"Em ... maaf, Tuan. Bisakah jangan mengganggu ibuku?" Star akhirnya angkat bicara, tidak suka melihat ayahnya yang berkata kasar pada Sania.
Sania menggenggam erat tangan Star, ia tidak ingin anaknya ikut masuk dalam masalahnya, semakin Star melibatkan diri, maka Zan juga pasti akan semakin penasaran.
Mendapat peringatan dari Sania, Star tiba-tiba diam, ia juga mundur beberapa langkah ketika Zan menatapnya begitu serius.
"Pa, bisakah jangan cari masalah di sini? Ada banyak teman-teman dan wali murid lainnya, aku tidak ingin kita menjadi pusat fokus mereka." Month akhirnya menghampiri Zan, melihat raut wajah ayahnya yang begitu penasaran pada Star, ia tak ingin rencananya jadi berantakan.
Zan mengedarkan pandangan ke sekeliling, memang benar, mereka semua menatap ke arahnya.
"Urusan kita belum selesai, saya akan kembali sampai kamu mengatakan siapa anak itu." Zan pun berbalik badan sambil menggandeng tangan Month pergi dari Sania.
"Atas dasar apa kau ingin aku mengatakan siapa sebenarnya anak ini? Kita tidak memiliki hubungan apa pun lagi, sebaiknya berhentilah penasaran dengan kehidupanku," cibir Sania dalam hati.
"Mami tidak apa-apa?" tanya Star memastikan.
"Tidak apa-apa, Sayang. Ayo kita masuk, sebentar lagi akan berangkat." Sania pun masuk ke bis yang akan membawa mereka ke tempat camping.
Malam hari, semua orang berkumpul diluar tenda menyaksikan api unggun, mereka melingkari api tersebut dan bernyanyi-nyanyi ria, anak-anak ikut berjoget-joget di samping orang tua mereka masing-masing.
"Kau tidak ingin bergoyang seperti teman-temanmu yang lain?" ujar Zan pada Month yabg kini hanya duduk diam di sampingnya.
"Aku tidak tertarik," jawab Month singkat.
Zan mengalihkan pandangannya pada Sania, lalu berpindah memandangi anak bertopeng yang sedang asik berjoget-joget.
"Sebenarnya siapa anak itu? Kenapa dia selalu mengenakan topeng mainannya? Pasti ada rahasia yang ia sembunyikan," batin Zan.
"Apakah Papa menyukainya?" tanya Month yang dari tadi terus memperhatikan Zan.
"Apa kau bilang? Yang benar saja." Zan menyunggingkan bibir tersenyum sinis.
"Bibir berkata tidak, tapi hati dan mata berkata iya." Month bergumam kecil tapi terdengar jelas di telinga Zan.
"Anak kecil sepertimu tidak akan mengerti," cibir Zan.
"Benar, anak kecil seperti kami memang tidak akan mengerti masalah percintaan orang dewasa, kami para anak kecil terlalu jujur dalam segala hal, tidak seperti orang dewasa seperti kalian, lebih banyak bohongnya ketimbang jujurnya, pada akhirnya malah diperbudak oleh cinta. Itu namanya karma, karma karena telah mengatasnamakan cinta dengan sebuah kata benci, kusarankan Papa hati-hati saja dalam berbicara, kalau sudah cinta, susah nantinya, apalagi kalau bertepuk sebelah tangan," ledek Month.
Zan memukul sepatu Month dengan ranting kecil di tangannya. "Dasar anak kecil, dari mana kau belajar tentang kata-kata itu? Masih sekecil ini beraninya mempelajari kata-kata cinta, kau ingin jadi pria yang haus akan wanita? Sebelum itu terjadi, Papa duluan yang akan meremukkan tubuhmu," bentak Zan sambil melotot, untung saja mereka yang ada di sana sibuk bernyanyi, hingga tidak ada yang mendengar percakapan ayah dan anak ini.
"Jika Papa tidak ingin memberikan aku seorang ibu, maka aku akan balas dendam pada Papa setelah aku dewasa nanti," ujarnya.
"Balas dendam dengan apa?"
"Aku akan menjadi pria malas dan hanya akan menghamburkan uang demi memilah para wanita-wanita cantik untuk menemaniku sepanjang hari dan sepanjang malam, itu adalah bentuk pelampiasanku karena tidak ada seorang wanita yang memberiku kasih sayang dari sekarang." Dengan santainya Month berbicara sambil menatap api unggun di depannya, tanpa memedulikan ayahnya yang kini dibuat panik olehnya.
Lagi-lagi Zan memukul sepatu anaknya. "Sebelum itu terjadi, Papa sendiri yang akan memberimu pelajaran, mau jadi apa kau jika hanya ingin bermain dengan wanita?"
"Memangnya Papa tidak butuh wanita?"
"Tentu saja tidak."
"Lalu dari mana aku keluar? Papa yang melahirkan aku? Ck, konyol sekali, jika tidak ada wanita yang Papa permainkan, bagaimana bisa aku ada di dunia ini? Kadang-kadang kita juga harus mengucapkan terimakasih pada wanita karena dia bersedia melahirkan anak, Papa kira melahirkan itu gampang? Coba sekali-sekali Papa tanyakan pada nenek, melahirkan itu enak tidak? Di mana-mana semua pria itu pastinya membutuhkan seorang wanita, kecuali jika mereka memang tidak butuh anak atau mereka pecinta sesama jenis, mungkinkah Papa dan Paman Wen ada hubungan yang aku tidak ketahui?" Month pun semakin berbicara ngelantur, sengaja ingin membuat ayahnya panik. Dan itu berhasil, Zan seketika menutup mulut Month agar tidak membahas ke mana-mana, sejak kapan anaknya berpikir bahwa ia menyukai sesama jenis? Selama ini ia hanya mengendalikan hatinya agar tidak jatuh cinta, khawatir penyakitnya itu hanya akan membuat orang yang ia contai terbebani, terlebih hidupnya tidak akan lama lagi, ia tidak mungkin mengikat seorang wanita dalam hidupnya yang hanya bisa bertahan sebentar.
"Jika kau berani berkata seperti itu lagi, maka Papa akan menghukummu. Papa dan Paman Wen pria yang normal, jangan asal bicara, paham tidak?"
"Ya kalau begitu buktikan saja, kurasa semua orang juga berpikiran sama sepertiku mengenai hal ini, pria yang tak berniat untuk menikahi wanita untuk seumur hidupnya, kemungkinan besar hanya karena ia seorang gay. Benar, kan?" ledek Month.
"Atau jika perlu, Papa juga harus meminta Paman Wen menikah, jangan karena Papa tidak ingin menikahi wanita, Paman Wen jadi ikut-ikutan menjauhi wanita, itu tidak adil baginya, kan?"
"Kau tidak akan mengerti. Sudahlah, Papa tidak ingin meladeni ucapanmu." Zan membuang muka tak ingin bicara apa pun lagi. Kenapa malah dirinya yang dinasihati anak?
"Pa, coba lihat Mama." Month menunjuk ke arah Sania, tanpa sadar Zan pun refleks menoleh.
"Dia cantik, kan? Sangat cocok untuk jadi ibuku."
Zan seketika mengalihkan pandangannya dari Sania, berpindah menatap kobaran api, diam tanpa mengatakan apa pun, tak ingin lagi peduli dengan panggilan anaknya.
Keesokan hari, semua murid dan walinya berkumpul kembali, guru mereka mengadakan sebuah permainan, di mana mereka harus bekerjasa dengan kelompok masing-masing untuk mengumpulkan koin sebanyak mungkin yang sudah dibagi di beberapa tempat. Dan Sania satu kelompok dengan Zan, tentunya itu bukanlah sebuah kebetulan, tapi sudah direncanakan oleh Star dan Month.
"Bu, Pak, bolehkah saya bertukar kelompok dengan yang lain?" sahut Sania.
"Bertukar? Kenapa Anda ingin bertukar?" tanya bu guru.
"Saya rasa lebih baik saya satu kelompok dengan sesama wanita saja, biar kerjasamanya lebih bagus," dalih Sania.
Bu guru mengangguk. "Kalau begitu, apakah ada yang bersedia bertukar kelompok dengan Bu Sania?"
Mereka semua diam sejenak, lalu salah satu dari mereka mengangkat tangan. "Kami merasa bahwa kelompok yang dibagi oleh Bu guru sudah bagus, lagian memang seharusnya kita para perempuan satu kelompok dengan laki-laki. Karena di jalan nanti, pasti ada sebuah permasalahan yang kita perempuan tidak bisa atasi, jadi laki-laki tetaplah diperlukan oleh wanita, begitu pula sebaliknya."
"Sudahlah, Mami. Terima saja, kita tidak boleh menghambat acara ini, sudah menjadi peraturannya," ujar Star menenangkan, tapi di lubuk hatinya, ia malah tertawa karena berhasil membuat orang tua mereka satu kelompok.
Sania menatap Zan begitu malas, kenapa dia bisa sesial itu? Hanya bisa pasrah dan berharap semoga tidak ada masalah baru setelah ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
Marhaban ya Nur17
ini yg cerdas anaknya apa ortunya se
2022-06-18
0
Any Eka
hahaha mati kau zan di gurui sma anak sendiri 😂
2021-09-30
0
Nur Aini Tarigan
lanjut
2021-09-30
0