Apa yang harus kukatakan padanya? Aku berpikir keras.
Tiba-tiba sang gadis melihat ke arahku. Dari mimik wajahnya, ia terlihat sangat terkejut.
"Mbak Lintang?" tanyanya penuh selidik.
"I-iya ...," jawabku terbata. Siapa dia? Memangnya dia kenal sama aku?
"Kok Mbak Lintang bisa ada di sini?" tanyanya lagi.
"Tadi Firman yang nolongin, waktu aku hampir ketabrak," jawabku jujur penuh penyesalan.
"Ya Allah, Mas ...," ratapnya. Ada sesal disuaranya.
"Mas nggak apa-apa. Jangan bilang sama ibu dan bapak, ya. Beliau berdua kan taunya Mas belum pulang," pinta Firman.
Mas? Ibu? Bapak? Jangan-jangan dia ...
"Gimana kata dokter?" Entah pertanyaan itu dilontarkan untuk siapa.
Aku dan Firman hanya bisa diam, tak ada jawaban. Aku benar-benar merasa tak nyaman dalam keheningan ini.
Tiba-tiba terdengar suara pintu dibuka. Muncullah seorang dokter dan dua orang perawat.
Aku selamat!
"Keluarga Bapak Firman?" tanya Dokter itu.
"Iya, saya adiknya, Dokter," buru-buru gadis itu menjawab.
Oo, ternyata dia adiknya. Namun setauku, adiknya seharusnya lebih besar dari gadis ini.
"Begini ya, Bu, kakak Anda ini mengalami gegar otak ringan. Dan kakinya retak tepat di tulang keringnya. Tadi sudah kami rongent. Untuk benturan di kepalanya ...," Dokter itu menjelaskan panjang lebar dan dijawab dengan anggukan kepala dari sang adik. Mereka berbincang dengan serius.
Dan aku, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutku. Aku hanya menatap Firman dengan penuh penyesalan.
"Aku benar-benar nyesel, Man. Aku janji, aku akan bayar semua biaya pengobatanmu," kataku setelah dokter itu pergi.
Aku membayangkan, bagaimana dia menolongku sampai dia mendapatkan luka-luka sebanyak ini.
Firman terkekeh.
"Nggak usah, nanti juga dibayar perusahaan," jawabnya. "Lagipula bukan kamu yang minta diselamatin, itu inisiatif aku sendiri," katanya sambil tersenyum.
"Trus gimana anak itu?" tanyanya.
"Katanya dia baik-baik aja. Nggak luka sama sekali," ucapku.
"Syukurlah kalau gitu."
"Hei, sepertinya kita dulu sering reka adegan yang kayak gini, ya," kataku sambil nyengir.
"Iya, tapi kan nggak di aspal. Cuma di tanah miring atau kebun," sambung Firman.
Ya, kami berdua mengikuti ekstrakurikuler karate sejak kelas satu SMP.
"Seenggaknya ilmunya kepake." Kami berdua tertawa.
Si gadis masih saja melihatku dengan pandangan yang tidak mengenakkan.
"Ehm, *s*orry, adiknya Firman, ya?" tanyaku sambil mendekatinya.
"Iya."
Aku mengulurkan tangan, "Lintang," sapaku.
"Arum," jawabnya singkat.
Aku menengok ke arah Firman.
"Bukannya adikmu namanya ...."
"Indah," potong si gadis. "Itu kakakku yang satu lagi."
Mulutku membentuk huruf O tanpa suara.
Dingin sekali tanggapannya. Namun aku cukup tahu diri. Tentu saja, apa yang aku harapkan? Sapaan hangat sambil minum kopi dari adiknya?
"Rum maaf, ya. Walau bagaimanapun Mas mu kayak gini karena nolongin aku. Ini kartu namaku. Nanti kalau ada apa-apa atau kamu butuh sesuatu, telpon aja. Insya Allah besok-besok aku akan datang setiap hari," janjiku sambil menyodorkan sebuah kartu nama.
"Iya, Mbak," jawabnya.
"Ehm, aku udah boleh pulang sama dokter. Jadi aku pamit dulu, ya," kataku dengan perasaan tidak nyaman.
"Iya, nggak apa-apa. Hati-hati di jalan ya, Lin. Salam buat om dan tante," ujar Firman sambil tersenyum.
"Iya, nanti aku sampein. Kamu cepet sembuh ya, Man. Besok aku kesini lagi." Kulambaikan sebelah tanganku padanya.
"Dah Arum. Assalamu 'alaikum."
Aku hanya mendengar balasan salamnya, tanpa lambaian tangan.
...
Hari ini Firman sudah boleh melakukan rawat jalan. Dia sudah dirawat secara intensif selama sepuluh hari. Dan selama itu pula, aku datang menengoknya setiap hari di rumah sakit. Seperti janjiku padanya.
Dan sekarang, aku berinisiatif untuk mengantarkan dia pulang ke rumah.
"Yang mana rumahnya?" tanyaku sambil melirik ke kanan dan ke kiri sepanjang jalan yang sepi.
"Yang di depan itu, Mbak, yang ada pohon pinusnya," jawab Arum.
"Di sini?" Aku berhenti di depan sebuah pintu gerbang berbahan kayu yang di cat natural.
"Iya," jawab Arum lagi.
Semenit kemudian datanglah seorang bapak dengan tergopoh-gopoh, membukakan pintu gerbang.
Kumasukkan mobilku ke dalam halaman luas yang begitu asri. Dengan pohon pinus yang berjajar di sepanjang jalan menuju sebuah bangunan rumah minimalis.
Suster mengeluarkan kursi roda, setelah mobil kuparkirkan tepat di depan pintu.
"Pak Diman, tolong Mas dulu," kata Arum pada Pak Satpam tadi.
"Iya, Mbak," Pak Satpam bergerak cepat membantu Firman keluar dari mobil dan mendudukannya di kursi roda.
Arum sudah tidak sedingin waktu pertama kali kami bertemu. Sepertinya Firman memberikan pengertian pada Arum sehingga sikapnya mulai menghangat padaku.
Suster sudah hendak mendorong kursi roda Firman ke arah pintu, ketika kutawarkan bantuan padanya.
"Biar sama saya aja," kataku sambil tersenyum pada suster itu.
Kudorong kursi rodanya pelahan. Pintu rumah sudah dibukakan dengan lebar oleh seorang wanita paruh baya.
"Rumah yang bagus," pujiku.
"Makasih. Kamu pasti lebih faham," celetuk Firman.
Kukelilingkan mataku melihat ruang tamu yang didominasi warna hitam dan putih. Warna favoritku. Dengan perabotan modern tapi tidak crowded, membuat rumah ini terlihat sangat luas. Ditambah lagi tiap ruangan yang dibuat pararel tanpa sekat membuat ventilasinya berputar dengan sangat baik. Juga jendela-jendela besar, memberikan cahaya matahari yang cukup ke dalam rumah. Dari sana terlihat halaman yang luas dengan pohon pinus sebagai hiasannya.
"Rumah impian banget," kagumku.
"Apalagi dengan kamu di dalamnya, pasti seperti impian yang jadi kenyataan," ujarnya.
Aku tertawa. Bisa saja temanku ini menggodaku. Padahal setauku dia adalah sosok kalem yang pendiam.
"Mau aku anter ke kamar?" tawarku.
"Boleh. Pintu yang itu," tunjuknya.
Kubuka pintu itu pelahan. Lalu kudorong kursi roda itu masuk.
Arum dan suster mengikutiku dari belakang.
Kamar yang cozy, dengan warna abu dikombinasi warna putih. Kamar ini lumayan luas dengan sebuah tempat tidur king size dan dua buah lemari di sisi kanannya. Sebuah kursi dan meja kerja juga menghuni kamar ini. Sebelah dindingnya berupa pintu kaca geser berukuran besar yang jika dibuka langsung berdampingan dengan halaman berumput jepang yang asri. Benar-benar membuat betah pemiliknya.
Tiba-tiba mataku menangkap sesuatu yang membuatku tertegun. Dinding di depan meja kerja itu yang membuatku menahan napas.
Di dinding itu terpajang banyak sekali foto. Dari foto ukuran pocket sampai ukuran poster. Sebagian diambil dari kamera handphone dan sebagian lagi diambil dari sosial media. Terlihat sekali, karena hasilnya terlihat buram, tidak seperti foto yang diambil langsung dengan kamera. Bahkan banyak foto yang diambil secara candid.
Aku menghentikan langkahku. Kuhentikan juga kursi roda Firman tepat di depan dinding itu.
Kusentuh foto-foto itu dengan bibir bergetar.
"A-a-pa ini?" tanyaku terbata. Aku menatap Firman yang duduk di kursi rodanya dengan tatapan meminta penjelasan.
"Apa maksudmu dengan semua ini?" tanyaku lirih.
"Aku tidak bermaksud apa-apa," jawab Firman tenang.
"Kalau kamu tidak bermaksud apa-apa kenapa dinding kamarmu penuh dengan FOTOKU?!" teriakku padanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Candy Tohru
Iya, Lintang nggak peka. Dia terlalu fokus sama kisah cintanya sama Hendy
2024-08-23
0
Qaisaa Nazarudin
Udah ku duga dari mana arum tau nama Lintang,Dan kata Hendi tadi APALAGI ADA KAMU DIDALAM NYA, Berarti Lintang yg gak peka selama ini ya..
2024-08-22
1
Jong Nyuk Tjen
bagus ceritanya, hatiku trenyuh kyny firman diam2 suka am lintang
2024-02-06
1