Aku masih kesal karena sindiran Firman. Aku cemburu? Masa aku cemburu sama perempuan kayak gitu? Nggak mungkin! Kalaupun aku mau cemburu atau iri, ya pastinya sama perempuan yang lebih segalanya dari aku, bukan sama perempuan angkuh model begitu!
"Ya udah, kalau kamu nggak cemburu. Nggak pa pa. Lagian dia kesini juga cuma buat mastiin aku kapan masuk kantor lagi. Selain, ya.. untuk menggodaku seperti biasanya," ujar Firman datar.
"Apa?! Godain kamu? Seperti biasa? Tu perempuan nggak tahu malu atau nggak laku sih?!" entah kenapa tiba-tiba aku menaikkan nada suaraku.
"Nggak usah ngegas kali, Lin. Biasa aja," kata Firman sambil mematikan laptopnya.
"Kamu gimana sih, Man? Kamu kan udah punya aku, ngapain juga masih mau digodain sama perempuan lain?" seruku.
"Apa, Lin? Barusan kamu bilang apa?" Firman langsung menengok ke arahku.
"Aku bilang apa?" aku bingung sendiri.
"Barusan...."
Aku mengangkat bahu. Emangnya aku bilang apa?
"Kayaknya nggak butuh tiga bulan," gumam Firman.
"Apanya?" aku tidak mengerti.
"Udahlah, nggak usah dipikirin. Aku mau taro laptop dulu ke kamar. Abis itu kita berangkat ke panti asuhan." Firman mengambil kruknya dan berjalan ke kamar.
Aku menyangga wajahku dengan tangan kiri, berfikir.
"Kenapa aku ngegas, ya? Nggak beralasan banget. Biasanya aku pintar mengolah emosi," monologku.
"Yuk!" Ajakan Firman membuyarkan lamunanku. Dia sudah mengganti pakaiannya dengan kaos dan celana jeans.
Aku berdiri dan mulai berjalan bersebelahan dengannya.
"Mau aku bantu?" tawarku.
"Nggak usah. Aku udah mulai terbiasa, kok. Aku juga targetin bulan ini aku udah harus bisa jalan lagi seperti biasa," katanya.
"Kenapa? Biar bisa buru-buru masuk kantor terus ketemu sama si Angela itu?"
"Kok kamu tahu namanya Angela?"
"Tuh kan, bener!" sergahku kesal.
"Kamu kenapa sih, Lin? Kayaknya hari ini kamu kesel banget?"
"Iya, aku kesel banget gara-gara ketemu sama perempuan itu. Namanya aja Angela, kelakuan kayak Mak Lampir," omelku sambil mengerucutkan bibir.
Firman langsung menghentikan langkahnya.
"Udah, jangan bahas dia lagi. Aku nggak mau mood kamu berantakan gara-gara dia. Kan kita mau ke panti, nggak lucu kalau kamu manyun terus kayak gitu," ujarnya.
Benar yang dikatakan Firman. Aku datang dengan hati senang, masa cuma gara-gara perempuan nggak jelas itu aku jadi kesal. Kekanak-kanakan sekali.
Aku menarik bibirku ke atas, berusaha tersenyum.
"Gitu dong, kalau senyum kan kamu jadi lebih cantik," puji Firman.
Aku memalingkan wajahku agar Firman tidak melihat wajahku yang merona.
Firman lebih dulu berjalan ke arah mobil minibus yang terparkir tepat di depan rumah. Dan aku mengekornya dari belakang.
"Kenapa nggak pake mobilku aja?" tanyaku.
"Barang-barangnya udah Arum taruh di kursi belakang," kata Firman.
"Barang apa?" tanyaku penasaran sambil mengintip ke dalam mobil.
Aku sangat terkejut melihat isi mobil itu. Dus-dus mainan berjejalan di kursi belakang. Beberapa buah bola sepak dan bola basket ikut memenuhi mobil. Juga terlihat tumpukan tas sekolah yang ditumpuk di atas kursi.
"Kamu mau ngapain, Man?" tanyaku heran.
"Kita mau ke panti asuhan, 'kan? Ya aku bawain barang-barang yang bisa bikin mereka senang."
"Maksudku...."
"Dana? Udah aku siapin, kok."
Aku hanya bisa bersyukur. Pasti anak-anak panti akan sangat senang.
"Masuk, yuk! Ada Pak Min yang nyetir, kok. Jadi nggak usah khawatir, kita nggak cuma berdua," ujar Firman sambil membukakan pintu mobil.
Pak Min berjalan tergesa ketika melihat kami sudah membuka pintu.
"Nggak usah buru-buru, Pak. Kami nggak dikejar waktu, kok," kataku sambil tersenyum saat Pak Min sudah berada di belakang kemudi.
"Maaf ya, Mbak. Saya tadi dari belakang," katanya.
"Nggak pa pa, Pak." Aku menoleh ke arah Firman. "Kita jalan sekarang?" tanyaku padanya.
Firman mengangguk.
Pak Min mulai melajukan mobil minibus ini dengan arahanku. Aku memberikan petunjuk jalan ke arah panti asuhan.
Tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai ke tempat yang kami tuju. Panti asuhan itu berada di tepi jalan raya. Dengan halaman yang luas dan bangunan yang cukup besar, panti asuhan itu menampung puluhan anak yatim piatu.
Aku membuka pintu setelah mobil ini terparkir dengan sempurna. Firman pun melakukan hal yang sama.
Aku menengok ke arah bangunan itu. Biasanya anak-anak akan berlarian melihatku datang. Kemana mereka?
Tiba-tiba pintunya terbuka, Bunda Shinta keluar bersama si kecil Laras di dalam gendongannya.
"Itu Bunda!" teriak Laras, gadis berumur lima tahun yang juga penghuni panti ini.
Dia berusaha lepas dari gendongan Bunda Shinta dan segera berlari ke arahku.
"Bunda!" teriak Laras begitu dia berhasil menubrukku.
"Halo, Sayang," sapaku sambil mengangkat gadis kecil itu tinggi-tinggi.
"Bunda!" tiba-tiba teriakan berlanjut dan anak-anak berhamburan dari dalam panti ke arahku.
Mereka memelukku beramai-ramai.
"Kalian kangen banget ya sama Bunda, sampai Bunda dikeroyok kayak gini," tawaku sambil menerima tangan-tangan kecil yang berebut mencium tanganku.
Firman berjalan ke arahku.
"Hei anak-anak salim juga dong sama Om Firman," kataku sambil menunjuk Firman yang berdiri tak jauh dariku.
Mereka berbondong-bondong berpindah ke arah Firman dan menyodorkan tangannya ramai-ramai.
"Apa kabar, Lin? Sehat, 'kan?" sapa Bu Shinta, Pemilik panti asuhan ini.
"Sehat, Bu. Alhamdulillah." Gantian aku yang menyalami dan mencium tangan wanita berhati emas itu.
"Ini temen Lintang, Bu. Namanya Firman. Insya Allah tiga bulan ke depan, beliau ini akan jadi donatur untuk panti asuhan Ibu," kataku memperkenalkan Firman.
"Alhamdulillah. Makasih ya, Nak Firman," ucap Bu Shinta.
"Sama-sama, Bu," jawab Firman sambil tersenyum.
"Pak Min, bisa minta tolong bawa masuk barang-barang yang di mobil?" pinta Firman pada Pak Min.
"Iya, Mas," Pak Min segera membuka bagasi.
"Angga, boleh minta bantuan buat nurunin barang-barangnya juga?" kataku pada Angga, salah satu anak panti yang sudah duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama.
"Siap, Bun," Angga segera membantu Pak Min.
"Anak-anak kita masuk, yuk. Om Firman punya hadiah buat kalian. Tapi biar Bunda Shinta yang bagiin ya, soalnya Bunda Lintang nggak tau apa aja kesukaan kalian," giringku pada anak-anak yang sudah berteriak kegirangan.
Firman mengikutiku ke dalam panti. Anak-anak sudah duduk manis di ruang tamu yang luas. Sebagian dari mereka adalah anak-anak yatim piatu yang ditemukan Bunda Shinta di depan panti. Sebagian lagi anak-anak yang sengaja ditinggalkan orang tuanya dengan berbagai alasan. Ada pula anak jalanan yang diajak tinggal bersama oleh Bunda Shinta.
Anak-anak bersorak ketika Pak Min dan Angga menumpuk dus-dus berisi mainan impian mereka. Ada boneka, mobil-mobilan, pesawat, mainan bongkar pasang dan entah apalagi yang dibeli Firman. Ketika bola sepak, bola basket juga tumpukan tas sekolah yang dibawa masuk oleh Pak Min, giliran anak-anak yang lebih besar yang memekik senang.
Kuambil kameraku dan tak kusia-siakan moment seperti ini. Tawa bahagia dan binar keceriaan di mata mereka menjadi fokus kameraku. Tak terasa air mataku menetes. Aku merasakan kebahagiaan mereka. Dan kurasa, Firman juga merasakan apa yang kurasa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Ma'e Dina
kadang apa Yang kita anggap sepele sangat berarti bagi orang lain
2021-12-10
1
sumiati
Tidak sampai 3 bulan nih kayaknya udah ada yang luluh hatinya ❤️
2021-09-13
0
San Hanna
udah mulai tumbuh nih benih-benih cintanya.
2020-12-22
1