"Kau harus ingat, Sania. Apa pun yang dia inginkan, kau harus menurutinya. Ingat, apa pun itu. Termasuk tubuhmu," ucap seorang wanita pada keponakannya.
"Tapi kenapa Bibi ingin Sania menuruti kemauan pria itu? Siapa dia yang bisa membuat Bibi tunduk padanya? Bagaimana jika Sania katakan bahwa tidak ingin menuruti kemauannya? Apakah dia akan menghancurkan Sania?" seorang wanita yang masih lugu, berusaha untuk meminta keadilan untuk dirinya.
"Menghancurkanmu adalah sesuatu yang terlalu mudah baginya, orang kecil seperti kita ini, tak akan mampu membayangkan apa saja yang bisa dia lakukan. Jadi, Bibi hanya akan memperingatimu sebelum kau menemuinya, jaga sikapmu dan jangan sampai kau menyinggungnya, mengerti?" Sang Bibi pun melotot tajam membuat wanita polos nan manis ini sedikit takut.
Setelah mengucapkan peringatannya, sang bibi pun pergi meninggalkan Sania seorang diri di dalam kamar hotel.
Sania terus menunggu dengan rasa takut dan gemetar di seluruh tubuh, hanya bisa berdoa semoga orang yang akan menemuinya adalah orang yang bisa bertoleransi.
Tak lama setelah menunggu, sekitar 15 menit, pintu pun terbuka, sebuah sosok tegap dengan tatanan busana formal berwarna hitam masuk menghampirinya.
"Selamat malam, Nona Sania," sapanya sembari membungkuk.
Eh, bukan dia orangnya? batin Sania keheranan.
"Anda siapa?" tanya Sania gugup.
"Siapa saya tidaklah penting, Anda hanya perlu menurut." Jawaban tersebut membuat seluruh tubuh Sania seakan mati rasa. Namun, tetap berusaha untuk mengendalikan diri.
"Apa saya seorang babu sehingga harus menurut begitu saja?" Sania tak terima.
"Katakanlah seperti itu, pada dasarnya, hidup Anda berada di tangan Tuan muda kami, Anda tak memiliki hak meminta keadilan apa pun, selama Tuan muda menginginkan, Anda tetap harus menurutinya." Sebuah bahasa yang begitu formal. Namun, mampu membuat jiwa Sania meronta-ronta.
"Lalu di mana tuan mudamu itu? Kenapa dia tidak datang untuk menemuiku langsung? Jangan bilang bahwa dia takut bertemu denganku?" Sania tersenyum sinis.
"Pertanyaan sesungguhnya adalah, Anda siapa bisa membuat Tuan muda kami takut?"
Astaga, pria ini kenapa begitu menakutkan? Setiap inci kata yang dia keluarkan, mampu membuatku tertekan sampai tak bisa membalas. Sania terus mengepalkan tangan semakin khawatir akan dirinya.
"Silahkan ikuti saya, Nona."
"Kalau aku tidak mau ikut, bagaimana?" Sania dengan berani menantang, masih tak ingin menyerah.
"Terserah Anda mau bagaimana, saya hanya ingin menyampaikan titah dari Tuan muda bahwa ia mengatakan, menurutlah jika Anda masih ingin hidup."
Seketika Sania berdiri dengan tegap. "Siap laksanakan, Tuan." Dengan meletakkan tangan di dahi seakan sedang hormat pada komandan militer.
Pria itu pun berjalan keluar dengan diikuti oleh Sania, gerakan wanita ini sungguh dibuat kaku oleh aura dingin yang terpancar sepanjang perjalanan. Lalu semenakutkan apa tuan muda yang selalu disebut oleh pria itu?
Setelah menempuh jarak yang cukup jauh, akhirnya mobil berhenti di depan sebuah gedung kantor catatan sipil.
"Eh, apa ini? Kenapa datang ke sini? Jangan bilang Anda mau menikahi saya." Kewaspadaan Nia semakin meningkat.
"Saya tidak tertarik." Lalu ia keluar. Bagai sebuah tamparan yang begitu keras bagi Sania mendengar kalimatnya.
"Tidak tertarik? Apa dia tidak pernah diajarkan bagaimana menjaga perasaan orang?" gumam Nia begitu kesal.
Akhirnya cuma bisa menghela napas panjang. "Baiklah, mari kita lihat apa sebenarnya yang diinginkan oleh pria ini." Ia pun keluar dari mobil.
"Tapi tunggu, malam-malam begini, kantornya tidak akan buka, kan?" tanya Sania serta menghentikan langkahnya.
"Tidak ada yang tidak bisa dilakukan oleh tuan muda kami." Jawaban yang sederhana, tetapi juga begitu berlebihan. Lagi-lagi membuat Sania menyeringai geli mendengarnya.
Dia kira tuan mudanya itu Tuhan? Haha, lucu sekali, sampai aku ingin menangis. Batin Sania.
Namun, siapa sangka, ternyata ia benar-benar akan melangsungkan pernikahan, tapi bukan dengan pria itu, melainkan ada pria lain lagi yang terlihat lebih menakutkan.
Mau sekeras apa pun ia memberontak, tetap saja tak bisa mengahalangi niat mereka untuk membuatnya tunduk, akhirnya cuma bisa pasrah ketika pernikahan berlangsung tanpa kendala.
Setelah ia resmi menjadi seorang istri dari pria yang tak ia kenal. Ia pun lagi-lagi dibawa pergi.
"Tuan, pria yang menikah dengan saya tadi apakah tuan muda yang Anda maksud?" tanya Sania penasaran.
"Benar, Nona."
"Apa tulang pipinya ada yang patah sehingga kesulitan untuk tersenyum? Sepanjang pernikahan berlangsung, bibirnya selalu kaku seperti robot." Meski dingin, tapi itu tak membuat Nia takut untuk terus bertanya.
Wanita agresif seperti ini ... apa aku sudah salah memilihnya? Batin sang sekretaris.
"Hei, jawab aku!" pekik Sania dalam hati, merasa geram karena pertanyaannya diabaikan begitu saja.
Mobil kembali berhenti di sebuah hotel yang berbeda, kali ini terlihat lebih elit dan mewah.
"Mari ikut saya, Nona." Pria itu kembali membukakan mobil untuk Nia.
"Tidak mau, sudah cukup saya mengikuti Anda ke sana dan ke mari, bahkan tidak tahu jelas apa yang harus dilakukan. Bagaimana jika kita kabur saja berdua, bukankah bisa sama-sama untung?" goda Sania begitu berani.
"Kalau begitu, apakah Anda bisa menanggung biaya hidup saya? Jika Anda merasa sanggup, maka ke mana pun Anda ingin pergi, akan saya bawa." Masih begitu santai dan datar.
"Soal itu kecil." Sania pun menjentikkan jarinya tak keberatan.
"Berapa yang kamu mau?" lanjutnya dengan raut wajah yang begitu yakin.
Pria itu kembali mengeluarkan sebuah lembar kertas di mana terdapat beberapa kegiatan sehari-harinya yang semua terhitung dengan jumlah uang. Seketika mata Sania terbelalak lebar membentuk bulan purnama, ia pun mengembalikan kertas itu dengan gerakan kaku.
"Tuan, sepertinya barusan saya sedang berhalusinasi, sekarang saya sudah sadar sepenuhnya, saya juga tidak pernah tertarik dengan pria seperti Anda." Lalu ia berjalan lebih dulu melewati pria itu, lurus ke depan seperti robot yang tidak dikendalikan.
Gila, Seratus Juta perhari? Belum ada setengah hari pun, mungkin aku sudah mati kejang-kejang. Batin Sania sambil terus berjalan tanpa tahu ia harus ke mana.
Tak lama kemudian, pria itu kembali melewati Sania dan berkata, "Ikuti saya."
Tiba di depan kamar bertuliskan sebuah nomor penanda 304 VVIP, pria bersama Nia tadi mengetuk pintu tiga kali dan berkata, "Dia telah datang, Tuan muda."
"Masuk." Terdengarlah suara lelaki yang berasal dari dalam ruangan itu, yang mampu membuat Nia seketika bergidik ngeri.
Suara itu lagi, tapi kenapa dia bisa lebih cepat tiba di sini? Bukankah tadi aku lebih dulu meninggalkan kantor catatan sipil? Sania kembali bertanya-tanya.
"Silahkan masuk, Nona." Pria itu membukakan pintu untuknya, mempersilahkan masuk dengan nada sopan.
Dengan kaki yang gemetar, Sania melangkah maju hingga akhirnya tubuhnya benar-benar masuk ke ruangan itu, pintu pun kembali ditutup sehingga hanya meninggalkan mereka berdua di dalam sana, tentu saja hal itu membuat jantung Sania berdisko seperti berada di dalam club malam, jedag jedug tak karuan.
Seorang lelaki beranjak dari tempatnya yang tadi sedang membelakangi Nia, membalikkan badan sehingga semakin jelas pula pahatan wajah yang begitu sempurna itu.
Ia menghampiri Nia dengan langkah yang begitu mengintimidasi.
Dag! dig! dug!
Terdengar dengan jelas suara jantung Sania yang begitu gugup dan takut, keringat dingin menyelimuti sekujur tubuhnya.
Pria itu mengangkat dagu Sania menggunakan jari telunjuknya, sehingga membuat Sania ketakutan setengah mati.
"Mohon toleransinya, Tuan." Bibir Sania bergetar ketika berucap.
Namun, bukannya mendapat jawaban, ia hanya melihat seringaian pria itu yang luar biasa menakutkan.
"Kau manusia pertama yang berani meminta toleransi pada saya, tapi sayangnya saya tidak akan mengabulkan toleransi yang kau inginkan, mengerti?" Jawaban yang penuh akan penekanan, seakan membuat Nia dihantam oleh beban berton-ton beratnya.
Sania menelan saliva ketakutan ketika pria itu mengitari tubuhnya, lalu pandangan mereka kembali bertemu pada satu titik di mana Sania tak mampu untuk mengelak.
"Menikahimu sebelum saya menjalankan tugas sebagai seorang suami, itu adalah toleransi yang cukup manusiawi, jika saya mau, saya bisa saja melahapmu tanpa ada ikatan pernikahan, lalu membuangmu begitu saja setelah saya mendapatkan apa yang saya mau," bisik pria itu tepat di telinga Sania.
Belum juga Sania sempat mencerna ucapan pria itu, tapi dengan dua tepukan tangan, lampu di ruangan pun padam dengan sendirinya.
Tidak ada yang bisa terlihat di mata Nia, semuanya gelap gulita, hanya sebuah tangan yang ia rasakan sedang menariknya.
Dalam kegelapan, di sanalah terjadi sebuah kejadian yang berakhir begitu tragis untuk kehidupan Nia. Kehormatan dan mahkotanya sebagai wanita suci, terenggut begitu saja tanpa ia setujui, tak peduli bagaimana ia mencoba untuk memberontak, tetap saja, kekuatan yang ia miliki, tak sebanding untuk melawan kekuatan pria itu.
Kenapa jadi seperti ini? Aku tidak mau. Bibi ... kenapa Bibi tega memperlakukan aku sekejam ini? Aku takut. Batin Sania dengan dipenuhi linangan air mata.
Dalam kegelapan, Sania hanya bisa menangis tanpa suara, berharap pria itu segera menuntaskan aktivitasnya agar ia tak begitu menderita menahan rasa sakit.
9 bulan kemudian.
"Tuan muda, Nona Sania tidak lama lagi akan melahirkan, meski Anda tidak pernah datang mengunjunginya sekali pun, tapi apa Anda juga tidak ingin memeriksakan anak di dalam kandungannya? Anda tidak ingin mengetahui bagaimana kondisi anak Anda di dalam perutnya? menurut artikel yang saya baca dari komunitas perdokteran dan kebidanan, Pemeriksaan USG bagi wanita hamil itu sangat penting," Sekretaris Wen memberanikan diri untuk ke sekian kalinya mengatakan hal tersebut, meski itu bukan ranah yang harus ia urusi, tapi ia juga tidak tega melihat Sania harus dikurung tanpa bisa keluar selama masa mengandung.
"Wen, silahkan angkat kakimu dari sini jika kau benar-benar tak ingin lagi bekerja denganku," hanya itu yang dijawab oleh tuan mudanya.
"Maaf, Tuan muda." Sekretaris Wen mundur dua langkah dan menunduk, tidak berani melawan ucapan sang majikan.
Tak berapa lama, ponsel milik Sekretaris Wen bergetar, ia dengan cepat memeriksanya. Wajahnya tampak panik. "Tuan muda, saya mendapat laporan dari pengurus Nona muda bahwa Nona sepertinya akan melahirkan, kita harus membawanya ke rumah sakit agar segera ditangani," ujar Sekretaris Wen sedikit cemas. Namun, bukannya ikut cemas dan khawatir, sang majikan malah mengangkat alis menatapnya.
"Kita? Kau saja, aku akan menyusul setelah anak itu lahir, aku tidak ingin membuang waktuku menemaninya." Masih begitu fokus dengan berkas dan pulpennya.
"Baik, Tuan muda. Saya pergi dulu, ada apa-apa, silahkan hubungi saya, saya permisi." Tidak banyak yang bisa dikatakan oleh Sekretaris Wen, mengingat tempramen tuan mudanya yang sangat buruk, hanya bisa mengiyakan apa pun yang diperintahkan untuknya.
Setelah tiba di kediaman Sania, ia segera masuk dan melihat Sania terkulai lemah di atas tempat tidur. "Apa yang terjadi padanya?"
"Saya tidak tahu, Tuan. Sepertinya Nona sudah menahan rasa sakitnya sejak tadi malam, dari tadi saya perhatikan, dia selalu memegangi perutnya dan meringis, sebab itu saya rasa dia benar-benar ingin melahirkan, sampai sekarang dia bahkan menolak untuk berbicara, bahkan saat saya bertanya pun, dia tidak ingin menjawabnya." Wanita yang mengurus keperluan Sania sehari-hari, ikut panik melihat majikannya yang terlihat begitu lemah.
"Nona muda, apakah Anda bisa berjalan? Kita ke rumah sakit bertemu dokter, ya." Dalam situasi genting dan panik seperti itu, sisi lembut dari sekretaris Wen pun tak dapat dielakkan, siapa pun tidak akan ada yang percaya bahwa dia bisa berkata sehangat itu. Namun, tak peduli bagaimana lembutnya pria itu, Sania sama sekali tak berniat untuk menjawab.
Sekretaris Wen menghela napas dalam lalu berkata, "Maafkan saya, Nona. Saya terpaksa melakukan ini." Setelah itu ia pun menggendong tubuh Sania keluar dan melarikannya ke rumah sakit.
"Tuan, kondisi pasien terlalu lemah, kami tidak bisa mengambil risiko besar untuk membuatnya melahirkan normal, jalan satu-satunya hanya bisa melakukan operasi agar bisa menjamin keselamatan ibu dan bayinya, apa Anda adalah walinya? Silakan tanda tangan di sini jika Anda setuju untuk melakukan operasi pada pasien." Perawat datang menghampiri Sekretaris Wen dengan membawa sebuah berkas persetujuan operasi.
Awalnya Sekretaris Wen ragu, tetapi ia hanya bisa memberanikan diri dan menandatangani persetujuan itu, jika menghubungi tuan mudanya, itu hanya akan percuma, pasti tidak akan ditanggapi.
"Baik, terimakasih, Tuan. Anda bisa menunggu di depan ruang operasi, dokter akan melakukan yang terbaik." Perawat itu pun masuk ke ruangan di mana Sania berada, sebelum Sania dibawa ke ruang operasi, dokter melakukan pemeriksa sekaligus melakukan USG, demi untuk memastikan bayi di dalam perut Sania baik-baik saja.
"Bayinya kembar, Dok?" Si perawat langsung bertanya ketika ia melihat gambaran bayi di dalam perut Sania.
Dokter mengangguk dan berkata, "Iya, bayinya kembar."
Sania yang tak menyangka anak yang ia kandung ternyata bayi kembar, seketika tersenyum senang, meskipun terlihat begitu lemah. "Dokter, saya mohon untuk tidak katakan pada siapa pun mengenai bayi kembar ini, nanti setelah mereka lahir, katakan saja pada pria di luar itu bahwa bayinya hanya satu, Anda bisa berikan satu anak itu padanya. Dan yang satunya, biar saya yang merawat, tapi tolong sekali lagi, jangan katakan pada siapa pun mengenai anak kembar saya, bolehkan, Dok?" pinta Sania dengan sangat-sangat memohon.
"Memangnya kenapa anak Anda harus diberikan pada orang lain?" tanya si dokter.
"Sudah terikat perjanjian, Dokter. Bahwa anak yang lahir ini, harus diberikan pada ayahnya, saya tidak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa menurut tanpa membantah, ayah dari anak ini mungkin akan datang setelah anaknya lahir, jadi saya memohon pada Anda untuk sembunyikan salah satu anak saya selama mereka masih di sini, cukup berikan satu pada mereka, Anda bisa, kan?"
Dokter pun mengangguk mengerti. "Saya tidak masalah, soal ini gampang, tapi itu artinya, riwayat kelahiran anak Anda yang satunya, tidak dicantumkan pada riwayat bersalin Anda, apa Anda tidak masalah soal itu?"
"Tidak masalah, Dokter. Memang itu yang saya inginkan, sebisa mungkin mereka tidak akan pernah menemukan informasi apa pun tentang anak kembar saya."
Setelah melakukan kesepakatan, akhirnya Sania pun dibawa ke ruang operasi.
Setelah semuanya berjalan lancar, Sania dipindahkan ke ruang rawat biasa.
"Tuan muda, bayi Anda telah lahir, sesuai dengan keinginan Anda, ia berjenis kelamin laki-laki." Sekretaris Wen sebagai bawahan yang setia dan siap siaga, tentunya harus melapor setiap saat, sesuai yang diinginkan oleh majikannya.
"Kau sungguh menginginkan aku menyetir mobil sendiri, hm? Lalu apa gunanya mempekerjakanmu?" Terdengar suara majikannya yang begitu dingin dan sinis.
"M-maaf, Tuan muda. Saya tidak bermaksud. Saya akan menjemput Anda sekarang." Sekretaris Wen segera menyimpan ponselnya buru-buru keluar dari rumah sakit.
Setelah luntang lantung ke sana ke mari, akhirnya Sekretaris Wen berhasil membawa sang majikan tiba di rumah sakit, ia segera masuk ke ruangan di mana Sania berada.
Sania kini hanya bisa berbaring di atas ranjang pasien, bekas luka operasi ditambah efek bius yang memudar, membuatnya tak bisa bergerak bebas, tetapi dengan kehadiran buah hatinya yang kini menemani, membuatnya melupakan rasa sakit itu.
Tiba-tiba pintu terbuka dan jantung Sania seketika berdegup kencang melihat siapa yang datang.
"Kau pastinya tahu kedatangan saya di sini untuk apa, kan?" Sang tuan muda yang berhati es, kini duduk di sebuah kursi agak jauh dari Sania, ia duduk dengan posisi yang menyesuaikan martabatnya, penuh dengan wibawa.
Sania hanya diam saja, ia terus menatap bayinya tanpa peduli dengan ucapan pria itu.
Tak mendapat jawaban apa pun dari Sania, sama sekali tak membuat sang CEO tersebut memiliki empati sedikit pun, malah semakin tak peduli.
Tak berapa lama kemudian, seseorang mengetuk pintu dan menyerahkan sebuah map coklat pada Sekretaris Wen, lalu Sekretaris Fan memberikannya pada Sania. "Nona muda, silahkan tanda tangan."
Sania menatap tajam pada Sekretaris Wen sembari berkata, "Untuk apa?"
"Ini surat cerai Anda bersama tuan muda, sesuai dengan isi perjanjian, setelah Anda melahirkan, kalian juga harus bercerai dan kembali hidup masing-masing, dengan begitu Anda juga bisa hidup bebas tanpa campur tangan dari tuan muda, tentunya juga anak itu tidak bisa Anda miliki, tuan muda yang akan merawat dan membesarkannya, tidak mungkin Anda lupa dengan perjanjian itu, kan?" jelas Sekretaris Wen.
"Lalu bagaimana jika saya tidak ingin tanda tangan?"
"Tidak mau pun Anda juga harus melakukannya, pada dasarnya Anda itu seperti sebuah barang yang telah dibeli oleh tuan muda dan sekarang tuan muda ingin membuangnya, menurut Anda bukankah memang sudah selayaknya jika tuan muda ingin membuang barang yang sudah tidak diinginkannya lagi?" Ucapan Sekretaris Wen benar-benar menggelitik perasaan Sania, dalam sekejap kata-kata itu juga mampu menjatuhkan perasaannya hingga ke neraka.
Tak diinginkan lagi? Ck, kata-kata ini, aku sungguh sangat membencinya. Sania mengepalkan tangan begitu erat, ingin rasanya ia memukul wajah dua lelaki di hadapannya dengan sebuah batu besar, kalau perlu sampai mati sekalian.
"Jangan membuang waktu, sekali pun kau memohon untuk tetap menjadi istri saya, saya juga tidak tertarik, tanda tangan sekarang sebelum saya berbuat hal di luar batas."
Sania seketika menatap tajam pada pria yang kini sebentar lagi akan menjadi mantan suaminya, lalu berkata, "Bahkan dari awal hingga sekarang, saya bahkan tak tertarik menjadi istri dari lelaki seperti Anda."
"Lalu apakah saya peduli? Tidak, saya tidak peduli sedikit pun, maka dari itu tanda tanganlah sekarang. Untuk apa menunda waktu jika bukan karena kau masih tak rela berpisah dari saya?"
Lalu Sania terkekeh geli. "Selain sombong, Anda juga sepertinya memiliki muka yang begitu tebal," sindirnya.
"Sombong dan bermuka tebal, itu layak untuk orang-orang yang memiliki kemampuan dan kekuasaan." Dengan santainya dia menjawab, bahkan tak memiliki eskpresi apa pun, membuat Sania semakin terbakar amarah dan menandatangani surat cerai itu tanpa pikir panjang.
Setelah Sania menandatanganinya, Sekretaris Wen kembali menyimpan kertas itu ke dalam map, lalu mengambil alih bayi tersebut dari tangan Sania.
"Saya harap bayi saya berkembang dengan baik, saya tidak ingin mendengar kabar buruk darinya, baik dari sekarang, sampai ia besar sekali pun," ujar Sania dengan penuh penekanan.
"Kau tidak berhak menggurui saya, dia anak saya, saya akan merawat dan membesarkannya sesuai dengan aturan yang saya buat, pergilah sejauh mungkin, saya harap, saya tidak akan pernah bertemu denganmu lagi." Lalu ia pun pergi diikuti oleh Sekretaris Fan. Meninggalkan sejuta luka untuk Sania, air mata itu tak mampu lagi terbendung, butir air mata satu persatu jatuh membasahi pipinya, ia harus melepaskan seorang anak yang ia perjuangkan hidup dan matinya, siapa yang akan rela begitu saja?
"Atas dasar apa kau bisa memiliki anak itu setelah kau menyiksaku dengan kurungan selama 9 bulan? Luka di perutku bahkan masih belum sembuh. Kau pikir aku akan terima? Kita lihat saja, salah satu di antara kita, tentunya akan tetap berdiri di akhir permainan, tentunya itu bukan kau, tapi aku, kita tunggu saja, Zan Munarga." Tatapan mata Sania tersiratkan sebuah kebencian, kebencian yang menghantarkannya pada sebuah keyakinan bahwa selamanya ia akan tetap memperjuangkan anaknya. Bahkan sampai ia mati.
5 tahun kemudian.
Entah apa yang ada dipikiran si bos, aku malah dipulangkan ke sini hanya untuk mengurus sebuah proyek besar, belum lagi aku harus tinggal selama beberapa bulan. Menyebalkan.
Sania mendongakkan kepala menatap negara kelahirannya, di sebuah lapangan setelah ia turun dari pesawat, ia masih tak bergeming berdiri di tempat, hingga anak lima tahun di sisinya menatap sang ibu kebingungan. "Mami, sedang pikirkan apa?" Wajah tampan sang anak membuat hati Sania kembali luruh.
"Tidak, Sayang. Mami tidak memikirkan apa pun, tapi ... ada satu hal yang Mami harus beritahukan padamu, negara ini, sebenarnya adalah negara kelahiran Mami, makanya Mami masih tak percaya, selama lima tahun meninggalkannya, ternyata Mami akhirnya kembali ke sini lagi." Sania berjongkok di hadapan anaknya yang imut itu.
"Benarkah? Negaramu sangat cantik, Mami. Sepertinya aku akan betah di sini, Mami tenang saja, aku tidak akan membiarkan ada orang yang akan menyakiti Mami, sekarang Mami tidak sendiri lagi, ada aku yang akan melindungi Mami, bahkan sampai titik napas penghabisan." Anak itu memperlihatkan kepalan tangan kecilnya pada sang ibu.
Sania tersenyum senang. "Iya, Mami percaya padamu, kau si kecil yang pemberani, tentunya juga kebanggaan Mami." Sembari menoel hidung anaknya.
"Ayo, Mami. Di sini panas, aku sedikit gerah." Sembari mengipas wajahnya menggunakan tangan.
"Oh, iya. Mami lupa pangeran kecil Mami tidak suka panas." Sania bangkit dan kembali menggandeng tangan anaknya.
Entah bagaimana kabarmu sekarang, Nak. Pasti kamu sudah sebesar Star sekarang, Mami berharap kamu tetap sehat seperti adikmu. Batin Sania. Ya, Star adalah nama anak keduanya yang ia sembunyikan dari Zan Munarga.
"Tuan muda, maafkan saya, saya teledor, Tuan muda kecil menghilang saat saya membeli minuman untuknya." Sekretaris Wen berlari dengan panik melapor pada majikannya, ia telah mencari ke mana-mana, tetapi malah tidak menemukan anak majikannya itu.
"Kau bekerja untuk apa, hm? Anak sekecil itu bahkan masih bisa menghilang dari pandanganmu, tidak mau tahu bagaimana caranya, jika sampai terjadi apa pun pada anak itu, kau yang akan kuhakimi. Temukan dia, jangan kembali jika tidak bersamanya." Zan adalah Zan, dia akan tetap menjadi Zan Munarga yang dikenal orang, memiliki emosional buruk dan tak sabaran. Namun, sekeras apa pun watak pria ini, entah kenapa Sekretaris Wen masih begitu setia padanya. Bahkan tak jarang ia terus dimarah-marahi meski hanya perkara sepele sekali pun.
"Ada apa, Zan?" Kayra, anak dari Dokter Sam baru tiba di hari itu, kehadiran Zan di bandara juga karena ia diminta oleh orang tuanya untuk menjemput Kayra.
"Month, dia menghilang, anak itu selalu berusaha ingin kabur setiap kali diawasi, dia tidak suka ada yang mengawasinya," jawab Zan dingin.
"Kalau begitu tunggu apa lagi? Kita harus cari dia, bagaimana jika ada orang jahat yang ingin memanfaatkan Month demi menghancurkanmu? Ayo, di sini ada begitu banyak orang, tidak baik jika anak itu terlalu lama berkeliaran tanpa pengawasan." Kayra juga tampak cemas, meski ia kecewa bahwa Zan memiliki anak dari wanita lain, tapi itu tak bisa membuatnya membenci anak kecil.
"Halo, Din. Aku sudah di bandara, kamu jadi jemput, kan?" ujar Sania melalui sambungan telepon terhadap teman baiknya.
"Tentu, aku masih dijalan, sabar sedikit ya, princes. Kita pasti bertemu, sudah dulu, ya. Aku harus fokus agar bisa tiba dengan selamat, bye sampai jumpa cintaku, muach." Terdengar suara Dinda dari seberang telepon.
"Baiklah, bye."
"Kayra, kamu pergi dulu saja, aku akan mencari ke sana," ujar Zan.
"Oh, baiklah. Kabari aku jika kamu menemukannya." Kayra pun pergi.
Zan menghampiri Sania, karena ia melihat anak yang mirip dengan anaknya.
"Permisi, dia anak saya, bisa kembalikan sekarang? Tanpa izin saya, tidak ada yang boleh menyentuhnya, bahkan kau sekali pun." Suaranya terdengar semakin dingin, terlebih tatapannya pada Sania.
Seketika Sania seperti merasa bahwa jantungnya berhenti sejenak, bagaimana mungkin ia bisa bertemu lelaki yang paling tidak ingin ia temui ini?
*Tunggu, ada yang aneh dari kata-katanya*. Sania mengerutkan alis menatap Zan Munarga.
"Maksud Anda apa?"
"Ck, kau sungguh berpikir saya tidak mengenalimu, hm? Jangan berani-beraninya menyentuh anak itu, kau tidak berhak atasnya. Month, kemari sama Papa, sudah berapa kali Papa katakan? Kau tidak boleh sembarangan dekat dengan orang asing, kau tidak pernah mencerna ucapan Papa, apa kau ingin Papa menghukummu lagi?" Sorot mata Zan terlihat begitu kesal, lantas menarik tangan Star dari genggaman Sania.
*Papa*? *Sejak kapan aku menjadi anaknya*? Batin Star sambil menatap Zan tak suka.
"Ini kali terakhir saya mengingatkanmu, jangan pernah temui dia, atau kau akan menanggung risikonya." Mendengar kalimat Zan, Sania hampir tak tahan dengan emosinya sendiri, tapi ia masih diam saja, jika dia mengaku bahwa Star adalah anaknya, itu berarti secara langsung dia juga memberitahukan pada Zan Munarga bahwa mereka memiliki anak kembar, itu tak mungkin terjadi, bisa-bisa Star juga akan direbut oleh Zan Munarga.
Melihat Sania diam saja, Star juga tak berani bertindak sembarangan, ia kenal betul dengan maminya, jadi lebih baik ia juga diam agar maminya juga tenang.
Zan Munarga segera menggendong Star pergi meninggalkan Sania yang masih berdiri mematung di tempat, pikirannya saat ini benar-benar kacau balau, tidak tahu ia harus bagaimana, tapi di satu sisi, ia juga percaya bahwa Star bisa menjaga dirinya sendiri.
"Untuk yang kedua kalinya, aku bahkan masih tak berdaya saat anakku dibawa pergi begitu saja, tapi dulu dan sekarang itu berbeda, anakku tidak akan pernah memilihmu," gumam Sania sambil mengepalkan tangan begitu geram.
~~
"Wen, Month sudah dimobil, kembali sekarang." Lalu Zan kembali menutup teleponnya.
*Month? Apa itu nama anaknya*? *Apa wajah kami mirip? Atau, pria ini sedang sakit hingga tak bisa mengenali anaknya sendiri*? Batin Star.
"Papi, apa kau baik-baik saja?" tanya Star memberanikan diri, juga ikut berpura-pura berperan sebagai seorang anak.
"Papi? Aku tidak pernah mengajarkanmu memanggilku papi, juga sejak kapan kau peduli pada kesehatanku?" Berbicara tanpa menoleh pada Star sedikit pun.
*Kasar sekali, apa bahasa sehari-harinya seperti ini pada anaknya itu? Tunggu, biar ketebak, apa anaknya kabur darinya? Jika iya, maka aku sangat memaklumi aksinya, siapa juga yang akan betah memiliki orang tua seperti dia, sama sekali tak bisa lembut pada anak kecil*. Star terus berkata-kata dengan menyunggingkan bibir menatap Zan.
Di sisi lain, Sania masih dilanda kecemasan, sebab pesan teksnya masih belum dibalas oleh Star.
"Sania, sini!" Dinda yang baru tiba di bandara, segera melambaikan tangan pada Sania dengan bibir yang tersenyum lebar.
Melihat Sania yang berjalan lemah, Dinda pun ikut tak sedap. "Kau kenapa?"
"Star, dia dibawa oleh lelaki itu," jawab Sania tak semangat.
"Maksudmu Zan munarga?' tanya Dinda. Dan ia mengangguk lemah.
"Sial tu orang, tidak bisa dibiarkan, Sania. Kita harus merebut apa yang seharusnya kamu miliki, kita cari dia sekarang." Dinda tak terima, lantas menarik Sania untuk mencari Star.
"No, jangan sekarang. Nanti aku akan ceritakan padamu di perjalanan, untuk sekarang biarkan saja dulu, aku memang tidak percaya pada lelaki itu, tapi aku percaya pada Star, dia anak yang pintar, dia bisa melindungi dirinya."
Dinda pun akhirnya hanya bisa pasrah dan menurut. Dan saat mereka ingin pulang, Dinda tanpa sengaja melihat anak yang sangat mirip dengan Star.
"Sania, kau lihat di sana, bukankah itu Star?" Sembari menunjuk ke seorang anak yang duduk memeluk lututnya bernaung di bawah pohon.
*Dia* ... *Dia bukan Star, lalu apakah dia*? Sania seketika tersenyum begitu senang, sudah lima tahun terlewatkan, ia tak pernah bertemu dengan anak pertamanya, akhirnya sebentar lagi ia bisa memeluk anak itu. Menahan rasa rindu selama bertahun-tahun, tentu saja membuat Sania seketika memecahkan tangisnya setelah rindu itu akan terobati.
*Sayang*, *Mami datang*.
Sania mengambil langkah lebar dan cepat untuk menghampiri anak itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!