Aku masih terduduk diam mendengar perintah Mama.
"Nggak ditelpon dulu, Ma. Nanti kita ke sana ternyata dia lagi ke rumah sakit atau di mana gitu."
"Ya udah, kamu telpon dulu," kata Mama sambil mengipasi dirinya sendiri dengan flyer studio.
"Ni AC-nya nggak maksimal ya Lin, ko panas?"
Aku menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan wanita yang melahirkanku itu.
Sebelum aku sempat melakukan panggilan pada Firman, terdengar suara lain. Aku menengok ke kanan dan ke kiri, mencari sumber suara itu.
"Halo...," suara Mama mengangkat ponselnya, mengakhiri suara yang tadi terdengar. Rupanya suara itu merupakan dering ponsel Mamaku.
Kuperhatikan perubahan raut wajahnya.
Mama berdiri dan berjalan menjauh. Sepertinya itu panggilan penting. Setidaknya aku tidak harus menelpon Firman sekarang. Memang selama Mama mengekor kemana pun aku pergi, aku tidak mengunjunginya sama sekali. Namun kami terus saling mengabari satu sama lain.
"Lin, kayaknya nggak jadi sekarang deh. Mama sibuk banget. Sampai seminggu ke depan Mama juga nggak bisa nemenin kamu kemana-mana."
Aku bersorak dalam hati.
"Hari ini ada kegiatan amal, Mama lupa. Jadi Mama harus pergi sekarang," ujar Mama sambil bersiap pergi.
Aku memasang wajah sedih.
"Iya Ma, nggak pa pa. Lagian Lintang juga baik-baik aja kok."
"Awas, Mama peringatkan, jangan pernah coba-coba menghubungi Hendy lagi," ancamnya sebelum pergi.
Entah bagaimana bisa wanita di depanku ini tahu isi hatiku.
"Iya, Ma."
Mama segera berlalu ketika taksi onlinenya sampai. Aku melambaikan tangan mengiringi kepergiannya. Setelah taksi itu tidak terlihat, aku segera berlari ke ruang tunggu. Kubereskan semua barangku dan kusambar kunci mobil yang tergeletak di atas meja.
"Ratri, kalau ada yang cari, bilang saya lagi ke kantor arsitek, ya," pesanku pada Ratri yang sedang bertugas di meja kasir.
"Iya, Kak," jawabnya tanpa bertanya lagi.
Kulajukan segera mobilku ke arah gedung perkantoran di mana Hendy dan aku bekerja. Aku segera mendekati Pak Satpam yang berjaga di lantai dasar.
"Pak, Pak Hendynya ada di kantor?" tanyaku pada Pak Satpam dengan nametag Rahardian.
"Maaf, Bu Lintang, Pak Hendynya sedang sibuk. Apa Ibu sudah membuat janji?"
Aku mendengus. Sejak kapan aku harus membuat janji setiap datang ke sini?
"Hei, Lin," seseorang menyapaku.
"Hai, Wahyu," aku tersenyum. Kuulurkan tanganku padanya.
Wahyu menjabat tanganku dengan hangat.
"Udah lama nggak liat kamu ke sini," basa-basinya.
"Masa? Aku sering kok mampir ke sini."
"Kamu cari Hendy yah?" tanyanya.
"Iya. Dia ada di ruangannya?"
"Dia kayaknya sibuk banget deh. Dia lagi marathon beresin semua kerjaannya. Kan dia minta dimutasi," jawab Wahyu.
"Hah? Mutasi? Ke mana?" tanyaku.
"Nggak tau pastinya sih, yang pasti ke luar daerah."
Kakiku mendadak lemas. Aku mencari pegangan. Wahyu segera memegang tanganku dan membimbingku untuk duduk di kursi tunggu nasabah.
"Kalian lagi ada masalah, ya?" tanyanya.
Aku menggeleng.
"Seminggu ini dia keliatan kacau," ujar Wahyu.
Aku menarik napas panjang, berusaha menahan air mata yang berjejalan ingin keluar.
"Ya udah deh, Yu. Aku naik ke atas dulu, ya. Makasih infonya," kataku sambil menepuk bahu Wahyu.
"Lin...."
Aku mendorong pintu kaca itu sebelum Pak Rahardian membukakannya untukku. Aku tidak bisa berlama-lama di situ. Air mata sudah jatuh di pipiku. Kalau akhirnya seperti ini, untuk apa aku menghabiskan waktu selama dua tahun dengannya? Dia tidak memberikan kesempatan sama sekali untukku, bahkan untuk menjelaskan.
"Baiklah kalau itu maumu, Hen. Kita akhiri semua ini," batinku sambil menekan angka enam di samping pintu lift. Kuhapus air mataku dengan kasar. Tak akan ada lagi air mata untukmu!
...
Kuambil gawaiku dari tas. Kucari sebuah nama di sana. Arum.
"Halo...," kudengar suara lembut itu setelah nada tunggu.
"Rum, masih ada kelas nggak?" tanyaku.
"Nggak, Mbak. Abis ini aku pulang. Ada apa ya, Mbak?" tanyanya.
"Suka rujak, nggak?"
"Rujak? Suka. Kenapa gitu, Mbak?"
"Mbak dikasih banyak banget buah-buahan buat ngerujak sama temen Mbak. Katanya dia abis panen. Kayaknya ngerujak di rumah kamu asyik deh," kataku.
Kudengar dia tertawa di ujung sana.
"Kalau Mbak mau ke rumah, tinggal ke rumah aja, Mbak. Kalau pun nggak ada aku kan ada Mas Firman."
"Masa aku ngajakin Firman ngerujak, nggak lucu banget," gerutuku.
Arum masih saja tertawa.
"Kamu bilang sama Pak Min, nggak usah jemput. Biar Mbak yang jemput kamu."
"Iya, Mbak. Tungguin di gerbang yang deket pintu kolam renang, ya," kata Arum.
"Oke."
Mobilku meluncur mulus di jalanan yang tidak begitu ramai. Tujuanku langsung ke fakultas Teknik Nuklir. Entah apa yang membuat gadis cantik itu memilih fakultas yang sama dengan kakaknya. Kupikir Keperawatan atau Kedokteran cocok untuknya.
Kurang dari lima belas menit aku sudah sampai di tempat yang dimaksud.
Arum segera membuka pintu depan begitu aku menghentikan mobilku.
"Mbak abis dari mana?" tanyanya.
"Dari kantor arsitek. Tadi temen Mbak ada yang dari daerah. Dia bawa banyak banget buah. Tadinya mau dibawa ke studio, tapi kayaknya lebih asyik kalau ngerujak di halaman rumah kamu," ujarku.
"Itu rumah Mbak, bukan rumahku," katanya.
"Hemm?"
"Mbak tau kalau rumah itu dibangun buat Mbak?"
"Kata siapa?"
"Kata Mas Firman lah."
"Terus kamu percaya?"
"Ya iyalah. Apalagi sekarang...."
"Sekarang kenapa?" tanyaku penasaran.
"Nggak ada topik lain di rumah selain Mbak."
"Masa segitunya sih Rum. Kadang Mbak takut tau sama Masmu. Emang Firman nggak pernah punya pacar ya selama ini?" tanyaku hati-hati.
"Aku nggak tau sih statusnya apa, tapi banyak banget yang ngedeketin Mas Firman. Dari mulai Sekretarisnya yang ganjen, rekan kerja, sampai cewek bule juga ada."
"Wah, masa?"
"Ya, kurang apalagi sih Masku, Mbak? Dia kan ganteng, gagah, mapan, karirnya juga bagus," puji Arum.
Aku tertawa. Mana ada adik yang ngejelek-jelekin kakaknya sendiri. Iya, kan?
"Aku juga ngambil Tehnik Nuklir gara-gara liat Mas Firman. Kayaknya enak kerjanya, bisa jalan-jalan keliling dunia." Kenang Arum.
"Sebenernya apa sih Mbak yang bikin Mas Firman cinta banget sama Mbak Lintang? Aku mau nanya ke Mas Firman, tapi takut."
"Emang iya Masmu itu cinta banget sama Mbak?" aku jadi penasaran.
"Ya ampun, Mbak. Mbak nggak nyadar gitu? Aku aja yang nggak ngerti soal cinta tau kalau Mas Firman itu ngeliatin Mbak Lintang seolah Mbak itu dunianya. Nggak ada yang lain. Aku aja iri. Aku mau ada cowok yang ngeliatin aku kayak gitu," kata Arum.
Aku merasa wajahku menghangat.
"Kamu mau bikin Mbak GR ya?" selaku.
"Nggak. Aku cuma kasian aja sama Mas Firman. Cintanya bertepuk sebelah tangan. Udah tau Mbak punya pacar, masih aja dikejar." Aku merasa Arum menyindirku.
"Mbak udah putus sama pacar Mbak."
"Serius Mbak? Alhamdulillah.. aku seneng banget!" teriak Arum.
"Woi, bocah, kamu jahat. Mbak abis putus cinta malah di syukurin sama kamu," kutepuk pahanya sekeras mungkin sampai dia mengaduh.
"Ampun, Mbak...."
Aku masih ingin terus bertanya, tapi mobilku sudah sampai di depan gerbang kayu rumah Firman.
Seperti biasa Pak Diman membukakan gerbang untukku.
Kami langsung menuju ke dalam rumah dengan menenteng sekantung plastik buah-buahan.
"Mas Firman kemana, Bi, ko nggak kelihatan?" tanya Arum pada Bi Sri, wanita paruh baya yang menjadi asisten rumah tangganya.
"Mas Firmannya lagi rapat, Mbak," jawab Bi Sri.
"O, teleconference maksudnya," Arum mengangguk-angguk.
"Bi, bisa minta tolong bawain cobek sama pisau buat bikin rujak?" tanyaku pada Bi Sri.
"Mau saya buatkan sekalian, Mbak Lintang?" tawar Bi Sri.
"Nggak, nggak usah. Saya bisa kok kalau cuma bikin rujak," kataku sambil tertawa. "Bi Sri kalau nggak sibuk kita ngerujak aja bareng-bareng. Boleh kan, Rum?" izinku.
"Boleh dong," kata Arum sambil menarik kursi di ruang makan.
"Wah, saya mau banget, Mbak. Tapi saya lagi banyak kerjaan di belakang," sesal Bi Sri.
"Yah, nggak rame dong. Ya udah deh, nggak pa pa. Kita langsung ke halaman aja yuk, Mbak," ajak Arum. "Tunggu bentar, aku cari karpet dulu."
Dan beberapa menit kemudian, kami pun sudah duduk di bawah pohon pinus menikmati rujak yang kubuat.
"Mbak, ini pedes banget!" teriak Arum sambil mengambil segelas air.
"Biarin. Mbak lagi pusing, biar ilang pusingnya," ujarku sambil terkekeh.
"Aduh ampun," Arum melap hidungnya dengan tissue.
Aku menepuk-nepuk punggungnya sambil terbahak.
Tiba-tiba kulihat Pak Diman membukakan pintu gerbang dan membungkuk pada sebuah mobil yang memasuki halaman.
Seorang wanita dengan kebaya modern keluar dari mobil tersebut. Dan sopirnya membukakan bagasi mengeluarkan beberapa buah koper.
Arum membelalak terkejut.
"Ibu!" teriaknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Alanna Th
ajak aq donk ngerujak, thor. d jl. guntur, garut rmhq duluu d sebrangny ada pasar tradisional. aq zuka blnj buah"n tuk ngerujak. asyik
2020-11-15
2
Musfa Ningsih Karyadi
Bandung, aku rindu
2020-09-17
3
Robot Timus
Aku juga suka pedeesssss otoooorrr
2020-08-25
1