Suara deru mobil menggema di seluruh kebun. Itu adalah Pak Mahmud yang sudah kembali dengan mobil pick up yang dikemudikannya. Ia segera turun setelah memarkir mobil di jalan besar.
“Bim, Num. tolong dibawa turun ya kacangnya.” Pak Mahmud sedikit berteriak agar Hanum dan Bima bisa segera membawa kacang-kacang itu ke dalam mobil.
“Iya pak…” Bima yang menyahut memberitahu ayahnya.
Bima dan Hanum membawa hasil panen mereka, tentu saja yang di bawa Hanum tak sebanyak yang dibawa Bima. Tapi ia tetap membantunya.
Bima berselisih jalan dengan ayahnya yang ternyata tak sendiri. Ada Mas Rudi dan Pak Hamid yang datang.
“Kamu langsung pulang aja sama Hanum, takut keburu magrib. Sepeda bapak taruh di bak mobil ya.”
“Iya pak.”
Setelah meletakkan kacang yang dibawanya, Bima menurunkan sepeda kumbang yang dibawa ayahnya untuk mengantar Hanum pulang.
“Ayuk pulang.” Bima sudah siap untuk meluncur di atas sepedanya.
“Nggak apa-apa emang kita tinggalin bapak kamu? Bukannya lebih cepet selesai kalau kita bantu?”
“Itulah kenapa bapak bawa Mas Rudi sama Pak Hamid. Mereka yang bantuin bapak. Lagian udah mau magrib. Nanti kamu nggak diizinin lagi keluar sama aku.”
Hanum hanya tersenyum menanggapinya dan segera naik ke sepeda. Ia kembali duduk di boncengan Bima. Kali ini tanganyannya sudah berani melingkar di perut Bima. Hanum sungguh bahagia. Begitupun dengan Bima. Lengkung senyum yang merekah tercipta di wajah mereka.
Keduanya berbahagia di bawah langit yang semakin gelap. Warna jingga semakin hilang ditelan kegelapan malam. Untungnya mereka sudah sampai di desa sebelum adzan magrib berkumandang.
“Hati-hati ya.” Hanum melambaikan tangannya untuk mengantar kepergian Bima.
“Selamat istirahat, nanti aku telpon ya.” Bima menggiring sepedanya menjauh dan menunjukan isyarat menelpon pada Hanum.
Kini mereka benar-benar berpisah. Hanum sudah masuk ke dalam rumah dan Bima sudah tak ada lagi di halaman.
“Banyak nak panennya?” Tanya Marni yang sedang melanjutkan payetan baju pengantin.
“Dapat 1 ton bu, hari ini. Hehe” Hanum mengangkat telunjuk meyakinkan ibunya “hebat ya bu.”
“Alhamdulillah kalau begitu. Jatahnya sudah dikasih?”
Hanum nyengir tahu betul ibunya menyindir kantong keresek yang ada di tangannya. Isinya kacang bulu yang ia panen, itu disiapkan Pak Mahmud saat turun. Bahkan Hanum tak tahu, namun begitu keluarga mereka akan selalu mendapat hasil bumi Pak Mahmud.
Saat usia Hanum tujuh tahun, rumah Bima terbakar karena ibunya lupa mematikan kompor. Pak RT menyarankan mereka untuk tinggal di balai desa yang jaraknya tiga kilo dari desa. Tapi saat itu Marni menawarkan diri untuk menampung keluarga Pak Mahmud.
Mereka tak bisa tinggal di balai katanya. Balai dan rumah adalah tempat yang berbeda, akan lebih nyaman jika keluarga Pak Mahmud tinggal di rumah Marni. Dan selama setahun lamanya Pak Mahmud dan keluarga tinggal di rumah Marni sampai rumah mereka selesai diperbaiki.
Begitulah kebaikan yang tak bisa di lupakan Pak Mahmud. Ia sudah menganggap Marni dan Hanum sebagai keluarganya sendiri. Dan selalu memberikan rezeki yang dimilikinya pada mereka meski jarak rumah mereka cukup renggang.
Adzan magrib terdengar saat Marni dan Hanum sedang mengobrol, mereka sama-sama meletakan barang yang ada di tangannya dan segera menuju ke kamar mandi untuk wudhu dan solat.
Setelah selesai, Hanum keluar dari kamar mandi dan bergantian dengan ibunya. Ia pergi menuju kamarnya dan siap untuk menunaikan kewajiban umat muslim, sembahyang menghadap penciptanya.
Di kamar yang berbeda Marni melakukan hal yang sama. Ia mengangkat tangannya, berdo’a untuk kebahagian Hanum dan dirinya. Hanya mereka berdua yang bisa mengandalkan satu sama lain dan berbagi kebahagian satu sama lain.
Usai solat magrib, Hanum segera menata makan malam mereka di ruang tamu. Rauangan tempat mereka menerima tamu dan makan. Kini keduanya tengah menikmati makanan yang dimasak Hanum tadi siang.
Setelah acara makan selesai, biasanya Marni dan Hanum biasanya menonton acara TV sembari mengerjakan pekerjaan masing-masing. Keduanya sudah duduk di kursi rotan, Marni menggeser kursinya sedikit agar nyaman melihat TV. Sementara Hanum duduk di kursi di seberang TV, hingga dengan jelas bisa melihatnya.
Tangan Hanum tak kosong, ia kembali mengerjakan pakaian pengantin untuk dihias dengan payet-payet. Sementara Marni menopang dagunya, menikmati hiburannya di malam hari bersama anaknya.
Jam sudah menunjukan jam 8.30, waktu benar-benar tak terasa. Sudah waktunya Marni dan Hanum mempersiapkan diri untuk istirahat. Apalagi besok ia harus pergi subuh-subuh untuk pergi ke lokasi pernikahan dan merias pengantinnya.
Setelah merapikan baju ke tempatnya, Hanum menuju kamar mandi untuk menyikat giginya dan wudhu untuk solat sebelum pergi tidur. Kali ini ada yang berbeda dari kebiasaan sebelum tidurnya, Bima menelpon hanya untuk mendengar suara Hanum dan mengucapkan selamat malam saja. Dan tentu itu membuat perasaannya melayang.
Sama dengan Hanum, Marnipun punya kebiasaan sebelum tidur. Ia mengecek semua pintu dan jendela untuk memastikan telah terkunci. Lalu ia pergi ke kamar mandi dan kembali ke kamarnya. Lampu ruang tamu dimatikan dan mereka sudah siap tidur.
Jarum jam sudah berpindah ke angka 12, jam dimana semua semua orang terlelap dalam tidurnya. Termasuk Hanum dan Marni juga seluruh warga desa Kalijati, terkecuali Pak Darman, Wisnu, Pak Karim dan Krisna. Mereka berempat yang malam ini berjaga untuk ronda.
Malam ini bulan masih penuh dan menggantung, cahayanya masih menyinari seluruh desa. Suara burung hantu juga masih setia menemani malam. Tapi tiba-tiba suasana menjadi hening, suara burung hantu tak lagi bersahutan.
Keheningan itu dipecah oleh suara mobil yang sangat halus namun terdengar nyaring di keheningan malam itu. Mobil yang sama dengan mobil yang mendatangi rumah Marni kemarin. Mercy hitam yang mewah.
Pak Karim yang sedang berjaga di pos turun dan menghadang mobil, Wisnu ada di belakangnya. Mereka harus memeriksa tamu mana yang datang ke desa tengah malam begini. Mobil berhenti saat Pak Karim melambaikan tangannya, ia lalu mendatangi pintu kemudi dan mengetuk kacanya.
“Permisi mas, ada keperluan ke rumah siapa ya?” Tanya Pak Karim setelah kaca mobil terbuka dan dia melihat sang supir yang kelihatan masih berusia 25 an.
“Kami mau ke rumah Bu Marni. Kemalaman di jalan.” Jawab sang supir.
“Baik mas silakan.” Pak Karim mempersilakan mobil itu pergi.
Mobil kembali melaju meninggalkan Pak Karim dan Wisnu yang kembali ke pos ronda dan duduk sambil menunggu giliran mereka patroli.
“Emang nggak apa-apa pak di biarkan gitu aja.”
“Nggak apa-apa. Itu tamunya Bu Marni, pelanggan salon katanya.”
“Oh…”
Karena sudah mendengar desas-desus yang beredar di lingkungan sekitar, Pak Karim begitu saja membiarkan mobil itu lewat untuk menuju ke rumah Bu Marni. Namun ada yang di sayangkan oleh Pak Karim. Ia tak mendapat rezeki nomplok seperti Cakra, pikirnya.
Tak lama setelah mobil hitam itu berbelok, Pak Darman dan Krisna datang dari patroli mereka. Kini giliran Pak Karim dan Wisnu yang pergi berkeliling desa.
Di halaman rumah Marni kini sudah terparkir mobil yang sama seperti kemarin, mobil mercy hitam yang mewah. Sang supir membukakan pintu belakang setelah ia memarkir mobil dengan rapi.
Terlihat Ibu Ambar keluar dari mobil, perempuan yang menyebut dirinya sebagai pelanggan lama dari salon Marni. Ia berjalan sangat anggun seperti kemarin, langkahnya tertata sejak turun dari mobil hingga sampai di depan pintu rumah Marni.
Sang supir masih ada di posisi yang sama, ia menunggu di samping mobil dan berdiri tegap disana. Semantara itu, Bu Ambar mulai mengetuk pintu rumah Marni. ketukan pertama, ketukan kedua, ketukan ketiga… dan barulah ketukan keempat pintu terbuka.
“Maaf dengan siapa?”
Kali ini Hanum yang membukakan pintu. Matanya menyipit berusaha untuk terbuka, kepalanya sedikit pening karena dipaksa untuk bangun.
“Saya Ambar, pelanggan ibu kamu.”
“Pelanggan? Jam segini?” Hanum bergantian melihat jam dindingnya dan wajah Bu Ambar.
Pikiran Hanum langsung sadar seketika, tak mungkin ada orang yang datang jam segini dan mengaku sebagai pelanggan. Atau…
“Silakan masuk bu. Saya bangunkan ibu dulu.” Hanum mundur sedikit agar Bu Ambar bisa masuk.
Langkah Hanum berderap menuju ke kamar ibunya. Untungnya kamar mereka tak dihalangi pintu, hanya ada gorden tipis yang menjadi pembatas antar ruangan.
“Bu…” Hanum mengusap lembut tangan ibunya supaya ia cepat bangun “bu…” sambungnya karena Marni belum juga membuka mata.
“Ibu…” Kini Hanum sedikit mengguncang tubuh ibunya karena kepalanya dipenuhi dengan pertanyaan.
“Kenapa Num?” Marni masih terbaring dengan mata yang enggan terbuka.
“Ada tamu diluar. Katanya pelanggan ibu.”
Mata Marni terbuka seketika, tubuhnya bangkit. Ia terduduk di ranjang dan berusaha meraih ikat rambutnya yang berada di atas nakas. Kini Marni sudah bangkit dari ranjangnya dan sedikit merapikan diri.
“Bu Ambar?” Kening Marni mengerut karena keheranan.
“Tolong rias saya lagi.”
“Tapi bu…”
“Kali ini saya gandakan bayarannya.”
Marni dan Hanum saling tatap. Mereka tak bisa berkata apa-apa lagi saat ditawari bayaran lebih meski sekali lagi ini jam yang tidak lazim. Mau tidak mau Marni kembali mengambil pekerjaan ini.
Bu Ambar dipersilakan untuk duduk di kursi tempat dia duduk kemarin, sementara Marni pergi ke kamar mandi untuk mencuci wajahnya. Hanum kembali ke kamar meski tak langsung tidur, ia memikirkan ibunya yang mendapat pelanggan di jam 1 malam. Apakah ia tamu yang sama dengan tamu yang ditanyakannya kemarin? Hanum berbaring dengan mata terbuka, pikirannya melayang entah kemana.
“Sama seperti kemarin ya mbak.” Ucap Bu Ambar saat Marni sedang bersiap-siap.
“Baik bu.” Jawab Marni.
Tak sampai satu jam riasan Bu ambar sudah selesai. Sama persis seperi kemarin, riasan sederhana namun tetap terlihat sentuhan make up. Marni merapikan peralatan make up nya saat Bu Ambar merogoh tas tangannya untuk bayaran rias kali ini.
“Seperti yang saya janjikan.”
“Terima kasih banyak bu.”
Marni hanya melihat sekilas uang yang diterimanya, jumlahnya memang lebih banyak dari yang kemarin. Kemungkinan memang Bu Ambar menambahkan bayarannya. Setelah memasukan uang ke dalam saku Marni mengantar Bu Ambar sampai ke teras seperti yang ia lakukan kemarin.
“Kamu mau jadi penata rias pribadi saya?” Tanya Bu Ambar tiba-tiba saat mereka sedang ada di teras “gajinya lumayan.” Lanjutnya.
“Terima kasih banyak sekali bu tawarannya. Tapi saat ini masih banyak yang perlu jasa saya di desa sini dan sekitarnya.”
“Yakin? Penghasilannya bisa lebih besar dan hidup kamu terjamin.”
“Saya benar-benar berterima kasih bu. Tapi saat memang belum perlu.”
“Kalau jadi pengikut saya mau?”
“Pe-pengikut?” Marni heran karena tak mengerti maksudnya.
“Aura kamu bagus. Jadi akan sangat bagus untuk saya juga kalau kamu jadi pengikut saya.”
“Terima kasih bu, ndak perlu.”
“Baik kalau kamu menolak.”
Bu Ambar sudah naik ke dalam mobil dan melaju di jalanan gelap, bayangannya bahkan sudah tak terlihat lagi. Marni kembali ke dalam rumah untuk beristirahat, sebelum kembali ke kamarnya ia pergi untuk membersihakan tangannya ke kamar mandi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Eka Agustina
aneh..manusia mana coba tengah malem minta di rias, jangan2 demit atau pengabdi demit!
2021-11-10
1
atin p
koq ngedeni thorr...misteri banget
2021-10-08
1
Nurul Luna
jadi penasaran ama bu ambar
2021-10-02
1