Sebuah panggilan video terlihat di layar smartphoneku.
Hendy!
Buru-buru kutekan tanda berwarna hijau, sebelum ceramah panjang lebar kuterima.
"Hai, Sayang. Good morning!" sapaku.
"Kamu dari mana aja, Lin? Seharian kemarin aku khawatir banget sama kamu. Sejak aku bilang aku ada undangan makan siang, kamu nggak ngabarin aku sama sekali. Kirain kamu marah sama aku," cerocosnya di ujung sana.
"Nggak, Hen. Aku nggak marah sama kamu. Cuma aku inget pagi ini ada janji sama klien di Garut. Karena takut telat, aku berangkat dari kemaren. Maksudnya sih mau ngejar sunset, tapi gagal. Tapi nih, sekarang aku dapet sunrisenya." Kuputar handphoneku agar dia juga bisa menikmati apa yang sedang kulihat.
"Kamu ke Darajat sendiri?" tanyanya.
"Iya."
"Bisa naik?"
"Bisa dong."
"Kasian mobil kamu, jalannya kan nanjak banget," katanya akhirnya.
"Kamu khawatir sama aku apa sama mobilku?" seruku sebal.
"Ya sama kamu, dong. Kemaren aku sampe samperin kamu ke studio. Kata Sasa kamu pergi ke Garut. Kenapa kamu nggak pamit dulu sama aku?"
"Emang kalo aku pamit, kamu mau nganterin?" desakku.
Dia diam.
"Udah, deh. Aku mau mandi dulu. Takut nanti telat," kataku mengakhiri panggilan ini.
Wajahnya berubah sedih.
"Ya, udah. Hati-hati di jalan, ya. Cepet pulang," pesannya.
Dan aku pun segera memutuskan panggilan video itu.
Entah kenapa lama-lama aku sebal kepada Hendy. Aku mengerti bagaimana pekerjaannya, begitu pun sebaliknya. Tapi sepertinya aku bukan prioritas dalam hidupnya. Belum lagi Mama yang terus menerorku setiap aku pulang ke rumah dengan pertanyaan kapan dilamar.
Ah, sudahlah. Sekarang aku lebih memilih untuk berendam saja dalam air hangat daripada memikirkan masalah hidupku.
...
Pukul 08.40
Aku sudah duduk manis di sebuah cafe yang menyatu dengan sebuah toko oleh-oleh khas Garut.
Aku melayangkan pandangan ke segala arah. Sepertinya orang yang kumaksud belum datang.
Aku memang lebih suka menunggu daripada membuat orang lain menunggu.
Kulirik jam di pergelangan tangan kiriku. Masih ada waktu untuk sekedar melihat-lihat ke dalam toko untuk membeli buah tangan untuk teman-temanku.
Dalam waktu kurang dari 15 menit, aku sudah memenuhi 2 keranjang belanja dengan berbagai macam dodol rasa buah, coklat homemade dengan berbagai rasa dan kemasan menarik, endog lewo, dorokdok dan berbagai macam camilan yang khas dari daerah ini. Aku sedang mengantri di depan kasir ketika seorang pria menyapaku.
"Dengan Ibu Lintang?" tanyanya sambil tersenyum.
"Iya, betul. Dengan Bapak Satria Permana, ya?" aku balik bertanya.
"Benar," senyumnya makin mengembang memperlihatkan lesung pipi yang membuatnya terlihat lebih tampan.
"Maaf sebentar ya, Pak," aku memberi kode pada belanjaanku.
"O iya, silakan," pria itu masih berdiri di sampingku sampai aku berdiri tepat di depan kasir.
Aku menyodorkan sebuah kartu debit platinum untuk membayar semua belanjaanku.
"Sudah dibayar, Bu," tolak sang Kasir sambil mendorong kartuku pelahan.
"Lho, barang saya kan baru dihitung, Mbak. Kapan saya bayarnya?" tanyaku heran.
"Sudah dibayar oleh Pak Satria," tunjuk Kasir itu dengan jempolnya pada pria di sampingku.
Aku mengernyitkan kening, bingung.
"Udah, yuk! Saya bantu angkat belanjaannya, ya." Pak Satria membantuku membawa plastik belanjaan ke arah mejaku tadi.
"Maaf, Pak Satria. Saya kok nggak ngerti ya. Bapak yang bayarin belanjaan saya?" tanyaku setelah kami duduk berhadapan.
"Udahlah, Bu Lintang, nggak usah dipikirin. Anggap aja salam perkenalan dari saya." Lagi-lagi dia tersenyum.
Aduh ni cowok, senyum mulu. Manis lagi. Lama-lama bikin diabetes.
"Saya nggak enak, Pak. Belum apa-apa udah ngerepotin," sahutku.
"Nggak ngerepotin kok. Saya malah seneng Bu Lintang bersedia datang kesini memenuhi undangan saya. Saya dapat rekomendasi dari seorang teman lama yang katanya rumahnya juga dirancang oleh Bu Lintang."
"Oya? Boleh tau siapa?" tanyaku penasaran.
"Pak Ardiyanto."
"Oya, saya kenal. Yang kerja di pertambangan ya? Saya sepertinya harus langsung mengirimkan kartu ucapan terima kasih atas rekomendasinya ini," candaku.
Kami pun tertawa bersama.
Pak Satria orang yang sangat ramah. Dengan logat Sunda yang kental dan wajah khas jajaka Priangan, membuatnya begitu mempesona.
"Jadi, apa yang bisa saya bantu, Pak Satria?" aku langsung menuju pokok permasalahan.
"Bisa tolong jangan panggil saya 'Bapak'? Ko rasanya saya tua banget," katanya lagi, memamerkan lesung pipinya.
"Oh iya, maaf," aku jadi merasa tidak enak.
"Panggil aja Satria."
Aku mengangguk.
"Ibu juga nggak keberatan kan kalau saya langsung panggil nama aja? Ibu juga masih sangat muda. Tadinya saya pikir, Ibu Lintang itu wanita setengah baya dengan kacamata tebal dan blazer formal." Dia terkekeh sendiri.
Aku melihat diriku sendiri, bodicon dress biru dongker dan jaket jeans biru belel. Dilengkapi flat shoes hitam polos.
"Penampilan saya tidak meyakinkan, ya, Pak? Eh, Sat?" tanyaku.
"Nggak, malah lebih dari yang saya bayangkan." Dia tersenyum.
Aduh, ni cowok senyum mulu. Bikin hati dag-dig-dug aja.
"Jadi apa yang bisa saya bantu?" tanyaku lagi. Mengingatkan tujuan kami bertemu.
Dan mulailah Satria menceritakan keinginannya. Sebuah rest area yang terdiri dari sebuah restoran dan toko oleh-oleh yang menjadi satu. Dengan tempat parkir yang luas, kolam ikan indoor dan spot foto yang instagramable.
Aku langsung membuka laptopku dan memperlihatkan rancangan-rancanganku sebelumnya. Beberapa kali dia berdecak kagum dan melontarkan pujian.
"Dan saya pikir, ini yang paling cocok dengan keinginanmu, Sat," kuperlihatkan sebuah rancangan rumah American Craftsman.
"Untuk sebuah rest area yang buka 24 jam tentu kita ingin agar bangunan ini berkesan welcome sehingga pengunjung tertarik mampir kesini. Dengan bahan kayu, memberi kesan sejuk dan nyaman kayak di rumah sendiri. Ditambah interior yang juga berbahan kayu bisa bikin pengunjung benar-benar cozy di resto ini." Kujelaskan lebih lanjut sambil membuat sketsa gambar dan denah yang sekiranya bisa menjadi penggambaran tempat yang kami inginkan.
Satria terlihat begitu antusias dengan penjelasanku. Kembali tersungging senyuman di bibirnya.
"Tadinya saya bingung bagaimana mendeskripsikan keinginan saya, Lin. Tapi ternyata kamu lebih bisa menggambarkan keinginan saya, bahkan lebih dari yang saya mau."
Dia mengulurkan tangan.
Aku menyambutnya dengan hangat.
"Deal!"
Orang ini selain ramah juga tidak neko-neko. Dia tidak mempermasalahkan harga atau apa pun. Bahkan kami langsung menyambangi lokasi yang akan kami bangun itu.
Ternyata Satria adalah seorang pengusaha muda yang memiliki pabrik coklat homemade dan pabrik kerupuk kulit sapi yang orang lokal sebut dengan dorokdok. Dia ingin membangun banyak toko agar dia bisa memasarkan hasil produksinya sendiri dengan lebih mudah.
"Oo, toko yang tadi juga punyamu? Pantesan Mbak Kasirnya kasih saya belanja gratis," celetukku setelah mengambil gambar lokasi pembangunan.
Satria tertawa.
"Sering-seringlah mampir kesini, nanti saya siapkan banyak oleh-oleh untuk kamu bawa pulang," ujarnya.
"Saya nggak bisa sering-sering mampir. Tapi kalau saya ada waktu, saya akan bawa Mama saya kesini. Mama dan teman-temannya yang pegang catering di WO. Kayaknya kita bisa kerjasama di bidang yang lain."
"Wah, suatu kehormatan buat saya. Siapa tau bisa pedekate," ucapnya sambil menggulum senyum.
"Pedekate buat apa?"
"Buat jadi mantu, lah."
"Emang kamu mau dijodoin sama si Candy, kucing Anggora kesayangan Mama?" candaku.
"Sembarangan!"
Aku tertawa terbahak-bahak.
"Nice to meet you. Semoga kedepannya kerjasama kita berjalan lancar."
Kuulurkan tanganku untuk menjabat tangannya.
"Semoga bisa lebih dari sekedar kerjasama," jawabnya sambil menerima uluran tanganku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Dhinok Farrel
ngarep banget ya bang Sat...gercep...pepeeeetttt😁😀
2023-10-21
2
Ros
astaga bikin senyum2 sendiri 😊😉
2022-01-18
0
sumiati
visual nya atuh neng Author
2021-09-13
0