"Oke ... jalan terus ... pelan aja ... senyum ...." Aku memberikan arahan pada dua sejoli yang akan menikah bulan depan itu.
Kuperhatikan terus layar tiga inci di depanku untuk mendapatkan hasil gambar terbaik.
"Oke, cukup!" aba-abaku.
Kedua calon mempelai itu berlari ke arahku tak sabar ingin melihat hasil jepretanku tadi.
"Iih Kak, bagus semua! Jadi bingung mau pilih yang mana," kata si Cewek.
"Kita cetak aja semua, Sayang," ujar si Cowok.
Aku mengulum senyum.
Nih cowok beneran cinta mati sama ceweknya.
Kami memulai foto prewedding ini dari jam delapan pagi. Sekarang jam sebelas siang. Sudah tiga jam kami melakukan sesi pemotretan ini. Sedangkan aku bisa mengambil lima frame dalam satu detik.
Hitunglah satu jam kami mengambil gambar, sisa dua jamnya untuk mengarahkan gaya dan lain-lain, itu berarti 3600 detik dikali lima. Berarti 18.000 lembar yang ingin dia cetak.
Manis sekali.
"Kak, nanti bisa lihat-lihat hasil gambarnya di studio aja, ya. Kalo di sini kan kecil. Kalo di sana puas liatnya. Tinggal bilang sama Mas Dewo atau Kak Zay mau yang mana yang dicetak besar. Nanti juga pasti dikasi copy-annya kok. Jadi semua yang kita ambil hari ini bisa dipasang buat status atau foto profil," kataku sambil tersenyum.
"Kalau gitu abis ini kami langsung ke studio aja, ya," kata si Cewek, sumringah.
"Silakan," kataku.
"Sa, tolong kasihin ini ke Mas Dewo, ya," kubuka kartu SD nya dan memberikannya pada Sasa, salah seorang karyawanku yang menemani pemotretan hari ini.
"Bay, nitip ya," kulepas lensa telenya.
"Aku mau bawa kameranya. Langsung balik ke studio aja."
"Iya, Lin," Bayu langsung memasukkannya ke dalam tas kamera.
Lelaki itu pun segera membereskan tripod dan semua peralatan yang kami pakai tadi.
Kulambaikan tangan pada mereka yang sudah berada dalam mobil.
"Jadi udah beres?" tanya seorang pria di belakangku.
Aku berbalik.
"Udah." Kuberikan senyum terbaikku. "Jadi, kapan prewed kita?"
Pria itu tertawa.
Ya, pria yang berdiri di hadapanku sekarang adalah kekasihku selama dua tahun ini, Hendy Prayoga.
Dan aku adalah Lintang, seorang arsitek yang menyukai photography.
Aku dan beberapa rekan membuka bisnis studio foto yang berkonsep anak muda di Kota Kembang.
Tak hanya studio foto, kami pun memiliki percetakan dan wedding organizer.
"Memangnya kamu pengen buru-buru nikah?" tanya Hendy.
"Nggak sih, aku masih suka travelling kemana-mana. Tapi kamu tau sendiri kan mama ngomong mulu, pusing tau."
Aku yakin, mama memaksaku cepat-cepat menikah karena tetanggaku terus memanas-manasinya.
Masa gadis 27 tahun, seorang arsitek, mapan, belum juga nikah.
"Iya, aku ngerti," kata Hendy. "Tapi nggak sekarang-sekarang ya, aku belum pede memintamu sama Papa. Aku masih minder."
"Yaelah Hen, emang aku minta mahar apaan sih sama kamu," kataku mulai sebal. "Aku kan nggak minta apa-apa. Jadi jangan terlalu memaksakan diri sendiri. Kalo aku diambil orang, baru tau rasa kamu."
"Bukan gitu maksudku, Lin. Tapi kan aku harus bisa setidaknya mengimbangimu," argumen Hendy. "Kan nanti aku yang jadi kepala rumah tangganya."
"Kelamaan," kataku sambil mulai berjalan menyusuri Jalan Braga.
Aku berjalan sambil memotret apapun yang menurutku menarik.
Apalagi sepanjang jalan Braga dan Asia Afrika banyak bangunan dan spot-spot foto yang menarik.
Jalanan siang ini sangat ramai. Apalagi hari ini week end.
Aku masih terus meneropong lewat lensa, ketika tiba-tiba mataku menangkap sosok seorang anak kecil berusaha menyeberang jalan.
Anak itu terlihat ragu.
Dia berkali-kali maju dan mundur lagi.
Dia tidak seharusnya ada di sana. Karena di sana adalah jalur cepat.
Ada jembatan penyeberangan tapi memang agak jauh jaraknya.
"Hen, liatin anak itu deh. Kok perasaan aku nggak enak, ya," bisikku pada Hendy.
Hendy memperhatikan anak yang kumaksud.
"Anak ilang kali, Lin," kata Hendy.
"Aku samperin aja deh."
Akhirnya aku berjalan mendekati anak itu.
Sebelum aku sampai ke tempat anak itu, anak itu malah nekat menyeberang.
Aku segera berlari.
"Awas!!" Aku berteriak sekencang yang aku bisa.
Sebelum mobil itu menyentuh tubuh si Anak, aku berhasil menarik dan menggendongnya.
Anak itu berada dalam pelukanku ketika kurasakan benturan yang sangat keras.
Aku tak tahu apa yang terjadi dengan tubuhku.
Aku hanya merasa ada seseorang yang memelukku dari belakang dan terdengar bunyi decitan ban mobil yang beradu dengan aspal.
Dan aku pun tak sadarkan diri ...
...
Telingaku sayup-sayup menangkap suara-suara di sekitar.
Aku berusaha keras untuk membuka mata.
Cahaya lampu terlihat sangat menyilaukan hingga aku memicingkan mata.
"Dia udah sadar, Suster!" Terdengar suara Hendy yang penuh dengan kekhawatiran.
"Cepat panggil Dokter!"
Kuedarkan pandanganku ke setiap sudut tempat ini.
Dimana aku?
"Kamu nggak pa pa, Sayang?" tanyanya khawatir.
Ada kecemasan yang amat kentara di wajah tampannya.
"Apa yang kamu rasain sekarang?" tanyanya lagi.
Sebelum aku menjawab, dokter sudah lebih dahulu datang.
...
Aku berdiri di depan pintu sebuah ruang inap.
Kutarik napasku berkali-kali sebelum kuhembuskan lagi.
Mau masuk, tapi ada ragu.
Akhirnya kuberanikan diri masuk dan melihat keadaan orang yang berada di dalamnya.
Menurut Hendy, ada orang lain yang menolongku dan anak itu.
Dia melindungi tubuhku sehingga aku hanya mengalami sedikit benturan dan lecet-lecet.
Kuketuk pintu itu dan mendorongnya perlahan.
"Hai," sapa sang Pemilik Kamar, lemah.
Mataku terbelalak. Tak percaya dengan penglihatanku.
Aku menutup mulutku agar tak keluar suara isakan dari sana. Namun, mata tak bisa berdusta. Air mataku langsung meleleh di pipi.
Dia, yang sedang berbaring disana adalah sahabatku sejak sekolah menengah pertama.
"Firman ... kamu ...." Aku menggelengkan kepalaku kuat-kuat.
Aku tak bisa menyembunyikan rasa bersalah melihat lelaki itu terbaring di atas tempat tidur dengan kondisi kepala dibalut kain kasa dan kaki di gips.
"Kenapa kamu lakuin ini?" tanyaku pelahan.
"Kok pake 'kenapa'?" tanyanya sambil nyengir, menahan nyeri.
"Apa harus ada alasan buat nolongin orang?"
Kulangkahkan kaki menuju bednya. Kuseka air mataku dengan punggung tangan.
"Makasih, ya," ucapku lirih.
"Buat apa?" tanyanya konyol.
"Kok buat apa, sih? Ya buat pertolonganmu ini. Kok malah nanya." Kukerucutkan bibirku. Pura-pura merajuk.
"Kamu berharap terima kasih dari anak yang kamu tolong?"
Aku menggeleng.
"Sama, aku juga begitu," jawabnya.
"Seandainya pun itu bukan kamu, aku akan tetap tolongin, kok. Jadi jangan sungkan."
Rizky Firmansyah, aku mengenalnya ketika papaku ditugaskan di sebuah kota di Jawa Tengah, kota seribu bunga, Magelang. Sebuah kota yang sejuk dan asri.
Kami satu sekolah ketika sekolah menengah pertama dan bersama dalam satu kelas selama dua tahun.
Kami bertemu lagi ketika kami kuliah di universitas yang sama, tapi berbeda jurusan.
Dan kini, dia terbaring disini karena menyelamatkanku.
Tiba-tiba pintu terbuka dengan keras.
Kami menengok ke arah pintu bersamaan.
Seorang gadis muda masuk dengan wajah pucat. Dan di depan pintu, aku melihat Hendy berdiri tanpa niat untuk masuk.
"Mas!!" teriak sang Gadis.
Sang Gadis langsung berlari menghambur ke bed tempat Firman terbaring.
"Mas, kenapa bisa jadi begini?"
Mas?
Siapa dia?
Istrinya?
Pacarnya?
Apa yang harus aku katakan padanya?
Maaf, saya sudah membuat kekasih Anda celaka?
Begitu?
Apa yang harus kukatakan padanya? Aku berpikir keras.
Tiba-tiba sang gadis melihat ke arahku. Dari mimik wajahnya, ia terlihat sangat terkejut.
"Mbak Lintang?" tanyanya penuh selidik.
"I-iya ...," jawabku terbata. Siapa dia? Memangnya dia kenal sama aku?
"Kok Mbak Lintang bisa ada di sini?" tanyanya lagi.
"Tadi Firman yang nolongin, waktu aku hampir ketabrak," jawabku jujur penuh penyesalan.
"Ya Allah, Mas ...," ratapnya. Ada sesal disuaranya.
"Mas nggak apa-apa. Jangan bilang sama ibu dan bapak, ya. Beliau berdua kan taunya Mas belum pulang," pinta Firman.
Mas? Ibu? Bapak? Jangan-jangan dia ...
"Gimana kata dokter?" Entah pertanyaan itu dilontarkan untuk siapa.
Aku dan Firman hanya bisa diam, tak ada jawaban. Aku benar-benar merasa tak nyaman dalam keheningan ini.
Tiba-tiba terdengar suara pintu dibuka. Muncullah seorang dokter dan dua orang perawat.
Aku selamat!
"Keluarga Bapak Firman?" tanya Dokter itu.
"Iya, saya adiknya, Dokter," buru-buru gadis itu menjawab.
Oo, ternyata dia adiknya. Namun setauku, adiknya seharusnya lebih besar dari gadis ini.
"Begini ya, Bu, kakak Anda ini mengalami gegar otak ringan. Dan kakinya retak tepat di tulang keringnya. Tadi sudah kami rongent. Untuk benturan di kepalanya ...," Dokter itu menjelaskan panjang lebar dan dijawab dengan anggukan kepala dari sang adik. Mereka berbincang dengan serius.
Dan aku, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutku. Aku hanya menatap Firman dengan penuh penyesalan.
"Aku benar-benar nyesel, Man. Aku janji, aku akan bayar semua biaya pengobatanmu," kataku setelah dokter itu pergi.
Aku membayangkan, bagaimana dia menolongku sampai dia mendapatkan luka-luka sebanyak ini.
Firman terkekeh.
"Nggak usah, nanti juga dibayar perusahaan," jawabnya. "Lagipula bukan kamu yang minta diselamatin, itu inisiatif aku sendiri," katanya sambil tersenyum.
"Trus gimana anak itu?" tanyanya.
"Katanya dia baik-baik aja. Nggak luka sama sekali," ucapku.
"Syukurlah kalau gitu."
"Hei, sepertinya kita dulu sering reka adegan yang kayak gini, ya," kataku sambil nyengir.
"Iya, tapi kan nggak di aspal. Cuma di tanah miring atau kebun," sambung Firman.
Ya, kami berdua mengikuti ekstrakurikuler karate sejak kelas satu SMP.
"Seenggaknya ilmunya kepake." Kami berdua tertawa.
Si gadis masih saja melihatku dengan pandangan yang tidak mengenakkan.
"Ehm, *s*orry, adiknya Firman, ya?" tanyaku sambil mendekatinya.
"Iya."
Aku mengulurkan tangan, "Lintang," sapaku.
"Arum," jawabnya singkat.
Aku menengok ke arah Firman.
"Bukannya adikmu namanya ...."
"Indah," potong si gadis. "Itu kakakku yang satu lagi."
Mulutku membentuk huruf O tanpa suara.
Dingin sekali tanggapannya. Namun aku cukup tahu diri. Tentu saja, apa yang aku harapkan? Sapaan hangat sambil minum kopi dari adiknya?
"Rum maaf, ya. Walau bagaimanapun Mas mu kayak gini karena nolongin aku. Ini kartu namaku. Nanti kalau ada apa-apa atau kamu butuh sesuatu, telpon aja. Insya Allah besok-besok aku akan datang setiap hari," janjiku sambil menyodorkan sebuah kartu nama.
"Iya, Mbak," jawabnya.
"Ehm, aku udah boleh pulang sama dokter. Jadi aku pamit dulu, ya," kataku dengan perasaan tidak nyaman.
"Iya, nggak apa-apa. Hati-hati di jalan ya, Lin. Salam buat om dan tante," ujar Firman sambil tersenyum.
"Iya, nanti aku sampein. Kamu cepet sembuh ya, Man. Besok aku kesini lagi." Kulambaikan sebelah tanganku padanya.
"Dah Arum. Assalamu 'alaikum."
Aku hanya mendengar balasan salamnya, tanpa lambaian tangan.
...
Hari ini Firman sudah boleh melakukan rawat jalan. Dia sudah dirawat secara intensif selama sepuluh hari. Dan selama itu pula, aku datang menengoknya setiap hari di rumah sakit. Seperti janjiku padanya.
Dan sekarang, aku berinisiatif untuk mengantarkan dia pulang ke rumah.
"Yang mana rumahnya?" tanyaku sambil melirik ke kanan dan ke kiri sepanjang jalan yang sepi.
"Yang di depan itu, Mbak, yang ada pohon pinusnya," jawab Arum.
"Di sini?" Aku berhenti di depan sebuah pintu gerbang berbahan kayu yang di cat natural.
"Iya," jawab Arum lagi.
Semenit kemudian datanglah seorang bapak dengan tergopoh-gopoh, membukakan pintu gerbang.
Kumasukkan mobilku ke dalam halaman luas yang begitu asri. Dengan pohon pinus yang berjajar di sepanjang jalan menuju sebuah bangunan rumah minimalis.
Suster mengeluarkan kursi roda, setelah mobil kuparkirkan tepat di depan pintu.
"Pak Diman, tolong Mas dulu," kata Arum pada Pak Satpam tadi.
"Iya, Mbak," Pak Satpam bergerak cepat membantu Firman keluar dari mobil dan mendudukannya di kursi roda.
Arum sudah tidak sedingin waktu pertama kali kami bertemu. Sepertinya Firman memberikan pengertian pada Arum sehingga sikapnya mulai menghangat padaku.
Suster sudah hendak mendorong kursi roda Firman ke arah pintu, ketika kutawarkan bantuan padanya.
"Biar sama saya aja," kataku sambil tersenyum pada suster itu.
Kudorong kursi rodanya pelahan. Pintu rumah sudah dibukakan dengan lebar oleh seorang wanita paruh baya.
"Rumah yang bagus," pujiku.
"Makasih. Kamu pasti lebih faham," celetuk Firman.
Kukelilingkan mataku melihat ruang tamu yang didominasi warna hitam dan putih. Warna favoritku. Dengan perabotan modern tapi tidak crowded, membuat rumah ini terlihat sangat luas. Ditambah lagi tiap ruangan yang dibuat pararel tanpa sekat membuat ventilasinya berputar dengan sangat baik. Juga jendela-jendela besar, memberikan cahaya matahari yang cukup ke dalam rumah. Dari sana terlihat halaman yang luas dengan pohon pinus sebagai hiasannya.
"Rumah impian banget," kagumku.
"Apalagi dengan kamu di dalamnya, pasti seperti impian yang jadi kenyataan," ujarnya.
Aku tertawa. Bisa saja temanku ini menggodaku. Padahal setauku dia adalah sosok kalem yang pendiam.
"Mau aku anter ke kamar?" tawarku.
"Boleh. Pintu yang itu," tunjuknya.
Kubuka pintu itu pelahan. Lalu kudorong kursi roda itu masuk.
Arum dan suster mengikutiku dari belakang.
Kamar yang cozy, dengan warna abu dikombinasi warna putih. Kamar ini lumayan luas dengan sebuah tempat tidur king size dan dua buah lemari di sisi kanannya. Sebuah kursi dan meja kerja juga menghuni kamar ini. Sebelah dindingnya berupa pintu kaca geser berukuran besar yang jika dibuka langsung berdampingan dengan halaman berumput jepang yang asri. Benar-benar membuat betah pemiliknya.
Tiba-tiba mataku menangkap sesuatu yang membuatku tertegun. Dinding di depan meja kerja itu yang membuatku menahan napas.
Di dinding itu terpajang banyak sekali foto. Dari foto ukuran pocket sampai ukuran poster. Sebagian diambil dari kamera handphone dan sebagian lagi diambil dari sosial media. Terlihat sekali, karena hasilnya terlihat buram, tidak seperti foto yang diambil langsung dengan kamera. Bahkan banyak foto yang diambil secara candid.
Aku menghentikan langkahku. Kuhentikan juga kursi roda Firman tepat di depan dinding itu.
Kusentuh foto-foto itu dengan bibir bergetar.
"A-a-pa ini?" tanyaku terbata. Aku menatap Firman yang duduk di kursi rodanya dengan tatapan meminta penjelasan.
"Apa maksudmu dengan semua ini?" tanyaku lirih.
"Aku tidak bermaksud apa-apa," jawab Firman tenang.
"Kalau kamu tidak bermaksud apa-apa kenapa dinding kamarmu penuh dengan FOTOKU?!" teriakku padanya.
"Kalau kamu tidak bermaksud apa-apa, kenapa dinding kamarmu penuh dengan FOTOKU?!!" teriakku pada Firman.
Firman hanya diam. Dia berusaha memutar kursi rodanya agar menghadap ke arahku.
"Aku minta penjelasan!!" aku sudah mulai sulit mengontrol emosiku sendiri.
Aku tidak pernah berfikir ada orang yang berniat mencetak foto-fotoku untuk dipajang seperti ini. Bagaimana bila niatnya buruk dan menjadikan aku sebagai objek fantasinya? Aku bergidik ngeri.
Firman memberikan isyarat pada Arum. Arum mengerti, ia segera membawa suster yang berada di sampingnya untuk keluar tanpa membantah.
"Apa yang ingin kamu dengar?" tanya Firman.
"Apa maksud semua ini?" aku menunjuk ke arah foto-fotoku.
Dia berusaha mendekat dengan memutar kursi rodanya sendiri.
"Seperti yang kamu lihat, ini semua kamu. Aku menyimpan semua fotomu, sejak kita sekolah sampai sekarang," katanya tenang.
"Untuk apa kamu melakukan ini?" tanyaku.
"Karena aku ingin melihatmu setiap saat. Sebelum aku memejamkan mata dan ketika aku membuka mata. Aku ingin melihatmu ketika aku merasa bahagia, ketika aku merasa sedih, ketika aku kecewa, ketika aku lelah bekerja."
"Tapi kenapa?" tuntutku.
"Karena aku mencintaimu sejak kelas 1 SMP sampai detik ini."
Hatiku melonjak, tidak siap dengan pernyataan seperti ini.
Aku tertawa mengejek.
"Sejak SMP sampai detik ini? Kamu gila?"
"Ya, aku gila karena kamu," jawabnya.
Aku terperangah.
"Kenapa aku?"
"Sepertinya aku tidak penting dalam ingatanmu. Jadi kamu nggak mengingat apapun tentang aku." Mimik wajahnya langsung berubah.
"Nggak, Man. Aku selalu menghargai setiap orang yang pernah ada dalam hidupku. Termasuk kamu. Aku inget kita berteman sejak aku pindah sekolah waktu kelas 1 SMP. Kita sekelas waktu kelas 1 dan 2. Trus kita sama-sama ikut ekstrakurikuler karate sama anggar. Trus waktu lulus SMP aku dibawa pindah lagi sama orang tuaku kesini. Kita nggak pernah ketemu lagi. Kita ketemu lagi pas kuliah. Kita satu kampus beda jurusan. Aku arsitektur dan kamu nuklir. Kita ketemu beberapa kali di kampus. Gitu kan?"
"Aku menghargai semua yang kamu ingat," Firman tersenyum.
"Aku akan lebih menghargai lagi kalau kamu ingat kenapa aku ikut karate," lanjutnya.
Aku berusaha mengingat kejadian yang sudah belasan tahun berlalu itu. Tapi nihil.
Dia tersenyum.
"Kamu ingat waktu kelas 1 aku pernah dibully sama Ragil dan Tommy?" tanyanya berusaha mengingatkan.
Aku berusaha mengingatnya.
...
Ketika itu, aku sedang menulis lagu Karma-Coklat untuk dipajang di majalah dinding. Kelas dalam keadaan sepi. Hanya ada beberapa anak di kelas.
Tiba-tiba aku mendengar suara makian yang ditahan dan suara bergedebug. Aku menoleh dan melihat di sudut kelas ada 2 orang anak yang sedang menendang sesuatu. Sekolahku adalah sekolah favorit dengan ruang kelas yang besar dan luas. Bahkan dari tempatku duduk aku tidak bisa melihat dengan jelas apa yang mereka lakukan.
Akhirnya aku mendatangi mereka dan melihat apa yang mereka lakukan. Mereka sedang menendang seorang anak berbadan kecil dan memaki-makinya. Dan dengan marah aku mendorong mereka berdua dan berusaha melindungi anak itu. Dengan sombongnya aku menantang dua teman sekelasku itu, meskipun badan mereka lebih besar dari badanku.
...
Aku mengingatnya. Anak yang dibully itu adalah Firman. Aku mengingat dengan jelas ketika anak itu melipat seluruh tubuhnya dan melindungi kepalanya dengan tangan ketika kaki-kaki temannya sendiri memberi lebam di tubuhnya.
Air mataku menetes. Aku berusaha mengusapnya sebelum ia jatuh di pipi.
"Ya, aku ingat," kataku lirih.
Dia masih juga tersenyum.
"Jangan bilang setelah itu kamu jadi suka sama aku," tebakku.
"Aku tidak hanya menyukaimu, aku benar-benar memujamu. Kamu sudah menyelamatkan nyawaku," katanya dengan pandangan yang membuatku salah tingkah.
"Jangan berlebihan. Aku cuma melakukan yang seharusnya aku lakukan. Kalau pun waktu itu aku nggak nolong kamu, pasti ada orang lain yang nolong kamu," kataku. "Malah sekarang aku yang berhutang nyawa sama kamu. Kamu yang nyelamatin nyawaku."
"Aku nggak keberatan menukar nyawaku sama keselamatan kamu," kata-katanya membuatku kembali terhenyak.
Kenapa kata-kata itu tidak keluar dari mulut Hendy yang notabene adalah kekasihku selama 2 tahun ini, calon suamiku. Kenapa harus dari orang yang bahkan tidak pernah aku ingat keberadaannya.
Aku berbalik, menyembunyikan air mata yang nekat keluar lagi.
Kulihat foto itu satu per satu.
Ada fotoku dengan Firman dan beberapa teman kami sedang latihan karate. Ada fotoku sedang mengangkat sebuah medali yang terkalung di leherku. Ada fotoku tengah duduk di taman di sekitar kampus sambil membaca majalah desain. Ada fotoku sedang tertawa bersama teman-teman kampusku. Ada fotoku yang sedang berjongkok sambil mengintip lewat kamera. Bahkan ada foto wisudaku dari ujung kepala sampai ujung kaki berukuran poster dengan bingkai berukir berwarna emas.
Entah berapa puluh foto lainnya yang semua adalah fotoku.
"Kamu mengambil ini dari sosmed ku?" tanyaku.
"Ya, dan beberapa diantaranya aku ambil sendiri waktu aku ketemu kamu di kampus," katanya.
Aku menunjuk sebuah foto. Aku tersenyum. Rasa marahku padanya menguap begitu saja.
"Kamu dapet ini dari mana?" tanyaku.
Itu adalah fotoku ketika ikut PON waktu kami kelas 3.
Dengan berbalut seragam anggar, aku menenteng masker ¹ di lengan kiriku dan pedang jenis Degen di tangan kanan. Berdiri dengan kaki bersilang dan senyum nakal dengan sebelah mata berkedip. Aku tak pernah ingat pernah secentil itu.
"Aku dapat dari Yoga. Waktu itu aku nggak bisa ikut, soalnya aku ikut Olympiade Matematika," katanya.
"Ya aku ingat."
Saat itu kami adalah atlet kadet, atlet pemula dibawah 17 tahun. Jarang sekali ada atlet di cabang anggar. Karena hanya sekolah kami yang mempunyai ekskul anggar, maka pelatih membawa kami sebagai atlet kadet. Harusnya kami berangkat berlima, tapi Firman berangkat untuk Olimpiade Matematika.
Di Floret ada Indah yang seharusnya datang bersama Firman. Sedangkan aku membawa Degen bersama Yoga. Dan David memegang Sabel.
Rasanya melihat foto-foto ini aku kembali ke kenangan-kenangan indah di masa lalu.
"Lin..," tiba-tiba Firman memegang tanganku.
"Maukah kamu menikah denganku?"
Hah??
Tak cukupkah kejutan hari ini? Mendengar dia mencintaiku sejak lama saja sudah membuatku terkejut. Dan sekarang dia membuatku lebih terkejut dengan memintaku menikah dengannya?!
"Man.. kamu harus tau sesuatu," kataku. "Aku punya pacar. Dan kami sudah berencana menikah."
"Tapi belum kan?" pertanyaannya membuatku ingat pada Hendy, kekasihku yang terus mengulur waktu untuk melamarku.
"Tapi aku nggak bisa, Man. Aku cinta sama dia. Dan dia juga cinta sama aku. Aku nggak mungkin ninggalin dia buat nikah sama kamu."
"Aku tidak memaksa, Lin. Mungkin sekarang belum bisa. Tapi kita kan nggak pernah tahu apa yang akan terjadi besok," ujar Firman.
Ya, itu semua rahasia Tuhan.
...
Keterangan:
-masker¹ : alat yang digunakan untuk melindungi wajah, berbentuk oval dan biasanya dibuat dari bahan foil
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!