The CEO'S Twins
"Kau harus ingat, Sania. Apa pun yang dia inginkan, kau harus menurutinya. Ingat, apa pun itu. Termasuk tubuhmu," ucap seorang wanita pada keponakannya.
"Tapi kenapa Bibi ingin Sania menuruti kemauan pria itu? Siapa dia yang bisa membuat Bibi tunduk padanya? Bagaimana jika Sania katakan bahwa tidak ingin menuruti kemauannya? Apakah dia akan menghancurkan Sania?" seorang wanita yang masih lugu, berusaha untuk meminta keadilan untuk dirinya.
"Menghancurkanmu adalah sesuatu yang terlalu mudah baginya, orang kecil seperti kita ini, tak akan mampu membayangkan apa saja yang bisa dia lakukan. Jadi, Bibi hanya akan memperingatimu sebelum kau menemuinya, jaga sikapmu dan jangan sampai kau menyinggungnya, mengerti?" Sang Bibi pun melotot tajam membuat wanita polos nan manis ini sedikit takut.
Setelah mengucapkan peringatannya, sang bibi pun pergi meninggalkan Sania seorang diri di dalam kamar hotel.
Sania terus menunggu dengan rasa takut dan gemetar di seluruh tubuh, hanya bisa berdoa semoga orang yang akan menemuinya adalah orang yang bisa bertoleransi.
Tak lama setelah menunggu, sekitar 15 menit, pintu pun terbuka, sebuah sosok tegap dengan tatanan busana formal berwarna hitam masuk menghampirinya.
"Selamat malam, Nona Sania," sapanya sembari membungkuk.
Eh, bukan dia orangnya? batin Sania keheranan.
"Anda siapa?" tanya Sania gugup.
"Siapa saya tidaklah penting, Anda hanya perlu menurut." Jawaban tersebut membuat seluruh tubuh Sania seakan mati rasa. Namun, tetap berusaha untuk mengendalikan diri.
"Apa saya seorang babu sehingga harus menurut begitu saja?" Sania tak terima.
"Katakanlah seperti itu, pada dasarnya, hidup Anda berada di tangan Tuan muda kami, Anda tak memiliki hak meminta keadilan apa pun, selama Tuan muda menginginkan, Anda tetap harus menurutinya." Sebuah bahasa yang begitu formal. Namun, mampu membuat jiwa Sania meronta-ronta.
"Lalu di mana tuan mudamu itu? Kenapa dia tidak datang untuk menemuiku langsung? Jangan bilang bahwa dia takut bertemu denganku?" Sania tersenyum sinis.
"Pertanyaan sesungguhnya adalah, Anda siapa bisa membuat Tuan muda kami takut?"
Astaga, pria ini kenapa begitu menakutkan? Setiap inci kata yang dia keluarkan, mampu membuatku tertekan sampai tak bisa membalas. Sania terus mengepalkan tangan semakin khawatir akan dirinya.
"Silahkan ikuti saya, Nona."
"Kalau aku tidak mau ikut, bagaimana?" Sania dengan berani menantang, masih tak ingin menyerah.
"Terserah Anda mau bagaimana, saya hanya ingin menyampaikan titah dari Tuan muda bahwa ia mengatakan, menurutlah jika Anda masih ingin hidup."
Seketika Sania berdiri dengan tegap. "Siap laksanakan, Tuan." Dengan meletakkan tangan di dahi seakan sedang hormat pada komandan militer.
Pria itu pun berjalan keluar dengan diikuti oleh Sania, gerakan wanita ini sungguh dibuat kaku oleh aura dingin yang terpancar sepanjang perjalanan. Lalu semenakutkan apa tuan muda yang selalu disebut oleh pria itu?
Setelah menempuh jarak yang cukup jauh, akhirnya mobil berhenti di depan sebuah gedung kantor catatan sipil.
"Eh, apa ini? Kenapa datang ke sini? Jangan bilang Anda mau menikahi saya." Kewaspadaan Nia semakin meningkat.
"Saya tidak tertarik." Lalu ia keluar. Bagai sebuah tamparan yang begitu keras bagi Sania mendengar kalimatnya.
"Tidak tertarik? Apa dia tidak pernah diajarkan bagaimana menjaga perasaan orang?" gumam Nia begitu kesal.
Akhirnya cuma bisa menghela napas panjang. "Baiklah, mari kita lihat apa sebenarnya yang diinginkan oleh pria ini." Ia pun keluar dari mobil.
"Tapi tunggu, malam-malam begini, kantornya tidak akan buka, kan?" tanya Sania serta menghentikan langkahnya.
"Tidak ada yang tidak bisa dilakukan oleh tuan muda kami." Jawaban yang sederhana, tetapi juga begitu berlebihan. Lagi-lagi membuat Sania menyeringai geli mendengarnya.
Dia kira tuan mudanya itu Tuhan? Haha, lucu sekali, sampai aku ingin menangis. Batin Sania.
Namun, siapa sangka, ternyata ia benar-benar akan melangsungkan pernikahan, tapi bukan dengan pria itu, melainkan ada pria lain lagi yang terlihat lebih menakutkan.
Mau sekeras apa pun ia memberontak, tetap saja tak bisa mengahalangi niat mereka untuk membuatnya tunduk, akhirnya cuma bisa pasrah ketika pernikahan berlangsung tanpa kendala.
Setelah ia resmi menjadi seorang istri dari pria yang tak ia kenal. Ia pun lagi-lagi dibawa pergi.
"Tuan, pria yang menikah dengan saya tadi apakah tuan muda yang Anda maksud?" tanya Sania penasaran.
"Benar, Nona."
"Apa tulang pipinya ada yang patah sehingga kesulitan untuk tersenyum? Sepanjang pernikahan berlangsung, bibirnya selalu kaku seperti robot." Meski dingin, tapi itu tak membuat Nia takut untuk terus bertanya.
Wanita agresif seperti ini ... apa aku sudah salah memilihnya? Batin sang sekretaris.
"Hei, jawab aku!" pekik Sania dalam hati, merasa geram karena pertanyaannya diabaikan begitu saja.
Mobil kembali berhenti di sebuah hotel yang berbeda, kali ini terlihat lebih elit dan mewah.
"Mari ikut saya, Nona." Pria itu kembali membukakan mobil untuk Nia.
"Tidak mau, sudah cukup saya mengikuti Anda ke sana dan ke mari, bahkan tidak tahu jelas apa yang harus dilakukan. Bagaimana jika kita kabur saja berdua, bukankah bisa sama-sama untung?" goda Sania begitu berani.
"Kalau begitu, apakah Anda bisa menanggung biaya hidup saya? Jika Anda merasa sanggup, maka ke mana pun Anda ingin pergi, akan saya bawa." Masih begitu santai dan datar.
"Soal itu kecil." Sania pun menjentikkan jarinya tak keberatan.
"Berapa yang kamu mau?" lanjutnya dengan raut wajah yang begitu yakin.
Pria itu kembali mengeluarkan sebuah lembar kertas di mana terdapat beberapa kegiatan sehari-harinya yang semua terhitung dengan jumlah uang. Seketika mata Sania terbelalak lebar membentuk bulan purnama, ia pun mengembalikan kertas itu dengan gerakan kaku.
"Tuan, sepertinya barusan saya sedang berhalusinasi, sekarang saya sudah sadar sepenuhnya, saya juga tidak pernah tertarik dengan pria seperti Anda." Lalu ia berjalan lebih dulu melewati pria itu, lurus ke depan seperti robot yang tidak dikendalikan.
Gila, Seratus Juta perhari? Belum ada setengah hari pun, mungkin aku sudah mati kejang-kejang. Batin Sania sambil terus berjalan tanpa tahu ia harus ke mana.
Tak lama kemudian, pria itu kembali melewati Sania dan berkata, "Ikuti saya."
Tiba di depan kamar bertuliskan sebuah nomor penanda 304 VVIP, pria bersama Nia tadi mengetuk pintu tiga kali dan berkata, "Dia telah datang, Tuan muda."
"Masuk." Terdengarlah suara lelaki yang berasal dari dalam ruangan itu, yang mampu membuat Nia seketika bergidik ngeri.
Suara itu lagi, tapi kenapa dia bisa lebih cepat tiba di sini? Bukankah tadi aku lebih dulu meninggalkan kantor catatan sipil? Sania kembali bertanya-tanya.
"Silahkan masuk, Nona." Pria itu membukakan pintu untuknya, mempersilahkan masuk dengan nada sopan.
Dengan kaki yang gemetar, Sania melangkah maju hingga akhirnya tubuhnya benar-benar masuk ke ruangan itu, pintu pun kembali ditutup sehingga hanya meninggalkan mereka berdua di dalam sana, tentu saja hal itu membuat jantung Sania berdisko seperti berada di dalam club malam, jedag jedug tak karuan.
Seorang lelaki beranjak dari tempatnya yang tadi sedang membelakangi Nia, membalikkan badan sehingga semakin jelas pula pahatan wajah yang begitu sempurna itu.
Ia menghampiri Nia dengan langkah yang begitu mengintimidasi.
Dag! dig! dug!
Terdengar dengan jelas suara jantung Sania yang begitu gugup dan takut, keringat dingin menyelimuti sekujur tubuhnya.
Pria itu mengangkat dagu Sania menggunakan jari telunjuknya, sehingga membuat Sania ketakutan setengah mati.
"Mohon toleransinya, Tuan." Bibir Sania bergetar ketika berucap.
Namun, bukannya mendapat jawaban, ia hanya melihat seringaian pria itu yang luar biasa menakutkan.
"Kau manusia pertama yang berani meminta toleransi pada saya, tapi sayangnya saya tidak akan mengabulkan toleransi yang kau inginkan, mengerti?" Jawaban yang penuh akan penekanan, seakan membuat Nia dihantam oleh beban berton-ton beratnya.
Sania menelan saliva ketakutan ketika pria itu mengitari tubuhnya, lalu pandangan mereka kembali bertemu pada satu titik di mana Sania tak mampu untuk mengelak.
"Menikahimu sebelum saya menjalankan tugas sebagai seorang suami, itu adalah toleransi yang cukup manusiawi, jika saya mau, saya bisa saja melahapmu tanpa ada ikatan pernikahan, lalu membuangmu begitu saja setelah saya mendapatkan apa yang saya mau," bisik pria itu tepat di telinga Sania.
Belum juga Sania sempat mencerna ucapan pria itu, tapi dengan dua tepukan tangan, lampu di ruangan pun padam dengan sendirinya.
Tidak ada yang bisa terlihat di mata Nia, semuanya gelap gulita, hanya sebuah tangan yang ia rasakan sedang menariknya.
Dalam kegelapan, di sanalah terjadi sebuah kejadian yang berakhir begitu tragis untuk kehidupan Nia. Kehormatan dan mahkotanya sebagai wanita suci, terenggut begitu saja tanpa ia setujui, tak peduli bagaimana ia mencoba untuk memberontak, tetap saja, kekuatan yang ia miliki, tak sebanding untuk melawan kekuatan pria itu.
Kenapa jadi seperti ini? Aku tidak mau. Bibi ... kenapa Bibi tega memperlakukan aku sekejam ini? Aku takut. Batin Sania dengan dipenuhi linangan air mata.
Dalam kegelapan, Sania hanya bisa menangis tanpa suara, berharap pria itu segera menuntaskan aktivitasnya agar ia tak begitu menderita menahan rasa sakit.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
Marhaban ya Nur17
eemmmm pelecehan lagi
2022-06-16
0
Demti 79
lanjut kesini
2022-01-08
0
Bunda Saputri
Mantaapp ceritanya thoorr
2021-09-12
0