"Pak, Bu, Saya bersedia bertukar kelompok." Salah seorang pria berseru sembari mengangkat tangan, semua orang menoleh padanya. Kebetulan dia juga tidak memiliki pasangan kelompok.
"Nah, lebih baik saya satu kelompok sama beliau saja, Bu. Biar lelaki ini ke kelompok yang lain," sahut Sania menyetujui.
"Bagaimana Tuan Zan? Apa Anda bersedia bertukar kelompok dengan Tuan Fandi?" tanya bu guru.
"Saya tidak mau," jawab Zan datar tanpa ekspresi, Sania melirik Zan begitu kesal.
"Begini saja, Bu. Biarkan saya satu kelompok sama mereka, lagian kan sama saja, tetap ada satu kelompok yang isinya bertiga, jadi saya ingin satu kelompok dengan Bu Sania saja." Tuan Fandi memberi usul.
"Apakah Bu Sania tidak keberatan?" tanya bu guru.
"Tidak, tentu saja saya setuju, Tuan Fandi ikut kelompok saya saja." Sania tersenyum sumringah, akhirnya ada celah untuknya agar tidak berdua dengan Zan. Meskipun ada anak-anak, tapi akan merasa canggung dan kemungkinan besar mereka berdua pasti lagi-lagi akan berdebat saat di jalan.
"Tapi saya keberatan, kelompok kami sudah penuh, tidak bisa menerima orang lagi," tukas Zan tiba-tiba.
"Ya sudah, kalau tidak suka, kamu pergi ke kelompok lain saja, jangan banyak komentar." Sania mendelik kesal.
"Sudah, Tuan Fandi. Tidak usah pedulikan dia, Anda masuk kelompok kami saja, tidak apa-apa, kok." Sania melambai ke Tuan Fandi agar segera bergabung dengannya.
"Sst, bagaimana ini? Apa rencana kita akan gagal? Apakah ingin mengubah siasat lain?" Star menyikut tangan Month sembari berbisik pelan.
"Sudahlah, tidak ada waktu lagi untuk mengubahnya, biarkan pada rencana awal saja, mungkin dengan adanya anggota baru, mereka bisa lebih mengerti mengenai perasaan masing-masing, tapi kurasa Mama sangat sulit ditangani, dia sama sekali tak terlihat tertarik pada Papa," jawab Month.
"Kalian bisik-bisik apa?" teguran Sania membuat mereka berdua berhenti melanjutkan obrolan.
"Tidak apa-apa, Mami. Kami hanya berusaha untuk saling bekerjasama saat mengumpulkan koin." Star berbohong.
"Baiklah. Karena semuanya sudah sepakat, kita akan mulai dalam hitungan ke tiga. Penujuk jalan sudah terpasang untuk mencegah agar Bapak dan Ibu tidak tersesat saat akan pulang, batas waktu hanya ada dua jam, setelah dua jam, semuanya harus kembali, meski dengan tangan kosong sekalipun. 1, 2, 3!" Mereka semua berhamburan untuk menjadi yang tercepat dalam mengumpulkan koin.
"Membosankan," desih Zan malas.
"Sudahlah, Pa. anggap saja ini sebagai liburan, Papa kan tidak pernah ajak aku liburan selama ini," jawab Month sambil menarik tangan Zan untuk bergabung dengan kelompoknya.
"Oh ya, Tuan Fandi. Anak Anda namanya siapa?" tanya Sania.
"Oh, namanya Clara. Kalau nama anak Bu Sania siapa?" Fandi balik bertanya sembari mengulas senyum ramah.
"Namanya Star," kata Sania sambil mengelus rambut Star dan tersenyum.
"Star, diambil dari bahasa inggris yang artinya bintang, benar begitu?" Fandi menebak.
"Ya, Tuan. Itu benar."
"Bolehkah saya tahu alasan Anda memberikannya nama itu?" tanya Fandi lagi.
Sania balas tersenyum. "Kalau itu ... saya belum bisa cerita ke siapa pun, Tuan."
"Oh, maaf-maaf, saya tidak bermaksud." Fandi menggaruk kepala merasa canggung.
"Ehem-ehem, anak-anak, tadi bukankah guru kalian meminta untuk mengumpulkan koin? Jadi kalian tidak boleh mengobrol selama di perjalanan ini, harus fokus, oke?" sindir Zan, ia kesal karena hanya dirinya seorang yang diabaikan, Sania dan Fandi terus bercerita tanpa ada iming-iming untuk mengajaknya ikut serta.
Namun, Sania tidak memedulikan ucapan Zan. "Sudah, jangan dengarkan dia, dia hanya iri karena tidak punya teman." Dengan suara yang lantang agar Zan mendengar sindirannya.
"Oh tunggu, saya melihat sesuatu di bawah kaki Anda," ujar Fandi.
"Hah? Sesuatu? Apa?" Sania sedikit panik, ia kira dirinya sedang menginjak sebuah ranjau hingga tak berani untuk bergerak sedikit pun.
"Jangan panik, itu tidak berbahaya." Fandi memegangi kedua bahu Sania dengan lembut dan meminta agar Sania sedikit menepi, hal itu membuat Zan melotot geram. "Beraninya bersikap begitu mesra di depanku," gumam Zan dengan gigi yang menggertak.
"Ada koin." Fandi membungkuk meraih koin tersebut.
Sania bernapas lega. "Wah, mata Anda tajam sekali, Tuan Fandi. Bahkan bisa melihat koin yang sudah kuinjak, hebat." Sania hampir berjingkrak kesenangan.
"Hanya satu koin apa hebatnya?" Zan kembali berceletuk tanpa ingin menatap mereka berdua. Berdiri dengan sombong.
"Terkadang ada begitu banyak orang yang hanya bisa berceloteh, tapi tidak bisa menghasilkan apa pun, benar begitu, Tuan Fandi?" Sania balik menyindir. Fandi hanya bisa tersenyum simpul dan mengajak Sania untuk lanjutkan perjalanan.
"Permisi, saya mau lewat." Sembari membelah jalan di tengah-tengah Sania dan Fandi, tidak suka melihat dua orang itu berjalan beriringan.
Sania dan Fandi hanya bisa menatap Zan heran, jelas-jelas jalan disampingnya begitu luas, kenapa harus memotong jalan ditengah-tengah.
"Em, Mami, aku kebelet buang air, aku izin sebentar boleh, ya? Month akan menemaniku. Paman Fandi, mau tidak temani kami berdua?" sahut Star tiba-tiba, sengaja ingin menjauhkan Fandi dari kedua orang tua mereka.
"Star, tidak boleh begitu, biar Mami yang temani kamu," jawab Sania.
"Tapi aku malu, Mami."
"Sudah, tidak apa-apa, biar saya temani mereka, lagian juga tidak jauh," timpal Fandi menyetujui.
"Ayah, Clara mau ikut." Clara anaknya Fandi menarik tangan ayahnya tak ingin ditinggal.
"Ayo."
"Bagus, pergi sana, mengganggu saja," batin Zan merasa puas.
"aku sedikit curiga dengan senyummu? Kamu tampak senang mereka pergi." Sania mengernyitkan alis menatap Zan.
"Tidak, untuk apa aku senang berduaan denganmu?" sangkal Zan tak ingin mengaku.
~~
"Kalian mau pergi ke mana? Kenapa jauh sekali? Bagaimana jika kita tersesat di hutan ini?" tanya Fandi yang tampak sadar bahwa kedua anak itu berjalan terlalu jauh dari titik awal tempat mereka tadi.
"Sudah, Paman. Cukup di sini saja, Paman tunggu di sini, kami berdua akan pergi buang air di sana." Star dan Month pun berlari menjauh, sengaja meninggalkan Fandi di sana. Dan mereka berencana untuk pulang ke tenda.
20 menit kemudian.
"Ke mana perginya mereka, lama sekali," batin Fandi sambil mencari keberadaan mereka di sekitar tempat.
Tak lama setelah itu, Star menghubungi Sania dan mengatakan, "Mami, maafkan aku, tadi saat aku mencari tempat untuk buang air, tanpa sadar berlari jauh, aku dan Month tidak lagi dapat menemukan Paman Fandi, tapi malah nembus ke arah tenda, jadi kami memutuskan untuk menunggu kalian di sini saja sampai batas waktu habis, Mami pergilah cari koinnya, Paman Fandi juga pasti tahu jalan pulang jika dia tidak berhasil menemukan kalian, semangat ya, Mami. I love you." Star bergegas memutus sambungan telepon agar Sania tidak banyak bertanya.
Kawasan camping mereka memang dipilih di tempat yang memiliki sinyal, setidaknya untuk berjaga-jaga siapa tahu ada yang menghilang, apalagi mereka membawa anak-anak.
"Hihi, kita akhirnya berhasil," ujar Star begitu senang.
"Star, tunggu. Mami belum selesai bicara!" seru Sania, tapi tetap saja terlambat, Star sudah memutuskan teleponnya.
"Ada apa?" tanya Zan ikut penasaran.
"Mereka bilang sudah pulang ke tenda karena terpisah dari Tuan Fandi. Dan meminta kita untuk tetap lanjut mengumpulkan koin," jawab Sania lemas.
"Bagus kalau begitu." Dengan antusias Zan menanggapinya.
"Maksud kamu bagus itu apa? Oh, jangan-jangan ini semua rencana kamu?" Sania melirik tajam ke arah Zan, penuh dengan tatapan curiga.
"Kenapa jadi saya? Kamu lihat sendiri, dari tadi saya di sini bersamamu, apa yang bisa saya rencanakan?" protes Zan menyangkal.
"Sudahlah, aku akan pulang ke tenda menghampiri mereka." Sania berbalik badan meninggalkan Zan sendiri, sangat malas jika hanya berdua dengan pria yang paling tidak ia sukai.
"Hei, tunggu!" Zan berteriak sambil mengejar Sania.
1 jam kemudian.
"Kenapa tidak ketemu jalan keluarnya, sih? Dari tadi cuma berputar-putar di sini saja, kamu sengaja, ya?" Lagi-lagi Sania menuduh Zan.
"Saya lagi? Dari tadi Saya hanya mengikuti kamu, kamu sendiri yang mengarahkan jalan, seharusnya saya yang marah."
"Lalu mau bagaimana lagi sekarang, kamu juga kenapa ikut aku terus? Pergi sana!" usir Sania.
"Yakin mau saya pergi? Di sini banyak binatang buasnya, berani jalan sendiri?" ujar Zan menakuti. Sania tetap diam, matanya bergulir memperhatikan tempat di sekitarnya.
"Baiklah, kamu memang wanita berani, kalau begitu sampai ketemu di tenda, jangan sampai tersesat semakin jauh, tidak akan ada yang bisa menolongmu." Zan berbalik badan ingin pergi, tapi Sania malah menarik ujung mantel milik Zan membuat langkah pria ini terhenti dan menoleh ke arah mana tangan Sania berpegang.
"Ada apa?" tanyanya.
"Ikut," ucap Sania dengan wajah yang memelas dan ketakutan.
Zan terkekeh geli di dalam hati. "Wnita tetap saja wanita, penakut."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
Mazree Gati
anak bodoh ninggalin maminya
2025-02-27
0
Any Eka
lagi donk up nya thor
2021-10-01
0
auzi
lnjt thor.
bkn tau lh star anak ya zan jga.
jgn lma2
2021-10-01
0