TIGA (IKATAN)

Setelah selesai memakan beberapa potong pisang, ubi, tahu goreng dan bakwan, Bima pamit untuk istirahat karena kantuk sudah menyerangnya.

“Hati-hati nabrak pohon Bim.” Hanum memperingatkan Bima saat mengantarnya sampai teras.

“Iya, nggak usah khawatir Num.” Bima melambai sebelum benar-benar pergi.

Hamun kembali ke dalam rumah untuk merapikan meja tamu agar bisa segera kembali tenggelam dalam urusannya untuk memayet baju pengantin yang menunggu untuk diselesaikan.

Sementara Hanum merapikan rumah dan mencuci gelas-gelas kotor, Marni pergi ke kamarnya dan kembali tidur. Hanum membiarkan ibunya, mungkin ia memang kecapek an. Karena langka sekali kalau harus merias di tengah malam.

Setelah rumah peninggalan neneknya rapi, Hanum kembali pada pekerjaannya yang belum selesai, memayet. Kali ini ia pindah ke teras rumah agar bisa merasakan sejuknya udara dan terangnya sinar matahari.

Jam sudah menunjukan pukul 12 saat Marni terbangun, ia sangat kaget dan segera turun dari ranjangnya. Dilihatnya meja tamu yang juga meja makan mereka sudah tersedia makan siang. Hanum yang memasak.

“Hanum baru mau bangunin ibu.” Ucap Hanum yang keluar dari dapur dengan piring dan sendok untuk mereka makan.

“Maaf ya nak, ibu nggak tau kenapa bisa kebabalasan.”

“Nggak usah minta maaf bu, Hanum juga jarang kan masakin ibu.”

Memang, selama ini tugas memasak masih tugas Marni. Sesekali saja Hanum menggantikannya seperti saat ini. Atau saat Marni tak bisa kembali ke rumah tepat waktu saat harus merias.

“Duduk bu, kita makan.”

“Heem, ibu mau cuci muka dulu biar segeran dikit.”

“Yaudah.”

Hanum pun mengekori Marni menuju dapur untuk mengambil sentuhan terakhir makan siang mereka, teko kaca yang sudah diisinya dengan teh tawar hangat. Minuman yang bisa selalu menenangkan ibunya.

Hanum sudah lebih dulu meninggalkan dapur dan duduk manis di kursi rotan sambil menunggu ibunya kembali dari kamar mandi.

Marni kembali dan segera duduk di seberang anaknya, ia duduk di kursi rotan untuk satu orang, kursi yang sering digunakannya seperti itu miliknya seorang, selamanya. Ia mengambil piring dan menyendok nasi yang masih panas dan mengepul.

Belanjaan yang dibawa Marni tadi pagi dari warung Bu Tejo sudah berubah menjadi masakan seperti yang ia harapkan. Meski jarang membantu di dapur, Hanum cukup paham masakan apa yang selalu disajikan ibunya. Tumis sawi dan ikan asin goreng, tak lupa sambel bawang sederhana buatan anaknya.

Siang yang terik membuat makan siang hari itu sungguh sangat nikmat, keringat bertambah bercucuran saat sambel yang Marni dan Hanum makan ternyata sangat pedas. Tentu karena cabenya.

Cabe yang bisa mereka petik kapan saja di depan rumah. Meski sibuk dengan kegiatan merias, Marni tetap menyempatkan waktu untuk bercocok tanam di halaman rumah yang cukup luas. Beberapa tanaman obat dan sayur ada disana.

“Hari ini ibu nggak ada pergi-pegi ngerias kan.”

“Iya nggak, hari ini libur.”

“Hari ini Marni boleh main ya bu, ibu nggak apa-apa kan di rumah sendirian?”

“Nggak apa-apa, udah biasa kan.”

Hanum tersenyum, ia lupa kalau dia dan ibunya adalah orang yang sudah terbiasa hidup sendirian. Mereka bisa saling meninggalkan kapan saja, Hanum paham benar bahwa ibunya meninggalkan dia untuk mencari nafka untuk mereka, bukan hal lainnya.

Saat semua orang meragukan orang tua tunggal seperti Marni, ia cukup sukses untuk menyekolahkan anaknya. Bahkan sampai bisa menguliahkan Hanum. Ia bisa tersenyum bangga saat melihat anaknya tumbuh menjadi gadis yang baik.

“Num…”

“Kenapa bu.”

“Kamu kan belum beli tas baru, kamu boleh sekalian beli pas main nanti.”

“Nggak usah bu, yang lama masih bagus. Lagian Hanum cuma mau main ke kebun Pak Hamid, bantuin Bima angkut panenan kacang bulu.”

“Yaudah uangnya diambil buat ditabung ya.”

“Heem. Nanti aja ya bu, pulang dari kebun.”

Marni hanya bisa tersenyum kembali melihat putri kecilnya berubah menjadi gadis yang lebih dewasa, meski sebenarnya dia masih remaja.

Putri kecilnya kini sedang merapikan makan siang mereka yang sudah selesai, Hanum merapikan meja perlahan. Satu-persatu piring-piring dan gelas -gelas berpindah. Ia menyimpan nasi dan sisa makan siang mereka di nakas yang juga tinggalkan nenekknya untuk mereka.

Tak banyak perabotan yang mereka beli sepanjang ingatan Hanum, mereka tidak punya banyak uang sebanyak itu untuk dihabiskan membali perabot. Dan yang lebih penting mereka sudah memilikinya, beruntung sekali. Warisan dari nenek.

“Besok ibu ada panggilan rias ke desa sebelah, kamu mau ikut atau di rumah?” Teriak Marni agar Hanum bisa mendengarnya.

“Ya ikutlah bu. Lumayan ongkosnya bisa ibu tabung.” Hanum datang dengan buah potong di tangannya.

Kebiasaan yang sangat jarang dilihat di desa ini, makanan penutup setelah makan. Tapi kebiasann ini sudah ada sejak nenek Hanum masih hidup, ia sering melihat orang-orang yang di riasnya melakukan ini hingga menjadi kebiasaan.

Marni beranjak untuk mencuci tangannya sebelum menyentuh mangga dan apel yang sudah dipotong Hanum untuk mereka. Tak sampai setengah jam buah-buahan itu lenyap dari piring. Marni dan Hanum begitu menikmati waktu bersama mereka.

Tak akan lama. Setelah Hanum kembali kuliah, ia akan jarang ada di rumah. Sama seperti saat ia sekolah, mereka tak banyak memiliki waktu bersama seperti saat ini.

“Jam berapa kamu ke kebun Pak Hamid?” Tanya Marni mengingatkan janji anaknya.

“Kata Bima dia kesini jam 3 an biar agak teduh.” Jawab Hanum yang kembali sibuk dengan payet di tangannya.

Sementara Hanum sibuk dengan pekerjaannya, Marni mendatangi tempat ia biasa bekerja. Tiga bangku salon dan etalase baju-baju adat yang biasa disewakannya. Ia mulai dengan peralatan riasnya, ia merapikan dan memilahnya untuk ia bersihkan secara berkala dan tentunya saat ia punya waktu.

Tangan Marni lihat membersihkan meja, kursi, cermin dan etalase. Ia kembali melipat baju-baju yang sebenarnya sudah rapi, namun ia tetap merapikannya dan meletakannya sesuai dengan susunan yang menurutnya akan mudah untuk diambil.

“Assalamualaikum.” Suara Bima menghentikan kegiatan bekerja Marni dan Hanum.

“Waalaikumsalam.” Marni dan Hanum menjawabnya bersamaan.

“Masuk dulu Bim.” Tawar Marni.

“Nggak usah bu, langsung aja biar pulangnya nggak kesorean. Yuk Num.” Ajak Bima.

Hanum bangkit dan menghampiri ibunya, ia mencium punggung tangan ibunya. Bima menyusul di belakangnya dan melakukan hal yang sama.

“Yaudah hati-hati ya.”

“Iya bu.” Sahut Hanum dan Bima.

Bima memimpin jalan keluar dari rumah. Sepeda kumbang milik Pak Mahmud sudah menunggu di halaman. Kendaraan yang paling disenangi Hanum, kadang ia meminjamnya saat ingin bersepeda.

Tanpa arahan lagi Hanum sudah mengerti dimana posisinya, ia segera menduduki boncengan di belakang saat Bima sudah menaikan standar sepeda.

“Bapak udah di kebun Bim?”

“Iya, tadi berangkat duluan, aku bilang mau bawa bantuan. Haha” Bima tertawa, sedikit merasa bersalah seakan memanfaatkan Hanum. Tapi Hanum tak merasa seperti itu.

Mereka bersepeda menuju selatan desa, ada jalan keluar di ujung desa. Jalan yang cukup besar dengan pohon bambu di setiap sisi jalan yang membuatnya menjadi sangat teduh. Jalan ini bisa dilewati mobil untuk memudahkan petani membawa hasil bumi.

Hanum dan Bima menempuh perjalanan selama 15 menit saja, kebun Pak Mahmud tak terlalu jauh dari desa. Ia sudah menjadi petani sejak masih bujangan, tentu saja ia menuruni profesi orang tuanya yang juga petani. Sepertinya Bima pun begitu.

Sepeda berhenti, Bima harus menuntunnya menuju saung yang ada di atas bukit. Jalannya sulit dilalui jika ia menaikinya.

“Kok turun Num?” Tanya Bima saat Hanum mengikutinya turun dari sepeda.

“Sekarang aku udah berat Bim. Nggak enak kalo aku naik kamu yang dorong.”

Bima terkekeh, ini kali pertamanya Hanum merasa tak enak. Sebelumnya dengan senang hati dia akan duduk manis dan Bima mendorong sepeda saat jalan sulit dilalui. Masa sudah berganti. Hanum sudah jauh lebih besar dan berat sekarang, pikirnya.

Mereka berdua akhirnya sampai di saung, Pak Mahmud sudah ada disana dan sedang menikmati kopinya yang pasti sudah dingin.

“Ternyata ini toh bala bantuannya.” Sapa Pak Mahmud saat melihat Hanum datang bersama anaknya.

“Iya pak. Hanum mau bantu recokin aja biar nggak sepi.”

“Yaudah tolong ya Num.”

“Siap pak.” Hanum mengangkat jempol tangannya pertanda Pak Mahmud bisa mempercayakannya pekerjaan ini.

Puluhan kilo kacang kacang bulu sudah terkumpul di saung, tapi masih ada puluhan kilo lainnya yang tersebar di seluruh kebun. Dan merupakan tugas Bima dan Hanum untuk mengumpulkannya.

Hanum mulai berjalan menelusuri deretan bambu yang menjadi penopang kacang bulu, ia mulai memetik dan mengumpulkan sebanyak yang ia bisa. Satu per satu hingga terkumpul menjadi beberapa kilo.

Ia membawa hasil panennya ke saung yang mulai dirapikan Pak Mahmud untuk dibawa oleh ke bandar malam ini dan dijual besok subuh di pasar. Kebun Pak Mahmud memang tidak sampai sehektar, tapi cukup luas untuk menghasilkan beberapa ton kacang bulu.

Hari ini panen agak terlambat dan tentu membutuhkan bantuan ekstra karena tadi malam Pak Hamid dan Bima ronda. Panen pagi sudah dilakukan ibu Bima dan satu pekerja, estafet dilanjutkan Pak Hamid. Dan sekarang dibantu Bima dan Hanum.

Waktu terus merangkak maju hingga senja sudah hampir menjemput, matahari terus berubah warna menjadi jingga saat hendak menuju ke tempat peristirahatannya. Dan untungnya semua kacang sudah berhasil dipanen, meski ada beberapa yang terlewat tapi tidak banyak.

“Bapak mau ambil mobil dulu. Kalian udah hampir selesai kan.”

“Iya pa.” Sahut Bima membawa kacang terakhir di tangannya.

Bima dan Hanum membersihkan diri dengan air yang ada di penampungan dekat saung. Mereka mencuci tangan dan wajahnya yang dipenuhi dengan peluh. Sementara itu Pak Mahmud turun dari kebun dengan sepeda untuk membawa mobil yang akan membawa hasil panennya.

Setelah membersihkan diri dan menunggu sepeda kembali, Hanum dan Bima duduk di saung yang masih cukup luas untuk mereka berdua. Mereka duduk bersila dan berhadapan. Pandangan Hanum kabur ke belakang Bima, ia menikmati pemandangan yang menjulang tinggi.

“Makasih ya Num.” Kata Bima membuka obrolan

“Sama-sama Bim. Udah biasa ini.” Fokus Hanum beralih ke wajah Bima.

“Tolong diterima ya.” Bima menyodorkan sebuah kotak beledu biru tua yang sangat mewah.

“Apa ini?” Tanya Hanum seraya mengambil kotak yang ada di tangan Bima.

Hanum terdiam saat membuka kotak yang ada di tangannya, ia terkesima untuk beberapa saat hingga keheningan berada diantara mereka. Bima pun belum menjawab pertanyaan Hanum yang kini tak bisa mengalihkan pandangannya.

Pandangannya masih tertuju pada isi kotak kecil itu yang ternyata sebuah cincin dengan satu permata yang menghiasinya, sederhana dan cantik. Seperti Hanum.

Bima memang menyukai Hanum, ia sangat senang jika ada kesempatan untuk menghabiskan waktu dengan Hanum. Kapanpun dan dimanapun itu, dan ia senang bisa satu sekolah dengannya saat SMA.

Perasaan itu tentu saja tak serta merta muncul, mereka awalnya hanya teman bermain bersama. Sampai akhirnya masa pubertas itu menyerang Bima, dan kini perasannya tak bisa ditahan lagi.

Ia bahkan memaksa untuk mengembalikan piring berisi keripik yang diterimanya tadi malam dari Bu Marni. Itu merupakan alasan yang bagus untuk bertemu dengan Hanum di pagi hari meski dirinya mengantuk berat setelah ronda semalaman.

“Aku suka sama kamu udah dari lama Num, aku nggak pinter gombal kayak cowok lain. Tapi aku cuma bisa janji kalau aku nggak akan berubah dan aku maunya kita menikah setelah lulus kuliah nanti.” Jelas Bima menatap wajah Hanum yang kemerahan.

“…” Hanum diam. Masih tak tahu harus bereaksi seperti apa.

“Tapi…” Bima menyela mengira bahwa ia mendapat penolakan dari Hanum.

Tapi… sebelum Bima selesai berbicara, Hanum menyodorkan kembali kotak cincin yang ia terima. Hati Bima mencelos saat Hanum melakukannya. Ini sebuah penolakan pikirnya.

“Tolong pakaikan di jariku Bim.” Pinta Hanum.

Senyum tak bisa lagi di tahan Bima, jutaan kupu-kupu kini berterbangan di perutnya. Rasa bahagia yang membuncah tak bisa ditahan. Ia segera merebut kotak cincin dari Hanum dan melepas isinya.

Dengan hati-hati Bima meraih tangan kiri Hanum, ia menyematkan cincin di jari manisnya. Sangat cantik. Warnanya berkilauan sama seperti wajah pemiliknya saat ini.

Keduanya sama-sama tersipu. Mereka tak saling berkata-kata tapi tatapan mata mereka berdua mengatakannya, kami bahagia. Dan kami akan bahagia selamanya.

“Mulai hari ini kamu jadi pacarku ya Num.”

Hanum hanya mengangguk pelan dan tersenyum, ia terlalu malu. Ternyata cintanya tak bertepuk sebelah tangan. Kini semuanya sudah jelas bagi Hanum. Ia tak perlu mendamba lagi. Lelaki itu sekarang miliknya, meski baru menjadi pacarnya.

Karena ternyata selama ini Bima lah yang selalu mengisi pikiran dan hati Hanum. Ia juga sama bahagianya dengan Bima. Hari-harinya tak lagi diisi dengan kegundahan dengan memikirkan perasaan lelaki itu.

Episodes
1 SATU (PELANGGAN LAMA)
2 DUA (DESAS-DESUS WARGA)
3 TIGA (IKATAN)
4 EMPAT (PELANGGAN!)
5 LIMA (PERMULAAN)
6 ENAM (IBU BUKANLAH IBU)
7 TUJUH (UANG)
8 DELAPAN (MIMPI BURUK IBU)
9 SEMBILAN (KECURIGAAN)
10 SEPULUH (CEMBURU)
11 SEBELAS (AKU MILIKMU)
12 DUA BELAS (BUKAN IBU LAGI)
13 TIGA BELAS (PERJODOHAN)
14 EMPAT BELAS (RANGKAIAN)
15 LIMA BELAS (MBAH UTI)
16 ENAM BELAS (AYU)
17 TUJUH BELAS (PENGAKUAN)
18 DELAPAN BELAS (PERCOBAAN PENGUSIRAN)
19 SEMBILAN BELAS (KESEPAKATAN)
20 BONUS CHAPTER (VISUAL BIMA DAN HANUM)
21 DUA PULUH (KEMATIAN BU TEJO)
22 DUA PULUH SATU (CALON BESAN)
23 DUA PULUH DUA (MANTAN SUAMI)
24 DUA PULUH TIGA (BUKAN ANAK PAK MAHMUD)
25 DUA PULUH EMPAT (PENGAKUAN YANG TERLAMBAT)
26 DUA PULUH LIMA (POHON PISANG)
27 DUA PULUH ENAM (JAM TANGAN PAK LURAH)
28 DUA PULUH TUJUH (PENCARIAN MAYAT BU TEJO)
29 DUA PULUH DELAPAN (MASIH ADA GANGGUAN)
30 DUA PULUH SEMBILAN (PERINGATAN)
31 TIGA PULUH (RUMAH BARU)
32 TIGA PULUH SATU - MASIH BELUM DITEMUKAN
33 TIGA PULUH DUA - INGKAR
34 TIGA PULUH TIGA - MASIH INGKAR
35 TIGA PULUH EMPAT - KAMIS MALAM
36 TIGA PULUH LIMA - LANGKAH KAKI MISTERIUS
37 TIGA PULUH ENAM - PELIHARAAN
38 TIGA PULUH TUJUH - OSPEK
39 TIGA PULUH DELAPAN - MUSHOLLA TAK KASAT MATA
40 TIGA PULUH SEMBILAN - LAGI-LAGI AYU
41 EMPAT PULUH - PENGANTIN TANPA PENGANTIN
42 EMPAT PULUH SATU - SEMUANYA MEMBAIK
43 EMPAT PULUH DUA - NYAI MELATI
44 EMPAT PULUH TIGA - KEMATIAN MBAH UTI
45 EMPAT PULUH EMPAT - PENGANTIN TANPA PENGANTIN
46 EMPAT PULUH LIMA - UNDANGAN DARI ALAM GAIB
47 EMPAT PULUH ENAM - KISAH MBAH UTI
48 EMPAT PULUH TUJUH - MAHENDRA
49 EMPAT PULUH DELAPAN - PERNIKAHAN GAIB MBAH UTI
50 EMPAT PULUH SEMBILAN - MULAI PEKA
51 LIMA PULUH - BANTUAN TAK KASAT MATA
52 LIMA PULUH SATU - MENJELANG SEMESTER BARU
53 LIMA PULUH DUA - RUMAH SAKIT TUA
54 LIMA PULUH TIGA - LINGLUNG
55 LIMA PULUH EMPAT - HAMPIR JADI KORBAN PESUGIHAN
56 LIMA PULUH LIMA - SEMESTER BARU
57 LIMA PULUH ENAM - MEMANFAATKAN 'TEMAN'
58 LIMA PULUH TUJUH - DIMANA-MANA ADA AYU
59 LIMA PULUH DELAPAN - BU TEJO DITEMUKAN
60 LIMA PULUH SEMBILAN - KAMBING HITAM
61 ENAM PULUH - PESUGIHAN DAN PELET ASIHAN
62 ENAM PULUH SATU - SIAPAKAH PAK GONDO
63 ENAM PULUH DUA - PERTENGKARAN
64 ENAM PULUH TIGA - RENCANA PERTUNANGAN
65 ENAM PULUH EMPAT - RENCANA PERTUNANGAN II
66 ENAM PULUH LIMA - SIHIR UNTUK HANUM
67 ENAM PULUH ENAM - RAYHAN SAMUDRA
68 ENAM PULUH TUJUH - CEMBURU
69 ENAM PULUH DELAPAN - PENYEMBUHAN
70 AUTHOR MENYAPA
71 ENAM PULUH SEMBILAN - DUA MANGKUK INDOMIE DI PAGI HARI
72 TUJUH PULUH - BAKSO MANG ASEP
73 TUJUH PULUH SATU - KELAPA MUDA DADAKAN
74 TUJUH PULUH DUA - MARTABAK MANIS DAN TELUR
75 TUJUH PULUH TIGA - INI TENTANG PAK GONDO
76 TUJUH PULUH EMPAT - MENCARI DUKUN BARU
77 TUJUH PULUH LIMA - KEBENARAN KEMATIAN BU TEJO
78 I am Back
79 TUJUH PULUH ENAM - INI MASIH TENTANG PAK GONDO
80 PENGUMUMAN LAGII
81 TUJUH PULUH TUJUH - CINCIN
82 TUJUH PULUH DELAPAN - MAAF DAN TERIMAKASIH
83 TUJUH PULUH SEMBILAN - HAMPIR SAJA
84 DELAPAN PULUH - PERASAAN BARU
Episodes

Updated 84 Episodes

1
SATU (PELANGGAN LAMA)
2
DUA (DESAS-DESUS WARGA)
3
TIGA (IKATAN)
4
EMPAT (PELANGGAN!)
5
LIMA (PERMULAAN)
6
ENAM (IBU BUKANLAH IBU)
7
TUJUH (UANG)
8
DELAPAN (MIMPI BURUK IBU)
9
SEMBILAN (KECURIGAAN)
10
SEPULUH (CEMBURU)
11
SEBELAS (AKU MILIKMU)
12
DUA BELAS (BUKAN IBU LAGI)
13
TIGA BELAS (PERJODOHAN)
14
EMPAT BELAS (RANGKAIAN)
15
LIMA BELAS (MBAH UTI)
16
ENAM BELAS (AYU)
17
TUJUH BELAS (PENGAKUAN)
18
DELAPAN BELAS (PERCOBAAN PENGUSIRAN)
19
SEMBILAN BELAS (KESEPAKATAN)
20
BONUS CHAPTER (VISUAL BIMA DAN HANUM)
21
DUA PULUH (KEMATIAN BU TEJO)
22
DUA PULUH SATU (CALON BESAN)
23
DUA PULUH DUA (MANTAN SUAMI)
24
DUA PULUH TIGA (BUKAN ANAK PAK MAHMUD)
25
DUA PULUH EMPAT (PENGAKUAN YANG TERLAMBAT)
26
DUA PULUH LIMA (POHON PISANG)
27
DUA PULUH ENAM (JAM TANGAN PAK LURAH)
28
DUA PULUH TUJUH (PENCARIAN MAYAT BU TEJO)
29
DUA PULUH DELAPAN (MASIH ADA GANGGUAN)
30
DUA PULUH SEMBILAN (PERINGATAN)
31
TIGA PULUH (RUMAH BARU)
32
TIGA PULUH SATU - MASIH BELUM DITEMUKAN
33
TIGA PULUH DUA - INGKAR
34
TIGA PULUH TIGA - MASIH INGKAR
35
TIGA PULUH EMPAT - KAMIS MALAM
36
TIGA PULUH LIMA - LANGKAH KAKI MISTERIUS
37
TIGA PULUH ENAM - PELIHARAAN
38
TIGA PULUH TUJUH - OSPEK
39
TIGA PULUH DELAPAN - MUSHOLLA TAK KASAT MATA
40
TIGA PULUH SEMBILAN - LAGI-LAGI AYU
41
EMPAT PULUH - PENGANTIN TANPA PENGANTIN
42
EMPAT PULUH SATU - SEMUANYA MEMBAIK
43
EMPAT PULUH DUA - NYAI MELATI
44
EMPAT PULUH TIGA - KEMATIAN MBAH UTI
45
EMPAT PULUH EMPAT - PENGANTIN TANPA PENGANTIN
46
EMPAT PULUH LIMA - UNDANGAN DARI ALAM GAIB
47
EMPAT PULUH ENAM - KISAH MBAH UTI
48
EMPAT PULUH TUJUH - MAHENDRA
49
EMPAT PULUH DELAPAN - PERNIKAHAN GAIB MBAH UTI
50
EMPAT PULUH SEMBILAN - MULAI PEKA
51
LIMA PULUH - BANTUAN TAK KASAT MATA
52
LIMA PULUH SATU - MENJELANG SEMESTER BARU
53
LIMA PULUH DUA - RUMAH SAKIT TUA
54
LIMA PULUH TIGA - LINGLUNG
55
LIMA PULUH EMPAT - HAMPIR JADI KORBAN PESUGIHAN
56
LIMA PULUH LIMA - SEMESTER BARU
57
LIMA PULUH ENAM - MEMANFAATKAN 'TEMAN'
58
LIMA PULUH TUJUH - DIMANA-MANA ADA AYU
59
LIMA PULUH DELAPAN - BU TEJO DITEMUKAN
60
LIMA PULUH SEMBILAN - KAMBING HITAM
61
ENAM PULUH - PESUGIHAN DAN PELET ASIHAN
62
ENAM PULUH SATU - SIAPAKAH PAK GONDO
63
ENAM PULUH DUA - PERTENGKARAN
64
ENAM PULUH TIGA - RENCANA PERTUNANGAN
65
ENAM PULUH EMPAT - RENCANA PERTUNANGAN II
66
ENAM PULUH LIMA - SIHIR UNTUK HANUM
67
ENAM PULUH ENAM - RAYHAN SAMUDRA
68
ENAM PULUH TUJUH - CEMBURU
69
ENAM PULUH DELAPAN - PENYEMBUHAN
70
AUTHOR MENYAPA
71
ENAM PULUH SEMBILAN - DUA MANGKUK INDOMIE DI PAGI HARI
72
TUJUH PULUH - BAKSO MANG ASEP
73
TUJUH PULUH SATU - KELAPA MUDA DADAKAN
74
TUJUH PULUH DUA - MARTABAK MANIS DAN TELUR
75
TUJUH PULUH TIGA - INI TENTANG PAK GONDO
76
TUJUH PULUH EMPAT - MENCARI DUKUN BARU
77
TUJUH PULUH LIMA - KEBENARAN KEMATIAN BU TEJO
78
I am Back
79
TUJUH PULUH ENAM - INI MASIH TENTANG PAK GONDO
80
PENGUMUMAN LAGII
81
TUJUH PULUH TUJUH - CINCIN
82
TUJUH PULUH DELAPAN - MAAF DAN TERIMAKASIH
83
TUJUH PULUH SEMBILAN - HAMPIR SAJA
84
DELAPAN PULUH - PERASAAN BARU

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!