Kubawa mobilku melaju diantara padatnya jalan raya sore ini. Aku menyempatkan mampir ke gerai donat kesukaanku sebelum pergi ke rumah Firman.
Pak Diman membukakan pintu gerbang untukku. Sebelum sampai kesini aku sudah menelpon Firman untuk memberitahu bahwa aku akan datang sore ini.
Kuparkirkan mobilku di dekat pintu rumah yang terbuka. Hatiku berdebar kencang. Walau bagaimana pun namaku jadi taruhannya. Aku harus berperilaku sebaik mungkin.
Kurapikan pakaian dan riasanku. Kubuka pintu mobil dan kutenteng empat lusin donat yang kubawa sebagai oleh-oleh.
Tante Ratna sudah berdiri di pintu menyambutku.
Aku melangkah dengan percaya diri dan mengucap salam. Kusodorkan tanganku dan langsung kucium tangan beliau. Tante Ratna menarikku dan mendaratkan ciuman di kedua belah pipiku.
"Calon mantu Ibu, baru pulang kantor?" sapanya.
"Iya, Tante," jawabku.
"Panggilnya jangan 'Tante' dong, panggil aja 'Ibu'. Kan sebentar lagi kamu juga akan jadi anak Ibu," katanya sambil menggiringku masuk ke dalam rumah.
"Iya, Bu," kataku canggung.
"Hai, Lin," sapa Firman begitu aku sampai ke ruang tamu.
"Hai, Man," balasku.
"O iya Tante, eh, Bu," aku masih bingung, "ini saya bawakan donat. Tapi saya kurang tahu apa Ibu dan keluarga suka." Kusodorkan donat yang kubawa.
"Wah, makasih lho, Nduk. Tentu Ibu suka. Jadi ngerepotin kamu," diambilnya donat yang kuberikan dan dibawanya ke belakang.
"Mbak Lintang, inget aku, nggak?" seorang wanita langsung menghampiriku.
Kuteliti wajahnya. Sepertinya aku pernah melihatnya.
"Aku Indah, Mbak."
"Ya ampun, Indah. Mbak sampai pangling. Udah gede. Cantik banget," langsung kupeluk adik Firman itu. Dia membalas pelukanku.
"Iya lah, Mbak, udah gede. Aku udah punya anak malahan. Maaf ya, jadi ngelangkahin Mas Firman."
"Nggak pa pa," sahutku.
Seingatku, Indah masih kelas empat SD ketika Firman dan aku kelas satu SMP. Dia selalu ikut ketika kakaknya latihan karate ataupun anggar. Aku jadi sangat akrab karenanya. Dan sekarang, dia sudah menikah dan mempunyai seorang anak! Waktu terasa berlalu begitu cepat.
"Kamu kesini pasti gara-gara lamaranku kemaren, ya?" tanyaku. "Maaf ya, jadi ngerepotin."
"Nggak lah, Mbak. Nggak ngerepotin. Aku udah lama banget pengen ketemu Mbak. Pas aku nikah, Mbak nggak dateng."
Aku bingung menjawabnya. Kapan Indah menikah saja aku tidak tahu.
Aku melirik Firman, meminta bantuan.
"Ya, kan waktu itu Mbak Lintangnya lagi di Perancis. Tapi kadonya kan nyampe," celetuk Firman.
Kapan aku ngirim kado?
"Aku kan butuh orangnya, Mas. Bukan cuma kadonya," sahut Indah.
"Maaf ya," kataku tidak enak hati. Terlalu banyak drama yang Firman buat membuatku serba salah.
"Lin," panggil seseorang dari belakangku, "baru pulang ngantor?"
Aku berbalik. Ada Bapak Firman, Arum dan saudaranya yang lain.
"Iya, Om," kusalami mereka semua.
Kami semua berkumpul dan mulai berbincang-bincang.
"Oya Bu, tadi saya mampir ke studio. Saya udah minta foto-foto yang kemarin dibikin konsep majalah. Kalau udah beres, saya kirim langsung ke Semarang," ujarku disela perbincangan kami.
"Ada filenya nggak, Mbak?" tanya Arum.
"Bentar ya, Mbak punya copyannya di mobil," aku berjalan menuju mobil dan mengambil tas laptopku.
Suasana ruang tamu begitu riuh ketika aku mulai membuka file yang dicopy Reza untukku. Mulai dari derai tawa, celetukan-celetukan konyol sampai decak kagum.
Aku membiarkan Arum dan Indah menguasai laptopku. Aku hanya menonton dan mendengarkan komentar mereka.
"Ih, Mbak Lintang cantik banget," puji Arum.
"Liat deh ini, keliatan banget Mas Firman terpesona gitu ngeliatin Mbak Lintang," sorakan menyertai godaan Indah.
"Masa sih? Mana.. mana?" Firman ikut penasaran.
"Ya iyalah, gimana nggak terpesona kalau liat bidadari turun dari khayangan."
Kembali terdengar sorakan di ruang tamu, seolah-olah mereka sedang menonton pertandingan sepak bola.
Aku yakin wajahku sudah memerah kini gara-gara mendengar kata-kata Firman barusan. Aku benar-benar tidak tahu sekarang Firman sekonyol itu. Setahuku Firman adalah pribadi yang kaku dan serius. Dia jarang sekali mau bercerita dan introvert. Sepertinya aku harus lebih mengenalnya lagi.
"Mbak, bisa nggak kalo aku minta beberapa foto dicetak 10R? Ada beberapa fotoku yang bagus-bagus. Biar nanti aku pajang di kamar," kata Arum.
"Boleh, tandai aja. Atau kalau nggak, kamu bikin file baru aja, trus copy disitu. Biar besok Mbak cetak."
"Asyik!!" seru Arum.
Arum langsung memilih foto yang dia inginkan. Entah apa yang Arum click, tiba-tiba yang terpampang di layar laptopku bukan lagi foto lamaranku, melainkan fotoku dan Hendy yang sedang selfie berdua!
Ruang tamu yang tadinya riuh, seketika menjadi senyap. Ibu Ratna memandangku dengan dahi berkerut. Arum dan Indah memandangku dengan pandangan yang tidak menyenangkan. Aku sendiri tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Rasanya tenggorokanku tercekat membuatku tidak bisa membela diri. Semalam aku sudah menghapus kontak dan semua foto kami di memory handphoneku. Tapi aku belum sempat menghapus foto-foto di laptop ataupun SD memory.
"Itu, temenmu yang Kepala Cabang Bank itu 'kan, Sayang?" suara Firman menghancurkan suasana tidak nyaman ini.
"I..iya."
"Yang, kantornya satu gedung sama kamu, kan? Iya, iya, aku inget. Ini waktu kalian wisata bareng itu 'kan?" Firman menyelamatkanku.
"Kamu kenal sama laki-laki ini, Man?" tanya Bapaknya.
"Kenal dong, Pak. Kan kami sering ketemu kalau Firman main ke kantor Lintang," ujarnya lagi. "Kantornya beda lantai. Tapi kalau istirahat suka barengan."
"Kirain siapa...," sahut Ibu.
Aku segera mengclose file itu dan membuka kembali file yang seharusnya.
Meskipun tidak seramai tadi, setidaknya suasana yang beku ini sudah mulai mencair.
"Yang ini bagus," saranku pada beberapa foto.
"Aku copy ya, Lin," kata Firman.
"Iya," sahutku.
"Yuk!" ajaknya.
"Kemana?" tanyaku.
"Ke kamar."
"Ngapain?" kali ini Ibu yang bertanya.
"Copy fotonya, Bu. Kan laptopku di kamar," jawab Firman.
"Nggak ada, nggak bisa. Mending laptopnya aja yang dibawa kesini, kalian nggak boleh berduaan di kamar," ujarnya ketus.
Aku, Arum dan Indah tertawa tertahan sambil menutup mulut.
Firman melirikku. Aku pura-pura tidak melihatnya.
"Dek, ambilin laptop Masmu di kamar," perintah Ibu.
Arum segera pergi melaksanakan perintah ibunya. Firman duduk di sampingku. Tak lama Arum sudah kembali dengan alat elektronik itu ditangannya. Diserahkannya langsung pada sang Pemilik.
Sekali lagi aku terpana, wallpapernya lagi-lagi gambar diriku dengan gaun tulle yang biasa dipakai oleh para balerina. Dengan sebuah mahkota kecil di kepalaku. Dilatar belakangi sebuah danau yang indah. The Black Swan, salah satu tema favorit di studioku.
Sebesar apa cintamu padaku, Man?
Firman langsung memasukkan flashdisc yang kuberikan padanya. Dicopynya file itu ke dalam laptopnya.
"Buat apa?" tanyaku. "Kan udah aku cetakin."
"Biar bisa aku pandangin tiap mau tidur atau bangun tidur," jawabnya gombal.
"Dasar bucin!" teriak dua adik perempuannya.
"Makanya kata Ibu juga, nikahnya minggu depan aja," celetuk Bu Ratna.
"Tiga bulan itu nggak lama, Bu," kata Firman.
Aku tidak berminat untuk mulai berdebat tentang pernikahan lagi. Aku buru-buru pamit pulang.
"Nggak sekalian makan malam disini, Lin?" tanya Ibu.
"Nggak, Tante. Eh, Ibu. Tadi saya cuma bilang mau mampir sebentar sama Mama. Takut nanti Mama khawatir," kataku berdusta.
"Biar nanti Ibu telpon Mamamu," katanya.
"Nggak usah, Bu. Terima kasih," aku ingin segera pergi dari sini.
Segera kukemasi barang-barangku dan menyalami kedua orang tua Firman, juga Om dan Tantenya.
Ibu dan Bapak Firman beranjak dari tempat duduknya untuk mengantarku sampai ke depan pintu.
"Biar Firman yang antar Lintang!" seru Firman menggagalkan niatan orang tuanya.
Dia segera mengambil kruknya dan berjalan mengikutiku.
"Nggak usah dianter, Man. Aku tau kok dimana pintu keluarnya," ujarku.
"Nggak pa pa. Aku pengen anter kamu."
"Oya, Man, beberapa hari kedepan aku nggak akan kesini dulu," kataku saat kami sudah sampai di depan pintu. "Aku mau ke Garut lagi ngurusin proyek rest area disana."
Firman tidak menjawab.
"Hhmm, aku bilang dulu sama kamu karena orang yang mau aku temui adalah orang yang dicemburui Hendy sampai kami putus. Kamu ingat? Aku nggak mau belum apa-apa aku udah dicurigai."
Firman belum juga mengatakan apapun.
"Ya udah deh, aku pamit pulang, ya," aku berbalik.
Kakiku belum sempat melangkah ketika tanganku ditarik oleh Firman hingga aku berbalik.
"Makasih, Lin," ucapnya.
"Untuk?"
"Untuk penjelasanmu. Itu sangat berarti bagiku. Berarti kamu mengakui ada aku di sampingmu."
Aku tersenyum.
"Sama-sama."
Aku berbalik dan mulai melangkah.
"Lin," panggilnya lagi.
Aku berhenti tanpa menoleh.
"Aku tidak akan memimpikanmu lagi. Aku akan mendapatkanmu."
Aku mendengar kata-katanya dengan jelas. Aku tersenyum dan melanjutkan langkahku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Nah ini yg benar namanya Cinta,Mau mendengarkan penjelasan,Bukan kayak Hendy..
2024-08-23
0
Rini Benny
syuka banget Thor ceritax😘😘😘
2022-02-15
1
Ema Sukarsih
lebih baik tuh dicintai..aplgi cowoknya cakep dan tajir trus paket lengkapnya soleh🤣🤣🤣
2021-12-22
1