Semua orang yang melihatnya tentu akan merasakan hal yang sama sepertiku. Saat anak-anak yang kurang beruntung itu mendapatkan sesuatu yang bahkan jauh dari bayangannya. Kebahagiaan yang kurasakan terasa membuncah hingga bibirku tak mau berhenti tersenyum, sedangkan air mata menetes begitu saja tanpa terasa.
Bunda Shinta memilah-milah hadiah. Beliau berfikir sejenak kepada siapa hadiah itu akan diberikan. Akhirnya Bunda Shinta memanggil anak-anak satu persatu dan memberikan hadiah yang sesuai dengan kesukaannya masing-masing.
Kebahagiaan itu terpancar jelas di wajah mereka. Beberapa dari mereka ada yang langsung membukanya. Ada pula yang langsung memelukku dan mengucapkan terima kasih berkali-kali.
"Kayaknya mereka malu kalau harus meluk kamu, Man," bisikku. "Jadinya mereka pada meluk aku."
"Nggak apa-apa. Nanti juga bisa kan dipararel sama kamu," bisiknya.
"Enak aja!" kataku sambil mencubit kecil pahanya.
Firman mengaduh tanpa suara.
"Syukurin!" kataku sambil menjulurkan lidah.
"Anak-anak mainnya gantian, ya. Bisa pinjem-pinjeman sama saudaranya," ingatku pada anak-anak lucu itu.
"Iya, Bun!" koor mereka bersamaan.
Sebagian anak berlarian keluar. Mereka sudah tidak sabar mencoba bola barunya.
"Saya hari ini mendapat banyak sekali pengalaman baru, Bun. Saya tidak pernah tahu, betapa bahagianya saat kita berbagi secara langsung kepada anak-anak kurang beruntung ini," ucap Firman pada Bunda Shinta.
"Semoga rezekimu dilipat gandakan, Nak. Kamu sudah mau berbagi bersama kami. Terima kasih banyak," ujar Bunda Shinta.
"Sama-sama, Bunda. Dan ini, ada sedikit rezeki lainnya untuk panti asuhan ini," disodorkannya sebuah amplop berwarna coklat dari dalam tasnya.
"Ini apalagi, Nak Firman?" tanya Bunda.
Firman tidak menjawab. Dia hanya tersenyum.
Bunda Shinta membuka amplop itu dan beliau langsung menutup mulutnya.
"Masya Allah, ini banyak sekali, Nak," sahut beliau terkejut.
Aku hanya menonton pemandangan itu dari jarak beberapa meter sambil bermain dengan anak-anak yang masih balita.
Sebenarnya apa yang dilakukan pria itu? Pencitraan? Kenapa dia mau melakukan semua ini?
"Bun, Lintang keluar dulu, ya. Mau liat anak-anak yang main bola," pamitku.
"Iya, Lin," jawab Bunda.
Aku berjalan menuju halaman dan membiarkan Firman berbincang dengan Bunda Shinta. Di halaman sudah ada anak-anak yang bermain sepak bola. Dan di halaman belakang anak-anak bermain basket dengan riang.
"Kok, nggak ikut main sama yang lain, Ngga?" tanyaku pada Angga, anak yang tadi membantu Pak Min mengeluarkan hadiah dari mobil.
"Saya nggak terlalu suka main bola, Bun," katanya.
"Tapi kamu tadi udah dapet hadiah dari Bunda Shinta, 'kan?"
"Udah, saya dapet tas baru yang keren. Makasih ya, Bun," ucapnya tulus.
"Bukan Bunda yang beliin itu semua. Om Firman yang beliin," tukasku.
"Nanti saya bilang sama Om Firman juga," katanya.
"Mau bilang apa sama Om?" tiba-tiba Firman sudah berdiri di belakang kami.
"Ini lho, Man. Angga mau bilang makasih atas tasnya," kataku mewakili Angga.
"Iya, Om. Makasih banyak ya tasnya. Bagus banget. Pasti bisa saya pakai sampai SMA," ujar Angga.
"Sama-sama," kata Firman. "Kok kamu cuma nonton yang main bola? Nggak ikutan main?"
"Saya kurang bisa main bola, Om," jawabnya singkat.
"Terus, kamu bisanya main apa?" tanya Firman.
"Saya lebih suka main gitar, Om."
"Gitar akustik?"
"Ya, bass juga," jawab Angga. "Tapi saya nggak punya keduanya. Paling pinjem temen atau kalau lagi ikutan ngeronda sama bapak-bapak disini, suka dikasih pinjem."
"Kayaknya Om punya yang nggak dipake deh di rumah," celetuk Firman sambil ikut duduk bersama kami.
"Serius, Om? Nggak dipake?" nada suara Angga langsung berubah.
"Eh, kamu waktu seumuran Angga juga main bass 'kan, ya? Yang waktu itu," aku mulai mengingat-ingat. "Nama bandnya Elek Yo Band," aku tertawa mengingat hal itu. Dalam bahasa Jawa, Elek Yo Ben berarti Jelek Juga Biarin.
"Giliran yang begituan, kamu inget," gerutu Firman.
"Tapi serius, Om punya di rumah. Udah lama nggak dipake. Mending kamu pake, siapa tahu lebih bermanfaat," kata Firman.
"Makasih ya, Om," tiba-tiba Angga memeluk Firman sambil menangis.
Firman terlihat bingung. Akhirnya dia hanya menepuk punggung remaja itu pelahan.
"Besok Om minta sopir Om buat anterin kesini. Atau mungkin kalau Bunda Lintang nggak keberatan, besok Bunda Lintang anterin kesini buat kamu," janji Firman.
"Makasih banyak ya, Om," katanya sambil menghapus air matanya dengan punggung tangan.
"Sama-sama. Tapi kalau udah punya gitar, kamu harus tetep rajin belajar, ya. Jangan sampai karena punya mainan baru kamu lupa semua kewajiban kamu," nasehat Firman.
Aku tersenyum. Apabila kemarin aku melihat 'keajaiban' itu dari foto-foto yang diambil oleh Mas Dewo, kini aku melihatnya sendiri. Tanpa harus disekat oleh lensa, aku bisa melihat feel itu dari wajah Firman. Ketulusan, itu yang aku lihat darinya.
Firman melirik ke arahku. Aku langsung membuang muka dari pemandangan di depanku. Aku berajak dari kursi besi yang kududuki bersama Angga dan Firman.
"Udah, gih, sekarang main dulu sama yang lain," kutepuk bahunya agar dia mau bermain bola dengan saudara-saudaranya.
Angga langsung melesat, bergabung dengan anak lain yang sedang bermain bola.
"Kamu jadi Sinterklas hari ini," kataku sambil tersenyum.
"Aku belajar darimu. Aku nggak pernah tahu gimana rasanya berbagi kebahagiaan dengan anak-anak seperti mereka. Yang aku tahu, aku mencari uang yang banyak, lalu sisihkan 2,5 persennya untuk zakat dan sisanya bebas aku pakai untuk apapun yang aku mau. Bahkan aku tidak pernah tahu kemana dan pada siapa dana sosial dari kantorku disalurkan. Semoga tepat sasaran," Firman bercerita panjang lebar sambil berjalan dengan kruknya ke halaman belakang.
"Bunda, Om Hendy mana? Kenapa nggak ikut nengokin kami hari ini?" tiba-tiba Sandy, seorang anak berumur delapan tahun menghampiriku.
Aku menurunkan tubuhku agar sejajar dengan anak kelas dua SD itu.
"Om Hendy sekarang kerjanya jauh, Sayang. Jadi nggak bisa nengokin kalian lagi," kataku padanya.
"Yah...," serunya kecewa.
"Emangnya kenapa nanyain Om Hendy? Kan ada Om Firman disini," sahut Firman ikut berbincang dengan kami.
"Om Hendy kan suka nemenin kami main bola, juga main basket," jawab Sandy polos.
"Yah.. sayang kaki Om lagi sakit. Kalau kaki Om udah sembuh, Om pasti nemenin kalian main basket," kata Firman.
"Tapi kan Bunda Lintang juga jago main basket. Main aja sama Bunda," Firman memberi ide.
"Bunda bisa main basket?" tanya Sandy.
"Bunda jago lho," celetuk Firman lagi.
"Ayo dong, Bunda, temenin kita!" seru anak-anak yang berdiri di bawah ring.
"Udah main sana," dorong Firman.
Akhirnya aku ikut bermain dengan anak-anak yang berada di lapangan. Anak-anak yang bermain kebanyakan adalah anak-anak remaja. Tapi lambat laun aku ikut dalam permainan. Perbedaan tinggi badan dan kemampuan tentu saja membuatku dengan mudah memenangkan pertandingan ini.
"Yee, Bunda hebat!!" teriak mereka membuatku malu.
"Ya jelas, lah. Bunda kan udah tua makanya Bunda jago," kataku sambil menyingkir dari lapangan.
Firman menyambutku dengan tepuk tangan.
"Malu-maluin!" seruku. "Nanti kalau kakimu udah sembuh, giliran kamu yang aku kerjain."
"Aku nggak keberatan dikerjain sama kamu," katanya sambil mengedipkan sebelah mata.
"Firman!"
Ternyata Bunda Shinta pun ikut tersenyum dari depan pintu belakang, membuatku lebih malu.
"Awas kamu, yah!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Fasuliyah Aziz
bagus ceritanya
2022-03-14
1
sumiati
sweet ❤️ indah nya berbagi
2021-09-13
0
San Hanna
kenapa manggil Lintang 'Bunda' nggak tante?
(balada demen panggilan sepasang)
2020-12-22
1