Aku berangkat pagi-pagi dari rumah menuju ke Garut. Kali ini aku tidak sendiri, karena Mama menemaniku. Aku pernah menjanjikan akan membawa Mama ke Garut kepada Satria. Dan hari ini aku akan menepatinya.
Seorang sopir kantor mengantar kami kesana, karena aku tidak sanggup bila harus mengendarai mobil Bandung-Garut pulang pergi sendiri. Selama perjalanan Mama terus saja menceramahiku tentang pernikahan. Bosan rasanya. Tapi aku tidak mau menjadi anak durhaka, jadi kubiarkan beliau mengeluarkan petuah-petuahnya. Setidaknya aku tidak sendiri selama empat jam ini.
"Kalau kamu udah nikah, nggak usah kerja lagi. Diem aja di rumah," kata Mama.
"Mama kan tau, kerjaan Lintang ini bukan sekedar sarana mencari uang, Ma, ini tuh passion Lintang, kebahagiaan Lintang," jelasku.
"Ya, setidaknya kamu nggak usah pergi jauh-jauh kayak gini buat nemuin klien. Kamu kan bisa jual jasa lewat internet, kamunya diem di rumah. Kalau udah nikah, kamu harus ngikutin Firman kemana aja dia bawa kamu. Nggak boleh keluar rumah kalau nggak ada izin dari dia."
"Firman aja nggak ngelarang Lintang buat ngelakuin semua yang Lintang suka. Dia bahkan menawari Lintang buat travelling. Nggak ada alasan buat berenti kerja." Kutopang daguku sambil melihat ke luar jendela.
"Kalau kamu nikah sama Firman, hidupmu enak, Lin."
"Sekarang juga hidupku udah enak, Ma. Nggak usah numpang hidup orang lain," celetukku.
"Ni anak, dikasih tau...."
"Udah dong, Ma. Kalau emang jodohnya sama Firman, pasti Lintang nikah sama dia, kok," selaku. "Mending yang sekarang kita obrolin tuh tempat yang mau kita datengin. Pabrik dorokdok, pabrik coklat, sama pabrik camilan lainnya. Mama kan jago nih kalau soal marketing. Siapa tau bisa jadi lahan bisnis kita lainnya. Belum lagi kan pergaulan Mama tuh menggurita, pasti bisa dong jadi supplier buat temen-temen Mama yang lain, yang punya bisnis sama kayak kita," kurayu Mamaku.
Mama mengangguk-angguk.
Yes! Akhirnya aku bisa mengalihkan ceramahnya tentang pernikahan.
...
Kami sampai di Garut ketika matahari sudah sepenggalah naik. Kami segera mendatangi sebuah rumah makan berkonsep alam yang ditunjuk Satria sebagai tempat pertemuan kami.
Ketika aku bertanya kepada seorang karyawan, tiba-tiba Satria datang dari arah belakang rumah makan itu.
"Hai, Lin, udah lama? Kamu makin cantik aja," godanya sambil menyalami tanganku.
Mama berdehem.
Satria buru-buru menyodorkan tangannya kepada Mama.
"Wah, Tante pasti Mamanya Lintang. Pantesan anaknya cantik, Mamanya juga cantik banget," aku tak dapat menahan tawa mendengar gombalannya. "Mari Tante, sebelah sini."
"Dasar konyol," gumamku diantara tawaku.
Makin aku kenal Satria, makin absurd saja kelakuannya. Sifatnya yang supel dan humoris membuatku betah mengobrol lama dengannya.
"Seperti yang kita obrolin kemarin, aku udah siapin semuanya. Tinggal acc kamu, besok kita udah bisa mulai pengerjaannya," kuserahkan beberapa lembar kertas dengan gambar tiap bagian ruangan dari beberapa sudut pandang. Lalu kubuka laptopku dan kujelaskan sesuai dengan gambar yang dia terima.
Beberapa kali dia bertanya dan berkomentar. Kami berdiskusi dua arah, termasuk tentang desain interior yang aku sodorkan.
"Oke, aku setuju sama semua yang kamu ajukan," akhirnya Satria mengucapkan kalimat yang aku harapkan.
Aku bersyukur berkali-kali di dalam hati. Ini proyek besar yang akan berkepanjangan. Tentu saja aku sangat senang.
"Kalau kamu oke, kita bisa mulai besok," sahutku antusias.
"Aku ikut kamu. Aku percayakan semua sama kamu, Lin," katanya sambil tersenyum memperlihatkan lesung pipinya.
"Siap!"
"Aku akan transfer uangnya hari ini," ujarnya.
"Aku akan hubungi orang-orangku agar semuanya bisa dihandle secepatnya."
"Mamamu?" pertanyaan Satria langsung membuyarkan pikiranku.
Ya ampun, aku baru ingat kalau aku kesini bersama Mama. Aku keasyikan presentasi sampai melupakannya.
Aku segera berdiri dan mencarinya. Ternyata beliau ada di toko oleh-oleh yang bersebelahan dengan rumah makan tersebut. Sepertinya semua toko oleh-oleh milik Satria berkonsep sama, selalu bersebelahan dengan rumah makan atau kafe.
"Ma, ayo masuk lagi. Lintang udah beres," ajakku pada Mama yang sedang mengumpulkan semua jenis coklat yang ditemuinya.
"Bentar Lin, ini lucu-lucu banget. Mama mau beli semua jenis, biar nanti Mama bawa waktu arisan."
Benarkan aku bilang, jiwa marketing Mama memang luar biasa. Begitu melihat sesuatu yang sekiranya 'menjual', beliau pasti langsung bergerak.
Kubiarkan beliau memborong semua yang ingin dibelinya. Aku sama sekali tidak memberitahu apabila toko itu milik Satria.
Selesai berbelanja, kami kembali ke saung kami yang sudah dipenuhi makanan khas Sunda yang menggiurkan. Mulai dari ayam bakar dan lalap sambelnya, gepuk, berbagai sate seafood, tahu tempe, perkedel kentang, sampai karedok mentah pun ada.
"Silakan Tante, Lintang, makan siang dulu. Ini menu favorit disini. Tapi sekiranya kurang suka, bisa pilih menu western lainnya," sapa Satria dengan senyum yang selalu menghiasi wajahnya.
"Nggak, nggak, Tante suka kok makanan kayak gini," sahut Mama cepat.
Dan kami pun segera memulai makan siang kami hari ini.
"Setelah ini, kita jadikan ke pabrik?" tanya Satria.
"Jadi dong, Mama pengen liat. Iya kan, Ma?" tanyaku, takut tiba-tiba berubah pikiran.
"Iya," jawab Mama singkat.
Kami benar-benar mengunjungi pabrik dorokdok setelahnya. Mama terlihat antusias. Beliau banyak bertanya pada Satria. Dan Satria pun dengan semangat menjelaskan apa yang ingin Mama tahu.
Mereka berdua berjalan berkeliling pabrik, sedangkan aku sibuk menelpon kantor untuk berkoordinasi tentang apa yang harus kami lakukan besok.
Sepertinya mereka bersenang-senang.
Setelah dari pabrik dorokdok, kami melanjutkan perjalanan ke pabrik coklat. Disana pun mereka terlihat akrab.
"Kenapa kamu nggak bilang, kalau pabrik coklat juga punya Satria?" tanya Mama melotot sambil menyikutku ketika mereka selesai berkeliling.
"Emang kenapa?" tanyaku.
"Kalau kamu bilang, Mama nggak usah ngeborong coklat di toko tadi. Tuh, dibawain lagi sama dia," cerocos Mama.
"Yaelah, Ma. Ya nggak pa pa lah. Bagiin aja sama temen-temen Mama buat sample," ujarku masih dengan melihat kearah laptop.
"Kamu itu, ya...," Mama terlihat kesal. Lalu tanpa disangka beliau membuka sebungkus coklat dan langsung memasukkannya ke dalam mulutku.
Aku masih cuek sambil mengunyah coklat yang dimasukkan Mama ke dalam mulutku. Aku penggemar coklat dan aku tidak merasa terpaksa walau dijejali berbatang-batang coklat. Tapi tiba-tiba ada rasa lain di mulutku. Coklat itu tidak hanya berasa manis, tapi juga pedas!
"Ma, Mama kasih Lintang apa?" tanyaku sambil mengipasi mulutku yang terasa panas.
"Coklat," jawab Mama," tapi rasa cabe."
Dan Mama pun tertawa terbahak-bahak.
Aku kesal sekali. Tapi melihat Mama tertawa lepas seperti itu membuatku mengurungkan niat untuk marah.
Mama jarang sekali tertawa, kecuali ketika bersama teman-teman sosialitanya. Mama dan Papa sama-sama sibuk sejak aku dan kedua kakak laki-lakiku kecil. Mama dengan setia menemani Papa yang sering sekali dipindahtugaskan. Mama selalu terlihat serius dengan semua yang beliau kerjakan. Mama jarang marah, tapi juga jarang tertawa. Yang beliau selalu lakukan adalah memerintah, menasehati dan mengomel. Mungkin itu adalah ekspresi Mama dalam memperlihatkan kasih sayangnya pada kami semua. Dibalik itu semua, aku yakin Mama sangat menyayangiku dan menginginkan yang terbaik untukku.
Maafkan Lintang Ma, jika Lintang belum bisa memberikan semua yang Mama inginkan. Tapi Mama harus tahu, kalau Lintang sangat menyayangi Mama.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Jong Nyuk Tjen
bagus nih ceritanya. Beda am novel2 yg CEO melulu n pelakor aja . Terimakasih thor
2024-02-07
4
Arsy Pudiw
💖❤️💕💞💓👍
2020-11-22
1
Alanna Th
mhh, thor, sorry bdg - grt g smp 4 jam, itu mah bdg - jkt. duluu aq sering naik mbl p"q dari grt k bdg, g smp 1 jam
2020-11-15
1