Aku mengintip dari balik jendela kamar Mama. Ada empat buah mobil masuk ke halaman. Mama, Papa dan beberapa saudara sudah siap berdiri di depan pintu.
Pak Min keluar terlebih dahulu dan mengeluarkan kursi roda. Disusul Ibu, Arum dan semua orang yang ada di masing-masing mobil.
Kenapa banyak sekali orang yang datang? Bukankah keluarga Firman semua ada di Semarang?
Kulihat Firman keluar dari mobil dipapah oleh dua orang laki-laki. Setelah duduk di kursi roda, Arum mendorongnya.
Hatiku berdebar-debar. Aku selalu memimpikan hari seperti ini. Tapi bukan dengan Firman!
Rombongan itu sampai di depan pintu, dan disambut dengan hangat oleh keluargaku. Mama dan Ibunya Firman langsung berpelukan dengan begitu hangat, seolah mereka adalah dua sahabat yang sudah lama tidak bertemu. Aku duduk di atas ranjang dan berusaha menata hatiku. Berusaha menenangkan diri dengan menarik nafas dan membuangnya secara teratur.
Entah apa yang terjadi di ruang tamu. Aku mulai gelisah. Mungkin sambutan dan ***** bengeknya? Waktu terasa berjalan sangat lambat. Aku menunggu sangat lama, hingga akhirnya Mama membuka pintu dan menyuruhku keluar.
Sekali lagi aku menarik nafas panjang dan membuangnya pelahan. Aku berjalan pelahan ke arah ruang tamu dengan didampingi Mama. Flash dari kamera yang dibawa Mas Dewo dan Abimanyu mengiringi langkahku. Kupasang senyum termanis yang kupunya. Dan belasan pasang mata menyambutku begitu aku sampai di ruang tamu. Tentu saja orang pertama yang kulihat adalah Firman.
Firman memandangku tanpa berkedip. Matanya bersinar penuh kebahagiaan dan bibirnya menyunggingkan senyum yang membuat hatiku kembali berdebar.
"Jangan lupa kedip, Mas," tiba-tiba Arum menyeletuk, membuat semua orang tertawa dan membuat wajahku terasa panas.
Aku duduk berhadapan dengan Firman, dengan keluarga masing-masing di sisi kanan dan kiri kami.
"Oalah, bener kata Ibu, lha wong sing ditunggoni yo ayune koyo ngene. Pantesan Firman bersedia nunggu lama," seorang pria yang aku tahu adalah Bapak dari Firman membuka suara, membuat wajahku makin panas. Tiga tahun di Jawa Tengah cukup membuatku mengerti apa yang mereka katakan.
Kembali ruangan ini riuh. Aku sudah tidak bisa menahan senyum, dan hanya bisa tertunduk malu.
"Kayaknya minggu depan aja kita nikahinnya, Jeng," Ibu Firman langsung memberikan pendapatnya.
"Jangan!!" Firman dan aku berteriak bersamaan.
"Tuh kan, udah kompak gini, nunggu apalagi?" Bapak Firman kembali menyeletuk.
"Kalau Lintangnya bersedia, kami sih oke-oke aja," kali ini Papa yang menjawab.
"Nggak, Pa. Lintang belum siap," kataku masih dengan menunduk.
"Jadi kira-kira kapan tanggal pernikahannya?" desak Ibu.
"Sekitar tiga atau empat bulan lagi. Saya yakin Lintang juga masih banyak yang harus dikerjakan beberapa bulan ini," Firman akhirnya bicara.
"Yakin, kamu Man? Nggak takut Lintang diambil orang kalau selama itu?" ledek Ibu.
"Yakin, Bu. Saya yakin Lintang adalah jodoh saya," kata Firman.
Entah kenapa hatiku merasa sangat tersanjung dengan kata-katanya.
"Lintang gimana? Setuju?" tanya Ibu dengan wajah semringah.
Aku mengangguk. "Iya, Bu. Saya setuju."
Seisi ruangan berhamdallah serempak.
Ibu menyodorkan sebuah kotak kecil beludru warna merah. Mama menyuruhku untuk berdiri di tempat yang sudah diset sedemikian rupa. Arum pun mendorong Firman kearahku.
Firman berusaha berdiri ketika dia tepat di depanku.
"Jangan!" seruku sambil menahan lengannya.
"Aku bisa Lin, aku bisa," ujar Firman. Dia benar-benar berdiri tegak tanpa kubantu.
Dibukanya kotak kecil itu, dan diambilnya sebuah cincin kecil dengan sedikit ukiran floral. Diamond Princess shape, meski aku bukan penggemar perhiasan, aku bisa memperkirakan berapa harga cincin itu. Dia meminta tangan kiriku. Kuletakkan tangan kiriku di atas tangan kirinya. Pelahan dia memasukkan cincin itu ke jari manisku. Semua yang kami lakukan tak luput dari jepretan Mas Dewo dan Abim. Semuanya bertepuk tangan.
Firman menggenggam tanganku erat. Tidak disangka, dia menarik tanganku dan membuatku jatuh di dadanya. Sebuah kecupan mendarat di keningku dengan sukses. Rasanya hatiku disiram air es. Kaget, tentu saja.
Ibu Firman langsung berdiri dan memukul lengan anaknya. Sedangkan aku langsung mengalihkan pandanganku ke titik lain. Sempat kulihat Mama yang tersenyum bahagia.
"Kamu nggak sopan. Makanya Ibu bilang, nikahnya minggu depan aja," omel Ibu. "Udah, Ibu aja yang pasang kalungnya, nanti kamu macem-macem lagi." Ibu membuka sebuah kotak beludru merah yang lebih besar. Dimintanya Firman memegang kotak itu, sedangkan beliau mengeluarkan isinya dan memperlihatkan padaku.
Diamond set, necklace and earing. Pasti ini salah satu yang membuat Mama begitu welcome pada Firman.
Ibu meminta izin padaku untuk memasangkan kalung itu di leherku. Aku pun mengangguk dan sedikit menurunkan badanku untuk mensejajarinya.
Sebuah kalung dengan liontin berbentuk tear dan juga ukiran floral terpasang di leherku. Ibu tersenyum puas dan merangkum wajahku juga memberikan sebuah kecupan di dahiku.
"Semoga kamu berjodoh dunia akhirat dengan Firman, ya, Nduk," bisiknya.
Hatiku kembali tersiram air es. Rasa bersalah menyelimutiku seketika.
Aku hanya bisa tersenyum.
"Kalau begitu, silakan dinikmati dulu hidangannya," Mama tiba-tiba memecah keheningan dan mempersilakan para tamu ke ruang makan.
Aku pun mempersilakan Ibu untuk menikmati hidangannya. Mama menuntun beliau ke arah ruang makan dengan keluarga yang lain.
Arum tiba-tiba menubruk tubuhku.
"Selamat ya, Mbak. Mbak Lintang cantik banget malam ini. Aku sampe pangling," katanya.
"Makasih, Rum. Aku pikir kalian cuma datang bertiga kesini. Ternyata serombongan," kataku sambil menarik hidungnya.
"Iya, Ibu menelpon Bapak dan bilang kalau mau melamar Mbak. Eh, pakdhe dan budhe lainnya mau ikut. Bahkan Mbak Indah juga dateng lho sama anaknya," celoteh Arum.
"Oya, Mbak malah blom liat."
"Iya lah, Mbak nggak liat wong Mbak Lintang nunduk terus," ledek Arum.
"Udah, Dek, makan gih. Mas mau ngobrol sama Mbak Lintang," ujar Firman pada adiknya.
Arum berlalu pergi setelah sebelumnya menyebikkan bibir pada Firman.
Aku tertawa.
"Kita ngobrol di depan, boleh?" izin Firman.
"Of course."
Aku mau membantu Firman dengan mendorong kursi rodanya, tapi dia menolak. Dia memilih menggerakkan kursi rodanya sendiri.
Kami berhenti di kursi taman di halaman rumahku. Tempat ini pun tak luput dari tangan-tangan petugas WO.
"Mamamu luar biasa, ya," kata Firman sambil tertawa. "Lihat, sampai hal seperti ini pun diperhatikannya," ditunjuknya lampu led yang digantung di atas pohon, menyala beraturan seperti air hujan.
Aku malas untuk menanggapinya.
"Lin...," tiba-tiba Firman meraih tanganku dan dibawanya ke dalam dadanya.
"Terima kasih, ya. Aku merasa ini mimpi yang jadi kenyataan," katanya.
"Nggak usah berlebihan, Man. Kita kan udah sepakat," ujarku.
"Dan aku berjanji, aku akan membuatmu membalas cintaku," katanya serius.
"Ya, berusahalah. Aku akan selalu ada disini untuk mendapatkan curahan cinta darimu," kataku sambil tertawa.
"Lin, apakah aku udah bilang sama kamu?"
"Bilang apa?"
"Kamu sangat cantik malam ini," ujar Firman sambil mengecup lama tanganku yang masih dipegangnya.
Tiba-tiba mataku melihat sebuah mobil sedan hitam dengan plat yang sangat kukenal. Mobil itu berhenti tepat di depan pagar. Dan pemiliknya menurunkan kaca mobil di bagian supir. Sang Supir melihatku dengan pandangan penuh kebencian. Jarak kami yang hanya beberapa meter, membuatku bisa melihat matanya yang penuh amarah. Lidahku kelu bahkan hanya sekedar untuk berteriak memanggilnya. Kami hanya saling menatap tanpa kata. Lalu beberapa detik kemudian mobil itu melaju dengan kecepatan tinggi.
Hendy!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Lha Hendy gak bisa marahin kamu,Kamu udah banyak kasih dia kesempatan utk menikahin kamu,Dasar dia nya aja yg kebanyakan alasan..🙄🙄
2024-08-23
1
Indah Wirdianingsih
selalu di buat meleleh sama mas firman,jd baper deh....🥰
kasian juga sama hendy
2024-04-17
0
Nacita
bay hendy.. salahmu sendiri main mutusin aja, coba klo dengerin dlu penjelasan lintang 😌
2024-02-22
0