PENGANTIN TANPA PENGANTIN
Malam itu sudah sangat larut, mungkin mendekati tengah malam. Suara burung hantu saling bersahutan dan suara jangkrik pun terdengar dimana-mana. Rembulan yang penuh bersembunyi dibalik awan yang mengambang di langit desa Kalijati. Desa yang hanya memiliki 25 rumah dengan 25 kepala keluarga.
Cahaya rembulan yang terang menyinari desa dan juga masuk ke gubuk pos ronda yang tak jauh dari gapura desa, gapura yang merupakan akses masuk utama menuju desa. Terlihat Pak Badar, Pak Mahmud, Bima dan Cakra yang tengah asyik menikmati ubi rebus yang dibawa Pak Mahmud.
“Ubinya manis banget pak.” Komentar Cakra yang sudah mengambil ubi ke3 nya.
“Iya Cak. Lumayan hasil dari kebun buat nemenin ronda biar nggak bengong.”
Saat semua makan, Bima sedang menyeduh kopi kemasan dengan air termos yang dibawa oleh Pak Badar. Memang para bapak-bapak sudah lebih berpengalaman untuk berjaga semalaman. Bima menyerahkan gelas sekali pakai pada Pak Badar, Pak Mahmud dan Cakra. Tak lupa ia megambil gelasnya sendiri dan segera menyeruputnya meski masih sangat panas.
“Alon-alon toh Cak.” Pak Badar memperingatkan.
“Kopi itu enaknya pas lagi panas pakde. Hehe.” Cakra menambahkan tawa tengil di ujung kalimatnya.
“Sakarepmu wae Cak.” Malah Bima yang menanggapi.
Jam sumbangan dari Pak RT yang bertengger di bilik pos ronda sudah menunjukkan angka 12 lewat 40 menit. Sudah saatnya mereka berkeliling untuk yang kedua kalinya. Kali ini Cakra dan Bima bertukar pasangan, pada patroli pertama Bima bersama dengan Pak Badar dan sekarang ia bersama Pak Mahmud. Pun dengan Cakra yang kini pasangannya adalah Pak Badar.
“Kami jalan dulu ya.” Pak Mahmud pamit dari pos ronda.
“Hati-hati Mas.” Sahut Pak Badar.
“Hati-hati pakde.”
“Iya.”
Pak Mahmud dan Bima mulai berjalan menjauh dari pos ronda, tubuh mereka menghilang di telan kegelapan dan sudah tak tampak. Sementara Pak Mahmud dan Bima berpatroli, Cakra dan Pak Badar berjaga di pos ronda, kalau-kalau ada yang perlu bantuan mereka.
“Permisi.” Dan suara yang perlu bantuan itu datang.
“Astagfirulloh.” Pak Badar yang membelakangi sumber suara itu terkejut bukan main.
Suara perempuan itu sangat lembut. Malam-malam ada yang datang ke kampung mereka adalah hal yang kemungkinannya 1 banding 1000,. Apalagi seorang wanita asing yang membuat raut wajah Cakra keheranan dan membuatnya terdiam sementara. Tak ada jawaban dari sapaan perempuan itu.
Dengan refleks Cakra melihat ke bagian bawah, memastikan perempuan yang masih dibelakangi oleh Pak Badar adalah manusia. Sudah dikonfirmasi, sosok yang ada di hadapannya masih hidup dan kakinya masih menginjakkan kaki di atas tanah.
“I-iya. Ada yang bisa dibantu bu?” tanya Cakra yang mencolek Pak Badar mengisyaratkan untuk menoleh.
“Saya sedang cari rumah Mbak Marni. Marni Darwati, rumahnya ada di desa ini kan?”
“Oh Bu Marni.” Sahut Cakra dan Pak Badar berbarengan.
“Kalau boleh tau ada keperluan apa ya bu?” Tanya Pak Badar.
“Saya ada keperluan pekerjaan dengan Mbak Marni, mau rias.”
“Ooohhh…” lagi-lagi Pak Badar dan Cakra menyahut berbarengan dengan mulut yang membulat mengerti tujuan dari perempuan yang ada di hadapan mereka.
“Bisa antar saya ke rumahnya.” Pinta perempuan itu.
Cakra dan Pak Badar bertukar pandang sesaat. Pos tidak mungkin ditinggalkan tanpa penjagaan, mau tidak mau salah satu dari mereka harus tinggal di pos ronda. Karena tidak mungkin juga menunggu Pak Mahmud dan Bima yang baru saja pergi untuk bergantian menjaga pos.
“Mari Bu ikuti saya.”
Akhirnya diputuskan bahwa Cakra yang mengantar perempuan yang sedari tadi berdiri menunggu keputusan siapa yang akan mengantarkannya.
“Kamu saja yang ikut saya, mobil saya ada di dekat gapura.”
“Baik bu.”
Cakra mengikuti langkah perempuan paruh baya yang membimbingnya menuju sebuah mobil mercy hitam yang sangat mewah. Perempuan bersanggul yang tidak memperkenalkan diri itu menyuruh Cakra untuk duduk di kursi depan bersama supirnya.
“Nanti kamu tunjukan jalannya ya.” Pinta perempuan itu lagi dari bangku belakang mobil.
“Iya bu.”
Mobil perlahan melaju memasuki desa yang masih lengang, setiap rumah memiliki halaman yang lapang dan jalan utama yang juga luas hingga bisa dimasuki mobil. Mobil melewati pos ronda yang dijaga oleh Pak Badar. Cakra mengarahkan supir untuk berbelok ke kiri dan memutar di ujung jalan.
Rumah Marni yang dituju tak sulit untuk ditemukan, hanya terhalang beberapa rumah dari gapura setelah melewati satu kali belokan. Setelah sampai di depan rumah dengan cat krem dan coklat tua, Cakra meminta mobil untuk dihentikan.
“Ini rumah Bu Marni. Kita sudah sampai.” Tunjuk Cakra dengan jempol tangnnya sembari menoleh ke arah belakang untuk memberi tahu.
“Terima kasih ya. Kamu boleh pergi.” Perempuan itu memberikan Cakra selembar uang seratus ribu sebelum ia turun dari mobil.
Setelah mendapat rezeki yang tak disangka-sangka, Cakra segera berlari menuju pos ronda untuk berbagi cerita dengan yang lainnya. Malam ini adalah malam keberuntungan, pikirnya. Hanya dengan menunjukkan alamat ia bisa mendapat uang secara cuma-cuma.
Cakra sudah menghilang dibalik tikungan saat perempuan dengan kebaya putih itu turun dari mobil. Kain jarik membuat langkahnya menjadi sangat tertata, benar-benar seperti putri kerajaan yang sangat anggun saat berjalan. Sanggul dan kebayanya juga sangat mendukung.
Sementara sang perempuan berjalan menuju halaman rumah yang dituju, ia menyuruh supirnya untuk menunggu tepat di dekat mobil tanpa pendampingan.
Pintu terketuk untuk ketiga kalinya saat tak ada jawaban dari sang pemilik rumah. Namun saat tangan perempuan itu hendak mengetuk pintu untuk yang ke empat kalinya, sebuah suara menghentikan tangan itu tepat sebelum mendarat di pintu kayu.
“Maaf… Ada keperluan apa malam-malam begini?” Tanya Pak Mahmud yang saat itu mengarahkan senternya ke arah pintu rumah Bu Marni.
Hening sejenak.
Suara berderit terdengar memecah keheningan yang sempat tercipta, pintu rumah terbuka saat tak sepatah katapun keluar dari mulut perempuan yang membatu atau Pak Mahmud.
“Saya mau di rias sama Mbak Marni.” Perempuan itu akhirnya bersuara.
Sementara yang disebut namanya masih berusaha untuk mengumpulkan seluruh nyawanya, matanya masih menyipit terasa sulit untuk dibuka untuk beberapa saat. Tangannya sibuk untuk menguncir helaian rambut yang berantakan.
“Saya mau di rias Mbak Marni” ulang perempuan itu “iya kan mbak…” ia pun berbalik ke arah Marni yang sedang mebenahi dirinya dan meminta persetujuan.
Marni yang sudah selesai dengan ikatan rambutnya segera sadar setelah mendapat pernyataan yang menembak dirinya seketika, ia pun tak bisa mengelak saat pekerjaannya dibawa-bawa.
“Oh… iya Pak Mahmud. Ini tamu saya, pasti kemalaman di jalan jadi telat sampai.” Jawab Marni untuk menghilangkan kekhawatiran Pak Mahmud. Meski ia belum yakin dengan situasinya.
Semua tampak mematung sesaat, Pak Mahmud belum beranjak karena belum yakin bahwa perempuan berkebaya itu adalah tamu yang ditunggu Marni. Marni juga belum berkata apapun karena masih mengawasi perempuan itu dan mobil yang terparkir di halamannya, tak mungkin ada perampok yang membawa mobil, pikirnya.
“Apa saya harus menunggu disini sepanjang malam?” bisik perempuan itu kepada Marni.
“Ah iya bu, silakan masuk” Marni mempersilakan perempuan itu masuk dan menghampiri Bima dan Pak Mahmud “tunggu sebentar pak, saya ada makanan buat yang jaga.”
Sesuai dengan permintaan, Pak Mahmud dan Bima masih ada di tempat sementara Marni kembali ke dalam rumah. Ia meminta waktu sebentar pada tamunya untuk mengantarkan sepiring keripik singkong yang digorengnya tadi siang.
Marni kembali keluar dengan piring di tangannya, ia bergegas mendatangi Pak Mahmud. Begitupun dengan Pak Mahmud yang tergopoh-gopoh mendatangi Marni agar ia tak perlu sampai keluar halaman.
“Jadi ngerepotin ini Mar.”
“Nggak kok pak, lumayan buat temen jaga” sahut Marni yang sudah memindahkan piring di tangannya ke tangan Bima “dimakan ya Bim.”
“Iya Bu Marni, makasih banyak.”
“Mar, kalau ada apa-apa telpon ya.” Bisik Pak Mahmud sebelum pergi.
“Iya pak pasti. Yaudah kalian patroli lagi.” Jawab Marni meyakinkan bahwa tamunya bukan orang yang berbahaya.
Pak Mahmud dan Bima meninggalkan Marni yang kembali ke dalam rumah, sementara sang supir masih bergeming. Ia berdiri dengan teguh dan kokoh di samping kiri mobil dekat pintu kemudi.
“Maaf ya bu jadi nunggu” ucap Marni saat ia duduk dan menuang segelas air dari teko yang ada di atas meja “apa betul keperluannya untuk dirias?” lanjut Marni sembari menyodorkan gelas bening ke hadapan tamunya.
“Iya betul. Saya ingin dirias seperti dulu.”
“Dulu?” Marni mengerutkan dahinya.
Keduanya masih terdiam. Marni masih memikirkan kapan ia pernah merias perempuan yang ada di hadapannya ini, ia tak memiliki ingatan itu. Dan ia pun sangat yakin tak pernah melakukannya.
“Dulu ibu kamu yang rias saya saat jadi pengantin.” Kata perempuan memecah kebingungan Marni.
Hening.
“Bu Ambar!” Seru Marni mengingat sebuah nama.
“Iya, saya Ambar Kusuma.”
“Tapi ibu sudah nggak ada Bu, sudah meninggal lama.”
“Itulah kenapa saya kesini. Saya mau kamu yang rias saya.”
“Untuk kapan?”
“Sekarang.”
“Sekarang? Tapi…” Marni melirik jam yang sudah ada di angka 1.
“Saya harus pergi ke acara.”
“…”
Marni tak menjawab. Ia tak tahu apa yang harus dikatakannya. Ini bukan jam yang lazim untuk meminta untuk dirias, apalagi ini pertama kalinya bagi Marni merias perempuan yang mengaku bernama Ambar ini.
Ingatan akan nama Ambar kembali saat Marni melihat tubuh ramping yang dibalut dengan kebaya putih rapi itu. Dua puluh tiga tahun silam, saat dirinya masih belajar untuk menjadi seorang perias dari ibunya, ia pernah mendatangi rumah Bu Ambar untuk melihat bagaimana ibunya saat bekerja.
Wajah Bu Ambar tak banyak berubah selain kerutan yang mulai tampai di lehernya. Tubuh dan wajahnya masih tetap muda, seakan ia baru bertemu dengannya kemarin sore.
“Saya kan pelanggan lama. Harusnya kamu tidak perlu banyak kekhawatiran.”
“…” Marni masih diam.
“Saya hanya perlu dirias sederhana, bukan riasan yang medok Mbak.” Bujuk Bu Ambar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Saitama Fans
ngeri ceritanya
2024-07-11
1
Saitama Fans
??????
2024-07-11
0
Irah Irah
m
2021-10-13
0