Marni bangkit dan mempersilakan Bu Ambar untuk duduk di kursi rias yang ada di belakang kursi tamu. Rumahnya sejak dulu tak berubah. Ibu Marni yang meninggalkan rumah dan salon ini untuk diteruskan Marni, ada tiga meja rias lengkap dengan kursinya.
Beberapa etalase terpajang sebagai rumah bagi baju-baju pengiring pengantin, sementara gaun-gaun untuk pengantin khusus digantung di lemari kaca dekat pintu ke arah dapur.
“Tunggu sebentar ya bu, saya ambil peralatan dulu.”
“…” Tak ada jawaban dari Bu Ambar.
Marni mengambil peralatan riasnya dan menyempatkan untuk mencuci wajahnya agar lebih segar. Ia kembali dari kamar mandi dan mulai merias Bu Ambar setelah terlebih dahulu membersihkan tangannya.
Dengan seksama dan hati-hati Marni memulai pekerjaan sebagai seorang perias yang telah digelutinya selama dua puluh tahun lamanya. Ia memoles wajah Bu Ambar yang sempat pucat menjadi kembali berseri.
“Ini sesuai dengan yang saya harapkan. Kamu memang bisa diandalkan.” Komentar Bu Ambar saat riasannya sudah selesai.
“Terima kasih bu.”
“Berapa untuk biaya riasnya?”
“Lima ratus ribu saja.” Jawab Marni.
Bu Ambar merogoh tas tangannya dan mengeluarkan lima lembar uang seratus ribu. Ia langsung menyerahkannya pada Marni yang masih berdiri di sisi kirinya. Setelah itu ia bangkit dan berjalan menuju pintu keluar.
Marni mengikuti langkah tamunya menuju pintu keluar, ia mengantar kepulangan Bu Ambar sampai ke depan halaman rumahnya. Marni menganggukan wajahnya saat mobil melaju tanda perpisahan.
Dengan hati yang lega namun sempat panik Marni kembali ke dalam rumah. Berulang kali ia menarik nafas panjang untuk menenangkan diri dari pengalaman anehnya malam ini. Marni kembali ke kamar, ia berbaring dan siap tidur setelah meletakan uang yang diterimanya di nakas kecil samping ranjang.
Cicit burung begitu riuh terdengar, desa Kalijati yang dikelilingi hutan dan perkebunan tentu saja masih menjadi tempat yang nyaman bagi hewan-hewan liar. Pagi ini matahari kembali bersinar cerah. Pertengahan bulan Agustus yang masih cerah tanpa curah hujan.
Namun pagi itu Marni bangun terlambat, bahkan ia melewatkan solat subuhnya. Ini hal yang tak biasa, begitupun dengan gelas yang masih ada di atas meja. Marni sudah tak sempat dan tak sanggup untuk membereskannya dinihari tadi.
“Siapa yang namu bu?” Tanya Hanum.
“Ada… orang.” Sahut Marni seraya menggeliat, badannya terasa begitu pegal.
Marni berjalan menuju ke arah kamar mandi yang bersebelahan dengan dapur untuk mencuci wajahnya dan bersiap untuk pergi belanja. Sementara Hanum masih duduk di meja tamu dan melanjutkan kegiatan memayetnya dengan perasaan yang masih penasaran.
Pertanyaannya belum terjawab dengan tuntas, ia masih merasa janggal dan perlu tahu siapa yang bertamu hari ini. Rasanya tak pernah ada tamu yang datang sepagi itu.
“Ibu ke warung Bu Tejo dulu ya.” Marni keluar dari kamarnya setelah merapikan diri. Kehadirannya mengejutkan Hanum yang sedang melamun.
“Iya bu.”
Hanum masih gelisah, pikirannya masih melayang pada tamu yang tak ditemuinya. Bahkan payet ditangannya ternyata tak bergerak, ia tak membuat perubahan pada kain brokat berwarna putih itu.
Dengan sekali gerakan Hanum menghempaskan baju pengantin setengah jadi yang ada di tangannya. Entah bagaimana masalah sekecil ini bisa sangat menganggunya, karena ini tak pernah terjadi. Perasaannya begitu kusut dan kalut.
Padahal, siapapun yang bertamu ke rumahnya tak pernah ia pedulikan. Siapa dan kapan tamu itu datang ia akan acuh. Apakah ini pengaruh dari hormon remajanya? Mungkin saja.
Tahun ini Hanum tamat dari SMA dan sedang menunggu untuk masuk perkuliahan awal bulan September nanti. Masa senggangnya ia gunakan untuk membantu ibunya, meski ia tak berniat untuk melanjutkan pekerjaan ibunya sebagai perias atau yang saat ini lebih dikenal sebagai Make Up Artist.
Bukan tak menyukainya, hanya saja ini sudah berlangsung lama. Ia melihat ibu dan neneknya sering merias wajah-wajah yang mereka tak kenal. Hanum merasa harus menyudahinya, dan akhirnya dia mengambil jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia untuk menjadi seorang guru.
Keriuhan sudah terdengar oleh Marni dari jarak lima langkah menuju warung Bu Tejo. Ini adalah hal yang paling biasa, ibu-ibu yang datang berbelanja juga sekalian mengobrol ria adalah pemandangan sehari-hari yang tak bisa terelakan.
Tampak Bu Asih, Bu Inem dan Bu Parti yang sedang memilah sayuran dan lauk lainnya saat Marni datang dengan senyuman seperti biasanya. Ia dikenal sangat ramah dan baik hati.
“Selamat pagi ibu-ibu.” Sapa Marni.
“Eh Bu Marni. Belanja apa bu hari ini?” tanya Bu Asih.
“Biasa aja, saya mau bikin tumis sawi sama goreng iwak asin.”
“Bu Marni, semalam dapat tamu yang spesial ya.” Sambar Bu Tejo yang berada di belakang dagangan.
Marni kikuk dan salah tingkah, ia tak percaya bahwa kedatangan pelanggannya di malam hari akan menjadi perbincangan di warung pagi ini. Dan yang lebih ia tak percayai adalah Pak Mahmud dan Bima tak mungkin menceritakannya, mereka bukan tipe lelaki yang suka bergosip.
“Oh …”
“Kata Cakra, dia saja di kasih seratus ribu loh cuma nunjukin rumah Bu Marni.” Sekarang Bu Parti yang ikut menimpali.
Helaan nafas Marni terdengar jelas. Tentu saja dugaannya pada Pak Mahmud dan Bima salah, tapi tidak pada Cakra. Dia hampir sama seperti ibunya, Bu Tejo. Senang sekali dengan urusan orang lain.
“Iya bu betul, pelanggan lama dan kemalaman sampai disini. Ibu tau kan kalau desa kita ada di ujung gunung, sulit dijangkau.” Marni masih menanggapi dengan baik-baik.
“Pelanggang dari mana bu?” Tanya Bu Asih yang penasaran.
“Dari kota” jawab Marni “tolong dihitung ya bu.” Marni segera menyerahkan belanjaannya dan sudah siap untuk membayar.
“Terima kasih.” Kata Marni yang sudah membayar dan menerima kantong belanjaannya.
Tak ingin menanggapi keingintahuan ibu-ibu yang ada di warung, Marni segera melenggang. Ia merasa tak harus menjawab semua yang ditanyakan ibu-ibu itu, kecuali Bu Inem yang tak bertanya.
Langkah Marni terus mengayun sampai ia sudah tiba di depan rumahnya, ia memasuki pintu yang setengah terbuka. Hanum tak terlihat, yang ada hanya baju pengantin yang belum jadi tergeletak di atas kursi tamu.
“Udah pulang bu.” Suara Hanum mengejutkan Marni. Kali ini Marni yang tenggelam dalam lamunan.
“Kamu nih ngagetin aja sih.” Marni berbalik dan menepuk halus pundak anaknya.
“Habis ibu ngapain berdiri kayak patung gitu, orang keliatan dari luar kok.” Jelas Hanum yang melihat ibunya berdiri cukup lama dari jendela rumah.
“Ini loh, ibu liat baju nya belum jadi…” telunjuk Marni terarah pada baju berbahan brokat itu.
“Ohh… iya bu. Hanum laper banget jadi ke warung Mbah Uti dan jajan ini….” Hanum menggoyangkan kantong plastik bening dengan alas koran “sarapan gorengan dulu aja bu, masaknya nanti aja. Ibu pasti cape.”
Marni yang sejak tadi berdiri akhirnya duduk dan meletakkan belanjaannya diatas meja, ia kembali menghela nafas panjang dan mulai mengurut keningnya yang berkedut karena cukup pusing dan kelelahan.
“Ibu nggak apa-apa?”
“Kamu denger apa di warung Mbah Uti?” Marni malah menjawab pertanyaan anaknya dengan pertanyaan.
“Katanya ada tamu malam sekali, terus Cakra bilang dia dikasih uang sama tamu itu karena ngasih tau rumah kita. Ini juga gorengannya di bayarin sama Cakra bu.” Jelas Hanum.
“Hufft…” Nafas berat Marni kian sering terdengar.
“Tamunya siapa bu?” Tanya Hanum lagi.
“Pelanggan nenek, dia minta di rias untuk acara. Yasudah ibu rias saja.”
“Ohh pantes” Hanum yang terduduk kembali berdiri “ibu makan dulu gorengannya, Hanum bikinin teh hangat ya.” Gadis itu pun bangkit dan meninggalkan ibunya.
Kepala Marni terasa begitu berat setelah kedatangan Bu Ambar, bukan karena pekerjaannya yang berat. Namun lebih kepada mengapa ia harus datang saat tengah malam lewat.
Apa Bu Ambar tidak tahu saat sesuatu yang kecil terjadi maka akan menjadi besar dan semakin besar di desa itu. Desa Kalijati adalah desa di ujung gunung yang masih sangat senang dengan rumor atau desas-desus yang terjadi pada warganya.
Bahkan saat ayah Hanum kabur, Marni harus menahan omongan warga yang belum tentu benar sampai enam bulan lamanya. Itupun karena ada salah satu warga yang anaknya hamil diluar nikah dan diusir. Jika masalah itu tidak ada, mungkin Marni masih menjadi topik pembicaraan.
Hanum datang dengan dua gelas teh melati yang di belinya di toko dekat sekolah, ia sangat menyukainya. Gelas pertama ia letakkan tepat di hadapan ibunya. Sedangkan ia masih memegang gelas lainnya untuk ia minum sendiri.
“Diminum bu… nggak usah dipikir. Disini kan emang kayak gini. Apa-apa juga jadi bahan gosip.” Hanum ternyata mengerti perasaan ibunya saat ini.
Senyum terlukis di wajah Marni, yang menandakan ia setuju dengan pernyataan Hanum. Yang lebih penting lagi ia merasa sangat beruntung dan bahagia menjadi ibu dari seorang anak yang mandiri dan pengertian.
Hanum tak menangis saat ayahnya pergi tanpa kejelasan, ia hanya berkata ‘Hanum sama ibu pasti bisa hidup bahagia’. Itu adalah obat dari kepahitan hidup yang dijalani Marni saat itu, hingga ia melupakannya dan terus bekerja agar bisa membiayai Hanum bagaimanapun caranya.
Gelas terangkat dan Marnipun menghirup teh yang masih mengepul, nikmat. Teh yang tak terlalu manis dan pisang goreng Mbah Uti adalah suguhan yang tak bisa ditolak. Perpaduan keduanya membuat ia tak membutuhkan makanan lain.
Makanan yang dibawa Hanum dari Mbah Uti adalah makanan legendaris desa, perempuan yang dipanggil Mbah Uti sudah menjual aneka gorengan sejak ia masih gadis dan bertahan hingga kini. Itu adalah usaha yang sangat hebat, kalau ibu Marni masih hidup mungkin ia akan seperti Mbah Uti, masih menjalankan usaha riasnya.
Ketukan pintu membuat Marni dan Hanum menoleh ke arah sumber suara, itu Bima. Ia mengucap salam setelah pemilik rumah menyadari keberadaannya.
“Mau ngembaliin ini bu.” Bimas menyodorkan piring beling berwarna biru hadiah dari deterjen.
“Oh iya Bim. Makasih ya.” Marni segera menyadari keperluan Bima.
“Sini Bim, gabung makan gorengan Mbah Uti.” Ajak Hanum yang memang teman satu kelasnya.
“Iya sini…” Marni juga mempersilakannya yang membuat Bima sulit untuk menolak.
“Sini-sini” Hanum menyuruh Bima untuk duduk sementara ia berdiri “harus ada tehnya…” lanjut Hanum yang melangkah menuju dapur.
Bima sudah duduk di kursi rotan yang dilapisi bantal tipis yang dijahit Hanum, supaya tidak terlalu sakit katanya.
“Kamu kuliahnya nanti dimana Bim? Bude belum tanya.” Ungkap Marni di sela acara mengunyahnya.
“Bima nanti ke kampus pertanian bude, lumayan ilmunya buat kelola kebun bapak.”
“Oalah, mulia sekali. Berarti nanti pisah dong ya sama Hanum.”
“Iya bisa dibilang gitu tapi nggak juga, kampusnya sama cuma jurusannya aja yang beda.”
“Kurang mudeng bude, maklum ndak mau belajar orangnya. Cuma bisa bikin orang cantik aja.”
“Ibu nih, makanya kalau aku ngobrol tuh di dengerin sampe selesai.” Hanum datang dengan segelas teh di tangannya.
Bima hanya tersenyum berada di tengah obrolan anak dan ibu itu.
“Nanti perginya bareng ya pas ospek.” Sambung Hanum yang menyodorkan teh dan duduk di sebelah Bima.
“Heem. Tapi masih lama kan…”
“Dua minggu mah mana ada lama, bentar tau…” Hanum kembali mengambil pisang goreng favoritnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments