Zan seketika terbelalak tak percaya, ternyata bisa ada wanita yang berani memberikannya perlakuan buruk bahkan sampai menamparnya. Hanya Sania, hanya dia yang berani. Zan baru saja merasakan bagaimana saat dirinya dilawan. Dan juga, sebutan pria kotor, apakah sungguh layak untuknya? Kotor dalam hal apa?
"Kamu berani memukul saya?" Zan menatap lekat ke ke arah Sania, manik mata yang terlihat menuntut jawaban.
"Kau pantas mendapatkan itu, kau dengar baik-baik, aku Sania, seorang desain arsitektur yang mendapat piala penghargaan bergengsi di Amerika sana, tidak akan pernah merendahkan diri di bawah telapak kakimu, meski kau seorang CEO bahkan pemimpin negara sekali pun, aku tidak pernah takut, jadi berhati-hatilah berbicara, mulutmu suatu saat akan menjadi bom waktu untuk dirimu sendiri, camkan itu." Sania terus menunjuk geram tepat ke arah wajah Zan, pelototan tajam yang membuat mata Zan terbuka, bahwa wanita yang selama ini selalu diam dan menundukkan kepala menurut selama menjadi istrinya, kini dengan berani mendongak menantangnya.
Zan belum sempat mengatakan apa-apa bahkan masih tak bergeming di tempat, tapi Sania telah berbalik badan pergi meninggalkannya.
Zan sendiri tidak tahu bagaimana ia harus bereaksi, kata-kata Sania yang penuh akan penekanan, berhasil membuatnya terdiam tak mampu berpikir lebih.
Zan berbalik badan tanpa ingin mengejar Sania, ia mengeluarkan ponsel meminta sekretarisnya untuk menjemput.
Selang beberapa menit kemudian setelah menunggu, akhirnya Sekretaris Wen datang menjemput. "Tuan muda, mari masuk ke mobil, Anda harus segera tidur, waktu sudah menunjukkan pukul 20:40," ujar Sekretaris Wen sambil membuka pintu mobil untuk majikannya. Zan memang tidak diperbolehkan tidur diatas jam sembilan malam, ketika waktu yang ditentukan telah tiba, dia harus terlelap, jika lewat dari itu, maka ia akan mendapat serangan hebat di kepalanya, seakan ada ribuan jarum yang menusuk hingga ia tak sadarkan diri, obat tidur juga selalu ia sediakan untuk berjaga-jaga bilamana ia kesulitan untuk tidur.
Sebab itu pula Zan dilarang untuk mencintai seorang wanita. Karena dikhawatirkan Zan akan selalu kepikiran hingga sulit untuk tidur, setiap kali itu terjadi, maka juga malah memperburuk kondisi otaknya.
"Wen, bagaimana menurutmu jika wanita memukul wajah seorang pria, apa mereka memiliki alasan berbuat seperti itu sekalipun pria tersebut adalah orang yang menakutkan?" Tatapan mata Zan terfokus ke depan, tapi pikirannya masih melekat pada kejadian beberapa menit yang lalu.
Wen menatap Zan dari kaca spion, terheran mengapa majikannya itu menanyakan hal yang tidak bersangkutan dengan bisnis sedikit pun.
"Apa Anda memiliki masalah, Tuan muda?" tanya Sekretaris Wen khawatir.
Zan masih tak bergeming dari pandangangannya di keramaian kota, lalu mengatakan, "Tinggal jawab saja, tidak perlu banyak bertanya."
Zan berdehem beberapa kali dengan bola mata yang bergulir, mencoba berpikir tentang jawaban dari Zan. "Setahu saya, wanita jika sampai menampar seseorang itu, bisa jadi karena ia terlalu marah dengan pria tersebut, mungkin dari perlakuannya yang tidak sopan, atau kata-katanya yang kurang ajar, tapi saya juga tidak bisa memastikan kata-kata saya ini benar 100%, karena saya juga kurang mengerti tentang pola pikir wanita," jawab Wen ragu-ragu.
Zan tidak mengatakan apa pun lagi, tenggelam pada pikirannya sendiri.
Keesokan paginya, Zan menghampiri Month di kamar. "Sedang apa?" Sembari berdiri di belakang Month yang kini tengah membaca buku.
Pertanyaan pertama, Zan diabaikan begitu saja, Month sama sekali tak berniat untuk menjawab.
"Apa yang kamu baca?" tanya Zan sekali lagi. Namun, tetap tak digubris.
"Apa kau masih marah?" Zan berjongkok di samping anaknya.
"Papa tidak perlu pedulikan aku, sibuklah dengan urusan Papa sendiri, bukankah selama ini memang seperti itu?" kata Month tanpa menoleh pada Zan.
"Mengapa berbicara seperti itu? Apa kau tidak suka jika Papa terlalu sibuk dan tidak memedulikanmu?" Masih dengan nada yang begitu lembut.
Akhirnya Month menoleh menatap ayahnya, tidak seperti biasa, kenapa Zan malah begitu memperhatikannya?
Tatapan itu hanya bertahan beberapa detik, kini Month kembali memutar bola matanya menatap buku di atas meja.
"Aku tahu Papa memiliki kelainan otak dan divonis tidak akan hidup lebih lama," ujar Month, yang berhasil membuat Zan begitu terkejut, dari mana anak itu bisa tahu?
"Siapa yang memberitahumu?"
"Tidak ada yang memberitahuku, aku hanya ingin menyarankan, jika Papa memiliki sesuatu yang ingin disembunyikan dariku, sebaiknya singkirkan semua jejak agar tidak dapat ketahuan olehku bahkan secuil pun, rekam medismu tergeletak begitu saja di ruang kerja, katakan bagaimana aku bisa mengabaikannya saat ia telah berada di depan mata?" Month menaikkan alisnya sembari mengulas senyum meremehkan Zan.
"Kau tidak sedih jika aku meninggalkanmu begitu cepat?" tanya Zan yang tak memedulikan senyum kecut anaknya.
Dengan santai Month menggeleng dan mengatakan, "Tidak."
"Kenapa?" Alis Zan mengerut dalam mendengar jawaban dari Month, bagaimana mungkin anaknya sendiri sudah bisa menarik kesimpulan begitu saja tentang perasaaannya setelah ia meninggalkan dunia ini.
"Karena aku masih punya Mama, aku akan tinggal bersamanya setelah itu, aku tidak perlu khawatir lagi untuk apa pun yang ada di dunia ini." Masih begitu santai, tidak tahu bagaimana paniknya Zan saat Month mengatakan hal itu.
"Tidak bisa, Papa tidak mengizinkan kau tinggal bersama siapa pun. Month, wanita mana pun yang kau anggap adalah ibumu, sebaiknya mulai sekarang berhentilah memikirkannya, jangan pernah berharap padanya. Karena di dunia ini, hanya Papa yang peduli padamu, kau paham?" Zan terus menggenggam tangan Month dengan erat.
"Benarkah?" Month mengangkat alisnya, menoleh pada Zan. "Kalau benar begitu, lebih baik Papa pikirkan bagaimana caranya agar bisa tetap hidup dan mengawasiku. Karena jika Papa tidak ada, aku bisa kapan saja menemui ibuku dan melupakanmu."
Zan memijit alis merasa pusing, bagaimana mungkin anaknya sendiri malah menuntut dirinya untuk tetap hidup saat penyakitnya yang sampai sekarang masih belum terpecahkan.
"Atau jika tidak, Papa bisa membawa Mama ke rumah ini untuk tinggal bersama kita, itu adalah satu-satunya cara agar aku tidak melupakan Papa saat tiada nanti," lanjut Month sembari beranjak dari tempatnya.
"Anak ini, apa dia sungguh menginginkan aku mati begitu cepat?" batin Zan.
"Jika Papa tidak mau, aku bisa menyimpulkan bahwa Papa takut pada Mama." Month masih berceloteh hingga tubuhnya lenyap dari ruangan tersebut, meninggalkan Zan yang masih mematung di tempat.
"Aku? Takut pada seorang wanita? Yang benar saja?" gumamnya sembari tersenyum sinis tak terima dengan pernyataan itu, sejak kapan seorang Zan bisa takut pada seorang wanita? Tidak mungkin.
"Apa? Mengundurkan diri?" Sekretaris Wen masih membeku menatap surat pengunduran diri dari Sania pagi itu.
"Tapi Anda tidak bisa melakukannya, Nona. Pemenang sudah ditentukan, pihak perusahaan telah mengumumkan kemenangan Anda dalam tender kali ini, yang artinya jika Anda mengundurkan diri tanpa menyelesaikannya hingga tuntas, maka perusahaan tempat Anda bekerja akan dikenakan denda sesuai dengan peraturan yang berlaku, Anda sekarang sedang bekerja, bukan sedang menghadiri permainan di taman kanak-kanak, sebagai seseorang yang bertanggung jawab, Anda harusnya mengerti mengenai tata krama dalam bertindak, apa perlu saya jelaskan secara rinci bagaimana cara seseorang bersikap baik terhadap klien?" Sekretaris Wen memprotes keras pengunduran diri Sania yang secara mendadak tersebut, semua pihak yang bersangkutan telah mengetahui pemenang tender yang diumumkan beberapa puluh menit yang lalu, tapi Sania datang malah untuk mengundurkan diri, tentu saja itu adalah sebuah masalah yang tidak bisa diterima begitu saja.
"Mungkinkah kau takut untuk bekerjasama denganku?" sahut Zan yang tiba-tiba masuk ke ruangan tersebut.
Sania seketika mengepalkan tangan dan menggertakkan gigi begitu geram melihat kehadiran Zan di depan mata, ingin sekali ia memberi pukulan lagi dan lagi untuk pria yang berani merendahkannya itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments