
"Halo Lin...," akhirnya ada jawaban dari sana.
"Ma, Lintang mau ngasih tau sesuatu. Firman sama orang tuanya mau ke rumah nanti malam," kataku to the point.
"Lho, kok dadakan. Ada apa?" tanya Mama di ujung sana.
"Kalo itu Lintang kurang tau," sahutku.
Tiba-tiba aku merasa ada usapan di bahuku. Aku menoleh. Ibu tersenyum dan memberi kode bahwa beliau mau bicara dengan Mama.
"Ma, ini Ibunya Firman mau bicara," aku memberitahu Mama agar beliau tidak terlalu kaget bila tiba-tiba suaraku berubah.
Aku memberikan handphoneku pada Ibu dengan sopan.
"Halo Jeng Vonny. Ini saya, Ratna, ibunya Firman. Masih inget sama saya?" Ibu mulai mengobrol dengan Mama.
Entah apa yang beliau berdua bicarakan, tapi terdengar begitu akrab dan hangat. Sesekali diselingi tawa renyah dari Ibu.
Aku berjalan ke arah ruang tamu di mana ada Firman dan Arum yang sedang duduk mengobrol.
"Gimana, Lin?" tanya Firman.
Aku mengangkat bahu.
"Tapi kamu serius, 'kan?"
"Serius apanya?"
"Mau aku lamar?"
"Iya, kan kita udah sepakat."
Tanpa kusangka Arum tiba-tiba berdiri dan memelukku.
"Makasih ya, Mbak," lirihnya. "Aku bakal seneng banget kalau Mbak mau nikah sama Mas Firman."
Aku belum sempat menjawab Arum ketika Ibu kembali dengan wajah berseri.
"Ini, Nduk." Beliau menyerahkan handphoneku. "Ibu mau nelpon Bapak sekarang. Sepertinya masih sempet buat ke sini." Beliau pergi ke kamar dengan senyum lebar.
Aku dan Firman saling pandang. Apa gerangan yang terjadi?
"Sebaiknya aku pergi," kataku sambil mengingat di mana aku meletakkan tasku.
Entah kenapa jantungku berdebar kencang. Seperti akan terjadi sesuatu. Semoga itu sesuatu yang baik.
"Rum, tadi tas Mbak di mana, ya?" aku mulai pusing mencari tasku.
"Masih di halaman kayaknya, Mbak. Di tempat tadi kita ngerujak," kata Arum mengingatkan.
"O iya," aku menepuk dahiku.
Kenapa aku jadi linglung.
"Mbak nervous, ya?" tanya Arum sambil berjalan ke arah depan.
"Nggak tau, Rum. Mbak pusing," kataku sambil berjalan mengikutinya.
"Lin...," tiba-tiba Firman menarik tanganku.
Aku langsung berhenti dan menoleh ke arahnya.
"Makasih ya," bisiknya dengan mata penuh rasa syukur.
Aku terdiam. Rasanya ada yang mencubit hatiku.
Aku tersenyum dan mengangguk.
"Aku pulang dulu, ya," pamitku. "Bilang juga sama Ibu kalau aku pulang."
Dia mengangguk. Dilepaskannya tanganku dengan berat hati.
Aku segera menyusul Arum yang sudah tidak terlihat.
...
Jam tanganku masih menunjukkan pukul 14.35 WIB. Daripada pulang ke rumah dan banyak pertanyaan, lebih baik aku pergi ke studio saja.
"Kak Lintang!" panggil Sasa dari arah meja kasir, begitu Pak Samad membukakan pintu kaca untukku.
"Apa, Sa?" aku menghampirinya.
"Kak Lintang ko nggak bilang-bilang sih, sama kita," rajuk Sasa dengan wajah cemberut.
"Bilang apa?" tanyaku bingung.
"Tadi Bu Vonny nelpon ke sini, minta dua fotografer ke rumah Kakak malem ini. Katanya Kakak mau dilamar. Kok Kakak nggak undang kami, sih," gantian Ratri yang merajuk.
Aku meraup wajahku dengan kasar. Aku tidak mengira Mama akan melakukan ini. Bukankah Mama tidak mengenal Firman? Bagaimana bisa Mama langsung menyetujui lamaran ini bahkan meminta fotografer untuk mendokumentasikannya?
"Nggak nyangka, akhirnya Pak Hendy ngelamar Kakak juga. Mungkin harus marahan dulu, Kak, biar kerasa betapa besar cintanya sama Kakak," celetuk Sasa yang jadi saksi peristiwa menyedihkan itu.
"Bukan sama Hendy, Sa," kataku malas.
"Apa?!" Sasa terkejut sampai menutup mulutnya. Dia terlihat menyesal karena mengatakan sesuatu yang salah.
"Ya udahlah. Kirim siapa aja yang lagi free ke rumahku. Ceritanya nanti aja. Kayaknya aku harus pulang."
"Mas Dewo juga nanyain, Kak," sambung Ratri.
"Ya, nanti aku telpon Mas Dewo."
Aku membatalkan untuk naik ke kamarku. Aku membuka pintu lagi dan bergegas ke parkiran. Langsung kulajukan mobilku ke rumah. Dan betapa terkejutnya aku ketika mobilku tidak bisa masuk ke halaman, karena halaman rumahku sudah dipenuhi mobil WO.
Aku segera merangsek masuk ke dalam rumah yang sudah dipenuhi orang-orang yang sedang mendekor rumahku.
"Ma, apa-apaan sih ini?" tanyaku begitu aku menemukan wanita yang melahirkanku itu.
"Apanya yang apa-apaan? Kamu nggak liat Mama lagi sibuk?"
"Ini berlebihan, Ma," ujarku sambil mengikuti Mama yang terus berjalan kesana kemari.
"Nggak ada yang berlebihan untuk anak perempuan Mama satu-satunya," katanya sambil memberi instruksi pada seorang pegawai yang sedang menempelkan aplikasi bunga-bungaan.
Aku menghela napas. Tidak ada gunanya membantah Mama, hanya menghabiskan energi.
"Lin, Mama udah bawakan beberapa kebaya dari butik. Kamu tinggal pilih aja mana yang cocok buat kamu," sela Mama diantara perintah-perintahnya.
Kebaya juga? Oh My God, ini sudah benar-benar berlebihan.
Ternyata Mama tidak hanya mendekor rumah kami. Beliau juga membawa seorang MUA untuk mendandaniku. Serta membuat para pegawai dapur bekerja ekstra dengan deretan menu yang diinginkannya.
Aku menyeret langkahku ke kamar. Segera kutelpon Firman dan mengadukan semua ini. Bukannya menenangkanku, dia malah tertawa dan bilang tidak sabar untuk melihatku nanti malam. Aku menyerah. Biarlah mereka lakukan apa yang mereka inginkan.
Malam mulai menjelang. Jam dinding menunjukkan pukul 19.40 WIB.
Aku turun dari kamarku dengan dandanan yang tidak biasa. Kebaya lace coklat muda dengan taburan kristal Swarovski dibagian pinggang. Juga dengan kain sutra bermotif bunga kecil berwarna senada sebagai bawahan. Tak lupa rambut panjangku yang dicepol dengan hiasan bunga mawar hidup. Dan riasan wajah natural yang membuatku terlihat segar malam ini.
Mataku menjelajah setiap sudut ruang tamu yang sekarang telah disulap jadi kebun bunga.
Kusentuh bunga-bunga aplikasi berwarna krem itu. Aku menyukainya. Semua terlihat sempurna. Namun tidak dengan hatiku. Apa karena bukan lelaki pujaanku yang akan datang melamar? Dengan semua persiapan seperti ini, bagaimana aku bisa membatalkan rencana pernikahanku dengan Firman kelak? Mama terlihat begitu bahagia, Ibunya Firman pun begitu. Sanggupkah aku nanti membatalkan semuanya?
"Lin, kamu cantik banget," sapa Mas Dewo mengejutkanku.
Aku tersenyum terpaksa. "Makasih Mas atas pujiannya."
"Tadi waktu Sasa bilang kamu akan lamaran malam ini, aku ikut gembira. Tapi sepertinya ini bukan seperti yang kamu harapkan," ujarnya.
"Iya, Mas. Ini jauh dari prediksiku. Lamaran yang selalu aku impikan, tapi bukan dengan pria yang selama ini menemaniku," ucapku murung.
"Tapi kamu mengenalnya, 'kan?"
"Tentu saja, dia sahabatku waktu SMP. Dan dia juga yang menolongku waktu kecelakaan itu."
"Lalu, kenapa kamu tidak mencoba membuka hatimu untuknya?"
"Aku sedang berusaha, Mas. Tapi tidak mudah membuang kenangan bersama Hendy. Aku mencintainya, Mas. Meski akhirnya dia menyakitiku."
"Berusahalah. Mas doakan kamu mendapat jodoh yang terbaik. Mas tidak hanya menganggapmu sebagai partner kerja, tapi Mas sudah menganggapmu adik sendiri," Mas Dewo menggenggam tanganku mentransfer energi positif yang membuatku merasa tenang.
"Makasih ya, Mas," sahutku tulus.
"Mas, itu udah pada datang," Abim memberitahu Mas Dewo.
"Kak Lintang, selamat ya. Kakak cantik sekali malam ini!" seru Abim sambil mengambil gambarku beberapa kali.
Papa dan Mama keluar dari pintu samping. Ditemani beberapa orang saudara dan kerabat.
"Lintang, kamu tunggu aja di kamar Mama! Biar kami yang menyambut mereka," perintah Mama.
Aku menuruti perintah Mama. Entah kenapa hatiku bergemuruh. Aku bingung dengan hatiku sendiri.
"Semoga aku tidak akan menyesali apa yang akan aku lakukan hari ini," doaku dalam hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Indah Wirdianingsih
km gak akan nyesel lin, firman cinta bnget sama km
2024-04-17
0
Dhinok Farrel
aamiin.... bismillah Lin....kamu orang baik....pasti dipertemukan dg orang orang yang baik juga
2023-10-21
0
Dhinok Farrel
mama Vony....aku padamuh 😍😍
mama Vony kerennnn...sat set sat set
2023-10-21
1