Selama dua jam menyusuri hutan, tetapi mereka tetap tidak menemukan jalan keluarnya. "Ini semua gara-gara kamu, tadi bukannya kamu bilang tahu jalan? Sampai sekarang bahkan kita belum juga keluar dari sini, sudah siang begini, kita harus makan untuk menambah tenaga." Sania tak berhenti menggerutu dengan wajah yang ditekuk.
Zan diam saja, ia berbicara pun tidak akan bisa membantu untuk menemukan jalan keluar.
"Kamu kenapa diam saja? mikir dong biar bisa pulang ke tenda," celetuk Sania sambil memukul tangan Zan menggunakan ranting.
"Duh, sakit. Kamu berani memukul saya?" Sambil menjauhkan diri dari Sania.
"Ya lagian siapa suruh berani membuatku tersesat?" timpal Sania tak ingin mengalah.
"Sepertinya kamu mengalami suatu penyakit di mana otakmu tidak berjalan dengan baik, kamu lupa tadi siapa yang memohon untuk ikut bersama saya? Kamu sendiri, kan? Kenapa jadi saya yang salah?" protes Zan.
"Pokoknya kamu yang salah, titik. Jangan membantah lagi." Sania melotot tajam dan kembali memukul tangan Zan, membuat pria ini hanya bisa meringis dan menatap Sania terheran.
"Wanita ini, sejak kapan berani membentakku? Untung saja dia ibunya Month, jika tidak, sudah kutinggal dia di sini," batin Zan lalu melanjutkan perjalanan.
"Menyebalkan."
Siang hari tepat pada jam satu, mereka masih terjebak di dalan hutan. Dan berada semakin jauh dari tenda, bahkan sinyal pun tidak dapat ditemukan lagi pada ponsel mereka.
"Tunggu, tunggu sebentar, sebaiknya kita istirahat terlebih dahulu, aku sangat lelah, perutku sakit." Sania bersandar di salah satu pohon besar sambil memegangi perutnya.
Zan menghela napas sambil memperhatikan tempat sekitar, tidak ada apa pun yang bisa dimakan, sementara wajah Sania pun terlihat pucat. "Kamu tidak sarapan sebelum berangkat?" tanya Zan. Sania menggeleng lemah.
Zan teringat saat berangkat, Month sempat memasukkan sebungkus roti dan permen di dalam mantelnya, Zan segera memeriksa dan sungguhan ada, segera ia menghampiri Sania dan duduk di samping wanita itu. "Ini, tadi Month sempat membawa bekal, makanlah." Sembari memberikan sebungkus roti pada Sania.
"Kamu sendiri makan apa?" Sania balik bertanya.
"Masih ada permen, saya bisa makan ini untuk mengganjal perut." Zan membuka plastik permen dan mengunyahnya.
Sania tampak tidak enak hati, roti di tangannya ia potong menjadi dua bagian, satu bagian untuknya, satu bagian lagi ia berikan pada Zan. "Makanlah, kamu juga butuh tenaga, permen itu tidak akan bisa mengganjal perutmu, mengingat lambungmu pasti memiliki ukuran yang besar."
Zan tersenyum datar. "Tahu dari mana saya memiliki lambung yang besar? Kalau begitu, setengah roti itu pun juga tidak akan cukup untuk saya, kamu makan saja, saya tidak lapar." Sembari menyenderkan punggungnya di badan pohon dan memejamkan mata.
Sania menarik kembali roti tersebut dan memperhatikan Zan dengan seksama. "Ternyata pria ini cukup lembut di waktu yang tertentu, andai saja dia selalu seperti ini, aku juga tidak perlu harus menghabiskan tenaga untuk terus bermusuhan dengannya." Seulas senyum terpahat di bibir Sania, sambil menggigit roti yang tadinya ditolak oleh Zan.
"Kamu yakin tidak ingin makan?" tanya Sania dengan pipi yang menggelembung karena terus mengunyah.
"Tidak perlu, kamu cukup membalas budi pada saya setelah kita keluar dari sini," jawab Zan tanpa membuka matanya.
"Balas budi dengan apa?" tanya Sania lagi.
"Belum saya pikirkan, intinya kamu harus menuruti apa pun yang saya katakan nanti," jawab Zan. Sania mengangguk pelan, ia tidak merasa keberatan karena apa yang dilakukan oleh Zan cukup menolongnya dari rasa lapar.
"Sekarang aku haus, apa ada air?" tanya Nia setelah semua roti berhasil masuk ke perutnya.
Zan membuka mata dan menatap Sania. "Air?" tanyanya memastikan. Dan Sania mengangguk.
"Tidak ada." Zan menggeleng bingung.
"Hehe, boleh minta tolong tidak?" Sania tersenyum penuh maksud.
"Tunggu, saya tidak yakin dengan permintaanmu." Zan mengerjap beberapa kali.
"Carikan aku air minum, ya. Please...," mohon Sania dengan wajah yang memelas.
"Hah? Saya? Cari air minum?" Zan menunjuk ke arah dirinya sendiri saking tak percayanya, yang benar saja, seorang pemimpin dari Eternal Group diminta untuk mencari air?
"Kenapa? Apa ada yang salah?" Sania tak mengerti.
"Kenapa? Kamu tanya kenapa? Kamu sadar meminta saya mencarikanmu air? Kamu masih tidak kenal siapa saya?"
"Aku kenal, kamu itu Zan Munarga, seorang CEO sekaligus pemimpin perusahaan Eternal group terbesar pertama di negara ini, memangnya kenapa?" Manik mata Sania masih saja begitu polos.
Zan terkekeh geli. "Kamu sudah dikasih roti malah minta yang lain, sedikit tidak tahu diri, ya?"
"Ya sudah, kalau tidak mau tinggal bilang saja, kenapa harus menatapku seperti itu?" Sania kesal dan mencoba untuk berdiri untuk menjauhi Zan, tapi Zan menarik tangannya dengan cepat.
"Ya sudah, kamu tunggu di sini, biar saya coba cari air bersih yang bisa diminum, berikan plastik rotinya, biar mudah nampung air jika sudah ketemu." Entah kenapa Zan malah begitu pasrah, bahkan dirinya sendiri tak mengerti.
"Bersungguh-sungguh tidak?" tanya Sania.
"Iya."
"Rela atau tidak?" Bertanya sekali lagi.
"Saya hitung sampai tiga, kalau masih terus bertanya saya tidak akan pergi," ancam Zan.
"Baiklah, terimakasih Presdir Zan Munarga, Anda memang pemimpin yang baik dan panutan." Sania memberikan plastik roti tersebut sambil tersenyum cerah.
"Ingat, tetaplah menunggu di sini, jangan ke mana-mana sampai saya kembali," titahnya sebelum ia benar-benar pergi.
Satu jam kemudian, Zan kembali dengan membawa sedikit air bersih di sebuah plastik, tapi apa yang ia lihat, Sania malah bersenda gurau bersama Fandi. "Bagus, bagus. Saya dengan susah payah mencarikannya air, tapi dia bisa tertawa lepas bersama pria lain." Zan bergegas menghampiri mereka.
"Ini, saya sudah mendapatkan airnya." Air tersebut ia sodorkan di depan Sania tanpa ekspresi, nyaris terlihat kesal.
"Tapi aku sudah tidak haus lagi, tadi Tuan Fandi menawarkan air minum milik anaknya, kamu saja yang minum," tolak Sania.
"Apa? Gampang sekali dia mengatakan itu," cibir Zan dalam hati.
"Pria terhormat seperti saya tidak butuh air seperti ini." Zan melempar plastik berisi air dari tangannya begitu saja, padahal sewaktu tidak ada yang melihatnya di sungai tadi, ia bahkan meminumnya begitu banyak, sekaligus untuk mengganjal perut yang kelaparan, benar-benar tak menyangka ada hari ia benar-benar merasakan saat uang tidak lagi memiliki arti apa-apa, ia tetap bisa kelaparan meski membawa kartu debit yang tak terhitung jumlahnya.
"Mungkin Anda merasa lapar, saya membawa banyak makanan bekal milik anak saya, meski tidak membuat kenyang, setidaknya untuk mengganjal perut agar tidak kelaparan." Fandi menawarkan dengan tersenyum ramah.
"Saya tidak makan makanan anak-anak seperti itu," tolak Zan sembari memasang wajah tak peduli, padahal yang sebanarnya, ia sangat-sangat ingin memasukkan makanan dalam mulutnya walau makanan apa pun itu. Namun, ia masih mengingat bahwa ada sebuah reputasi yang harus ia jaga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
Marhaban ya Nur17
gengsi donk pk coe
2022-06-18
0
Any Eka
egomu terlalu tinggi zan 😂
2021-10-02
1
Umi Ningsih Mujung
😘😍🥰❤️
2021-10-02
0