POV Hendy
Namaku Hendy Prayoga. Aku adalah seorang pegawai bank dengan jabatan yang lumayan tinggi. Dan Lintang adalah kekasihku.
Lintang adalah wanita sempurna di mataku. Bagaimana tidak, dia adalah wanita yang tak sekedar cantik, dia juga cerdas, mandiri dan supel. Dan yang pasti, aku sangat mencintainya.
Awal aku mengenalnya karena tempat kerja kami satu gedung. Kantorku di lantai dasar, sedangkan kantor arsitek yang dia bangun bersama beberapa temannya ada di lantai 6. Kami sering bertemu di tempat parkir, juga di tempat makan dekat kantor kami.
Cukup dengan beberapa kali melihatnya, dia sudah berhasil menawan hatiku.
Akhirnya aku berinisiatif untuk memperkenalkan diri padanya. Sambutan hangat pun aku terima. Tapi ternyata aku belum bisa lega. Bagaimana tidak, 2 orang teman sekantorku pun ternyata memiliki rasa yang sama padanya. Tapi dengan perjuangan panjang , akhirnya ia mau menerimaku sebagai kekasihnya.
Dua tahun sudah kami lalui bersama. Kami saling melengkapi dan berusaha memahami pekerjaan masing-masing. Sampai suatu ketika, orang tuanya menanyakan tentang keseriusan hubungan kami. Tentu saja aku sangat senang. Tapi dilain pihak aku masih merasa gamang untuk mengesahkan hubungan kami.
Perbedaan pendapatan yang membuatku merasa minder. Meskipun Lintang tidak pernah menuntut apa pun dalam hubungan kami, aku masih merasa tidak percaya diri menjadi imamnya. Penghasilanku yang terbilang cukup besar dan sudah memiliki rumah sendiri serta kendaraan pribadi belum juga bisa mensejajarkan diri dengannya.
Penghasilan Lintang bisa berkali lipat dari penghasilanku. Belum lagi bisnisnya di berbagai bidang. Dengan segala yang dimilikinya, tidak pernah sekali pun aku melihatnya kalap berbelanja seperti wanita lainnya. Atau pun berburu barang-barang branded seperti yang teman-temanku keluhkan tentang istrinya. Bahkan selama kami menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih belum pernah dia merengek minta dibelikan sesuatu. Hanya sesekali dia minta ditemani ketika dia sedang bekerja. Seperti hari itu..
Selesai melakukan pemotretan preweding kliennya, dia memintaku menemaninya berjalan-jalan seperti biasa. Fotografi adalah hobinya, selain traveling dan climbing.
Ketika kami tengah berjalan-jalan menikmati kebersamaan kami, tiba-tiba dia melihat seorang anak yang terlihat ragu menyeberang. Yang akhirnya dengan ceroboh menantang kendaraan yang lewat. Lintang yang memang peka terhadap lingkungan tanpa pikir panjang menolong anak itu. Tubuhnya tersambar mobil. Dan aku hanya bisa berteriak memanggil namanya, tidak sanggup membayangkan harus kehilangan wanita yang sangat aku cintai. Tapi ternyata aku salah, di seberang jalan, aku melihat sesosok tubuh mendekap wanitaku yang juga sedang memeluk anak itu terbaring membentur sisi trotoar.
Rasa bersalah menghantuiku. Sebagai lelaki aku merasa tidak berguna, menjaga wanitaku saja aku tidak mampu. Tapi aku merasa lega ketika Lintang sadar tanpa luka yang berarti. Sedangkan lelaki yang menolongnya kudengar mengalami luka yang cukup parah.
Ketika Lintang memintaku menemaninya menemui penolongnya, aku tidak menyanggupinya. Aku tidak punya muka bertemu orang itu.
Aku makin merasa tidak berarti ketika aku mengetahui yang menolong Lintang adalah sahabatnya sejak dulu. Maka aku tidak pernah melarang Lintang untuk menjenguknya kapan pun ia mau, termasuk menjenguk ke rumah ketika lelaki itu sudah keluar dari rumah sakit.
Dan hari ini aku mendapatkan sebuah pesan yang mengaku bernama Rizky Firmansyah, lelaki yang menolong Lintang, yang berniat mengundangku makan siang di rumahnya.
Dan disinilah aku, menunggu gerbang kayu di depanku di buka.
Tak lama, seorang satpam membukakan pintu dan mengatakan bahwa majikannya sedang menungguku.
Aku memasuki halaman rumah ini. Halaman yang luas dengan pohon-pohon pinus di sepanjang jalan.
Di depan pintu, seorang wanita paruh baya menungguku dengan senyum di wajahnya.
"Pak Hendy..," wanita itu menyapa.
"Iya..," jawabku.
Aku melihat berkeliling. Rumah yang megah, meskipun berdesain minimalis. Warnanya didominasi warna hitam dan putih. Warna favorit Lintang. Lintang pasti menyukai rumah ini. Aku tahu persis selera kekasihku itu.
"Mas Firman masih ada di kamar, silakan bisa langsung kedalam," dia mengantarku sampai ke sebuah pintu besar berwarna hitam.
Wanita paruh baya itu mengetuk pintu. Dan terdengar sahutan dari dalam. Ia pun membukakan pintu.
"Silakan Pak..," ia mempersilakan.
Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih.
Aku masuk ke kamar itu. Kamar yang besar dengan warna maskulin.
Seseorang sedang duduk di atas kursi roda di depan pintu kaca geser. Aku mendekatinya.
Dia memutar kursi rodanya agar menghadap ke arahku.
Aku mengenalinya, dia memang lelaki yang menolong Lintang. Tapi baru kali ini aku melihatnya sedekat ini. Lelaki dengan hidung bangir dan rahang tegas. Berkulit sawo matang dan berambut hitam pekat.
Dia tersenyum ketika aku sudah berdiri di depannya.
"Saya merasa terhormat, Pak Hendy mau menerima undangan saya di tengah kesibukan Bapak," katanya sambil mengulurkan tangan.
Aku menjabat tangannya hangat.
"Tentu saja. Saya sangat berterima kasih atas pertolongan Bapak tempo hari," kataku.
"Kalau bukan berkat bantuan Bapak, mungkin Lintang terluka parah," lanjutku.
"Jangan panggil 'Bapak', panggil saja Firman," katanya sambil mempersilakan aku duduk.
Aku duduk di sofa sudut berwarna hitam dari bahan kulit. Tidak banyak perabotan di kamar ini. Sepertinya pemiliknya adalah orang yang simple. Tapi tiba-tiba mataku tertuju pada dinding di depanku.
Aku terkejut.
Aku langsung berdiri dan mendekati dinding itu.
Bagaimana mungkin foto kekasihku bisa memenuhi dinding kamar ini.
Kuteliti satu per satu foto itu. Benar, ini semua foto Lintang. Bahkan foto Lintang remaja pun ada.
"Maaf.. apa maksud Anda menyimpan foto Lintang seperti ini?" ingin rasanya aku berteriak di depan wajah lelaki itu.
Dadaku terasa panas. Meskipun aku sering mendengar ada orang yang mengaku menyukai Lintang dan sering mencuri-curi fotonya, aku tidak menyangka ada orang yang melakukan lebih dari itu.
"Lintang dan saya sudah berteman sejak kami SMP. Mungkin Lintang sudah bercerita," lelaki itu berkata dengan tenang, tanpa beban.
"Bukan berarti sekarang Anda bisa memajang fotonya seperti ini kan?" tanyaku dengan penuh penekanan.
"Kenapa tidak boleh? Lintang saat ini belum menjadi milik siapa pun kan?" tanyanya menyayat hatiku.
"Saya tahu bahwa Anda ini adalah kekasih Lintang. Dan kalian sudah menjalin hubungan cukup lama. Tapi perlu Anda ketahui, bahwa saya mencintai kekasih Anda itu sejak kami kelas 1 SMP. Dan kemarin saya sudah memintanya untuk menikah dengan saya. Tapi sayangnya, Lintang mengatakan bahwa ia mencintai Anda. Jadi tidak mungkin ia akan menikahi saya. Makanya saya mengundang Anda makan siang disini untuk meminta Anda agar melepaskan Lintang untuk saya."
Aku menelan ludah pahit. Apa orang ini sudah gila? Dia mengundangku untuk memintaku melepaskan wanita yang aku cintai?
"Apa Anda pikir saya akan melepaskan Lintang untuk Anda?" tanyaku sinis dengan pandangan mata tajam.
"Apa Anda yakin Anda bisa membahagiakannya?" bukannya menjawab pertanyaanku, dia malah balik bertanya.
Apakah aku bisa membahagiakan Lintang? Kenapa aku tidak pernah bertanya begitu pada diriku sendiri.
Aku diam. Tidak yakin bisa menjawabnya.
"Apa Anda yakin ia akan bahagia hidup bersama Anda?" dia bertanya lagi, membuatku makin tidak yakin.
"Saya mengenal Lintang sejak lama. Keluarganya, semua kegemarannya, cita-citanya.. segalanya..," dia terus saja membuat hatiku panas.
"Jika seandainya Anda merasa tidak mampu untuk melakukan yang terbaik untuk Lintang, lebih baik lepaskan ia agar saya bisa membahagiakannya."
Kalimat terakhirnya terasa bagai tamparan di wajahku.
Apa yang bisa kuberikan untuk Lintang? Bahkan ketika dia menanyakan kapan aku akan melamarnya saja aku masih mengulur waktu. Sedangkan lelaki di depanku ini dengan tegas memintanya menikah dengannya.
Aku sudah tidak bisa berfikir jernih. Lebih baik aku segera pergi dari tempat ini.
"Saya masih banyak pekerjaan. Mohon maaf, saya sepertinya harus membatalkan makan siang kita," aku sudah tidak tahan melihat senyum Lintang di dinding kamar ini.
Firman hanya diam.
"Saya harap kita bisa menjadwal ulang makan siang kita ini lain kali," kata Firman akhirnya.
"Kalau begitu saya permisi..," tanpa menunggu jawaban aku segera pergi dari kamar itu menuju pintu keluar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Mom F
Penasaran ini si Firman to the point bgd....
2022-03-16
0
call Me aiNa
lanjuut baca
2022-03-07
0
Nensi Evriyanti
wow....firman berani banget..
2021-09-01
0