"Jadi gimana? Apa jawabannya?" tanya Firman.
Aku menghela napas.
"Man, bolehkah aku meminta sesuatu?" aku balik bertanya.
"Tentu, apa pun itu. Selama aku bisa, pasti akan aku kabulkan," katanya sambil tersenyum.
"Jangan tanyakan hal itu lagi," pintaku.
"Sorry?"
"Itu yang aku minta, tolong jangan tanyakan hal itu lagi. Kamu tau 'kan kalau aku sudah punya pacar. Jangan menyakiti dirimu sendiri."
Firman tersenyum lagi, "Memangnya kenapa kalau kamu punya pacar? Kan sudah kubilang, kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi esok. Aku hanya memperjuangkan rasa yang aku punya untukmu. Selama ini aku tidak pernah punya kesempatan, dan sekarang kesempatan itu datang. Tentu saja akan kugunakan semaksimal mungkin."
"Man, aku sayang sama kamu. Sebagai seorang teman, tidak lebih. Apalagi kamu udah menyelamatkan nyawaku, aku nggak mau ngasih harapan palsu."
"Aku tanggung semua resikonya," ujar Firman masih terus berusaha sampai ke tempatku berdiri.
Lama tak ada suara di antara kami. Hanya cuitan burung yang terdengar memenuhi udara.
"Kamu nggak memperhatikan tempat ini?" tanyanya setelah susah payah kami sampai di teras kamarnya yang berpintu geser kaca.
Kubantu dia duduk, dan aku pun ikut duduk di sampingnya.
"Memangnya kenapa dengan rumah ini?" tanyaku sambil melepas sepatu dan menginjak-injak rumput yang basah.
Aku menyukai rumput, aku menyukai pohon, aku menyukai kesejukan di tempat ini.
"Aku membuatnya untukmu. Karena aku yakin, aku akan menempati rumah ini bersamamu." Firman mengucapkannya tanpa beban.
Aku tidak menyangka akan keluar kalimat seperti itu dari mulutnya.
"Aku tidak membeli rumah ini, aku membangunnya. Dengan semua ingatan yang kupunya tentangmu. Bukankah kamu ingin punya rumah minimalis dengan halaman yang luas? Kamu ingin agar kelak apabila kamu punya anak, mereka bisa bermain di halaman sambil berkemah, 'kan? Kamu juga suka pohon pinus. Maka aku jajarkan pohon pinus dari gerbang sampai depan rumah, agar kamu bisa menggumpulkan bijinya untuk kamu simpan sebagai koleksi. Bahkan ada lapangan basket di belakang rumah ini. Kamu masih suka main basket?"
Aku tidak menjawab pertanyaannya. Aku mendadak takut dengan orang yang kini menatapku dengan hangat.
"Kamu terobsesi padaku, Man?" tanyaku penuh selidik.
"Ya, aku terobsesi padamu, Lin. Segala tentangmu."
"Berarti itu bukan cinta?"
"Apalagi yang harus aku buktikan padamu kalau aku benar-benar cinta padamu?"
"Bagaimana seandainya takdir tidak mengizinkan kita bersama?" tanyaku.
"Aku percaya pada takdir. Sudah kubilang aku mencintaimu sejak dulu. Tapi kamu pergi begitu saja tanpa kabar. Kemudian kita bertemu di kampus yang sama. Setelah itu pun, kita berpisah lagi tanpa berita. Dan, hari itu aku menolongmu tanpa aku tahu itu adalah kamu. Bukankah itu semua sudah diatur oleh takdir?"
Entah bagaimana lagi aku harus meyakinkan orang ini bahwa apa yang dilakukannya adalah hal yang percuma.
"Jadi, kamu mau kita prewed di mana? Yunani? Jepang? Atau Prancis?"
"Man, please...."
"Bukankah kamu sangat menyukai Acropolis Athena? Kuil Athena? Aku akan membawamu ke sana."
"Kok kamu bisa tau?" aku langsung berdiri di depannya.
"Kan kamu yang cerita. Kamu bilang kamu akan ke sana suatu saat nanti. Kuil Athena, tempat Saint Seiya bertempur," Firman tertawa.
"Apalagi yang kamu tau?"
"Tentang apa? Tentang tempat-tempat yang ingin kamu kunjungi? Kamu hanya bercerita tentang Kuil Athena dan Château de Versailles. Tentu dari Lady Oscar, Rose of Versailles, 'kan? Aku beberapa kali ke sana dan saat itu yang aku ingat cuma kamu."
"Apakah kita sedekat itu sampai aku menceritakan semua mimpiku padamu?" aku masih berdiri dan menatapnya penuh tanya.
"Entahlah. Tapi aku berharap semoga demikian. Aku ingin bisa mewujudkan semua mimpimu."
Kuperhatikan sosok pria di depanku ini. Ya, dia teman kecil yang waktu itu aku lindungi. Dia masih sosok yang sama. Namun, kini dia terlihat begitu dewasa. Bahkan dia yang melindungiku, bukan sebaliknya.
Seandainya dia tidak pernah mengungkapkan perasaannya, aku sangat yakin kami bisa berteman dekat. Dia pria tampan yang humble juga pendengar yang baik.
Seandainya aku bisa, aku pun ingin bisa mencintaimu seperti kamu mencintaiku. Namun sayang, itu tidak akan terjadi, Man.
"Kenapa kamu berdiri terus di situ? Belum beres ngeliatin aku?" dia tertawa renyah. "Duduklah," di tepuknya lantai marmer tempat aku duduk tadi.
"Kalau kamu memang tidak mau mendengarnya lagi, tidak apa. Namun, biarkan aku memperlihatkan seberapa besar cintaku padamu. Setuju?"
Dia menyodorkan jari kelingkingnya padaku. See, bahkan dia tahu kebiasaan yang selalu kulakukan ketika aku meminta seseorang untuk berjanji padaku. Kukaitkan jari kelingkingku disana. Dan aku mengangguk.
"Jadi, kamu masih mau menemaniku belajar berjalan, 'kan? Aku sudah bosan terus duduk di kursi roda. Banyak yang harus aku kerjakan di luar sana," katanya.
"Tentu!" Aku berdiri dan kutepuk-tepuk wrap skirtku untuk menghilangkan kotoran di sana.
Kuulurkan kedua tanganku. "Ayo sini!"
...
Aku menghabiskan pagi dan siangku di rumah Firman. Aku baru pergi dari sana setelah makan siang. Firman harus melakukan teleconference dengan rekan kerjanya, dan aku pun harus kembali mengurusi pekerjaanku.
"Kak, Kakak lagi sibuk, nggak?" tanya Sasa begitu aku memasuki pintu kaca itu.
"Nggak juga, kenapa emang?" kuletakkan tas dan laptopku di atas meja.
"Ada yang mau ngambil paket foto satu album, tapi nggak ada fotografernya," jawab Sasa.
"Sama sekali?"
"Ada Kak Zay sama Andi, tapi dua-duanya lagi moto juga. Yang lain lagi pada di luar moto wedding," jelas Sasa.
"Ya udah deh, dimana customernya?"
Sasa membawaku ke ruangan yang sudah dipilih oleh customer kami. Dan diperkenalkan sebagai fotografer yang akan mengambil gambar mereka.
"Jadi siapa yang mau difoto, Kak?" tanyaku pada wanita yang diperkenalkan Sasa tadi.
"Anak saya, Mbak," jawabnya. Lalu dipanggilnya seorang babysitter yang menggendong seorang gadis kecil berambut ikal yang sangat menggemaskan.
"Adeknya lucu banget," pujiku. "Siapa namanya, Cantik?"
"Namaku Amalia, Tante," jawab sang Ibu menirukan suara anak kecil.
"Umurnya berapa tahun ini?"
"Baru sepuluh bulan, Mbak. Ini baru bisa jalan, makanya saya bawa kesini buat diabadikan," ujar Ibu itu.
"Iya, Bu, dengan senang hati kami layani. Oya, katanya mau ambil paket satu album, ya? Apakah bawa baju ganti? Kalau nggak, kami punya berbagai kostum di sini."
"Bawa, kok. Sudah saya siapkan," diperlihatkannya baju-baju lucu yang dibawanya.
Entah kenapa aku sangat senang melakukan pemotretan ini. Anak menggemaskan itu telah mencuri hatiku. Selain cantik, dia juga tidak rewel. Dia terus saja berceloteh dengan riangnya. Dan terlihat raut bahagia sang Ibu ketika kuperlihatkan hasil foto-foto gadis kecilnya.
"Kira-kira kapan bisa diambilnya, Mbak?" tanya Ibu dari Amalia. "Saya udah nggak sabar."
"Untuk pastinya bisa ditanyakan di depan ya, Kak. Tapi biasanya tidak lebih dari tiga hari," kataku.
Kuperhatikan Ibu Muda itu, sepertinya umurnya dibawah umurku. Ini kah yang Mama takutkan? Sepertinya aku harus ngobrol serius dengan Hendy!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Jong Nyuk Tjen
kasian lintang , d gantung terus masa depanny am hendy
2024-02-06
1
Dhinok Farrel
iyaa ngobrol sama bang Hendy....lama² malah ilfil loh...
2023-10-21
2
San Hanna
bucin sama obsesi beti ya. beda tipis
2020-12-17
1