“Assalamualaikum.” Kata Marini yang sudah lebih dulu berpengalaman.
“Nggak usah salam koe.” Jawab Mbah Uti ketus.
Suasana semakin mencekam saat suara yang keluar dari Mbah Uti sangat menyeramkan dan itu... bukan Mbah Uti. Tubuh nenek tua itu sudah sepenuhnya dimasuki makhluk gaib.
Hanum yang masih trauma akan kejadian yang menimpanya sejak dua hari lalu mulai kehilangan dirinya, kepalanya pening.
“Mar tunggu disini. Aku harus bawa Hanum pergi.” Bisik Marini pada Marni.
“Iya mba.”
Marini bangkit sembari membantu Hanum untuk berdiri. Ia tak boleh ada disini, jika ia tak sadarkan diri maka tubuhnya bisa dimasuki memedi yang sekarang ada di tubuh Mbah Uti. Dan itu bisa membahayakan Hanum saat jiwanya pergi.
Dengan segera Marini menggiring Hanum keluar rumah, ia mendudukkan anak itu di bale depan rumah Mbah Uti.
“Kamu nggak boleh kemana-mana Num. Dzikir terus, nggak boleh sampe kosong.” Marini terus menyadarkan Hanum agar tak sampai pingsan.
“Iya bude.” Jawab Hanum lemas.
“Bim…. Kamu pulang sekarang ya. Langsung ke rumah Mbah Uti. Kamu aja, bapak nggak usah.” Kata Marini tanpa basa-basi saat teleponnya tersambung dengan Bima.
Hanum perlu penjagaan, pikir Marini. Maka ia masih bersama Hanum sampai Bima tiba untuk menjaga gadis itu. Sementara menunggu Bima, sudah ada pembicaraan antara Marni dan memedi di dalam sana.
“Asal kamu dari mana?” Tanya Marni.
“Kamu nggak perlu tau.” Jawabnya ketus.
“Apa urusan kamu mengganggu kami?”
Pertanyaan Marni malah mengundang tawa memedi itu.
“Panggil aku Nyai Melati.” Kata memedi itu tiba-tiba.
“Tolong Nyai jangan ganggu anak saya lagi.”
“Itu salah kamu sendiri.”
“Kenapa?”
“Sediakan aku kembang melati setiap Kamis Kliwon, maka aku tak akan menampakkan diri lagi.”
“Tidak bisa nyai.”
“Maka aku juga tidak bisa meninggalkan kalian dengan tenang.”
Marni terdiam, ia tak tahu apa yang harus ia lakukan saat ini. Haruskah ia menuruti memedi itu atau terus diganggu olehnya. Ia bukan hanya mengkhawatirkan dirinya, melainkan putrinya yang juga terkadang diganggu.
“Piye nduk?” Tiba-tiba saja suara Mbah Uti kembali.
“Minta disediakan sajen kembang melati setiap Kamis kliwon mbah.”
“Dia itu peliharaan seseorang yang pernah datang ke rumah kamu, tapi ndak mau bilang siapa majikannya. Dia begitu karena majikannya marah sama kamu.” Terang Mbah Uti.
“Jadi saya harus gimana mbah?”
“Sementara kamu sediakan sajen untuk dia sampai kita tahu siapa majikan dia yang sebenarnya. Karena demit itu bisa mencla-mencle jawabannya.” Saran Mbah Uti.
“Yasudah. Untuk sementara saya ikuti dulu.”
“Iya…. Mbah tetap bantu kok. Nanti biar si mbah saja yang belanja setiap Kamis Kliwon sekalian belanja.”
“Iya mbah makasih.”
Bima datang berbarengan dengan Marni dan Mbah Uti yang sudah keluar dari kamar dan sekarang sudah ada di ambang pintu, mereka sudah menyelesaikan urusannya untuk saat ini.
“Loh cepet banget mbah.” Marini terlihat kaget.
“Perlu waktu Rin, masih ada yang perlu ditanyain. Mbah lagi coba bujuk” Jawab Mbah Uti “darimana Bim? Kok ngos-ngosan.” Sambung Mbah Uti yang melihat pemuda itu kembang-kempis dadanya.
“Dari kebun mbah, tadi aku yang nyuruh pulang buat jagain Hanum. Takutnya lama, galak dan alot.” Jelas Marini karena anaknya masih menstabilkan nafasnya.
“Nggak kok Rin, ini kayaknya abdi dalem. Cuma ya gitu, harus di rayu” kata Mbah Uti “yuk masuk aja. Hanum juga biar tenang.” Ajak Mbah Uti agar semua masuk ke dalam rumahnya.
Sekali lagi, mereka mendapat suguhan teh tubruk tawar khas Mbah Uti. Beberapa gorengan yang sengaja disisihkannya tersaji di atas piring beling berwarna coklat. Bima segera meneguk tehnya setelah meminta izin yang punya.
Sementara Mbah Uti mengambil satu gelas lalu ia membacakan do’a-do’a dan meniup gelas di tangannya, gelas itu sudah berpindah tangan kepada Hanum dan Mbah Uti meminta gadis itu untuk meminumnya.
“Yang sabar ya cah ayu. Insha alloh memedinya sudah nggak akan ganggu lagi.” Kata Mbah Uti pada Hanum.
“Iya mbah, terima kasih.” Sahut Hanum yang sudah meneguk habis teh yang diberikan Mbah Uti.
“Kalau gitu kami pulang dulu ya mbah, sudah mau dzuhur. Harus masakin bapaknya Bima nih.” Kata Marini pamit lebih dulu.
“Iyo wes. Semua pulang saja, insha alloh udah nggak apa-apa. Nanti misal terjadi lagi, kesini lagi aja ya.” Mbah Uti mengingatkan.
“Iya mbah. Terima kasih banyak.”
Semuanya bangkit dari duduknya dan bersiap untuk pulang ke rumah masing-masing setelah menyalami Mbah Uti yang sudah seperti nenek mereka sendiri. Semua sudah keluar kecuali Marni yang menyisakan dirinya sendiri untuk berterima kasih lebih banyak pada Mbah Uti. Tak lupa ia menyelipkan amplop untuk wanita tua itu sebagai rasa terima kasih meski tanpa diminta.
Kelimanya berjalan keluar dari pekarangan Mbah Uti. Marini dan Marni yang berjalan sejajar sepakat untuk pergi ke warung Bu Tejo dulu untuk melihat apa yang bisa dimasak hari ini. Bima dan Hanum mengekori langkah ibu mereka di belakang.
“Num, kamu pulang duluan ya. Ibu mau ke warung Bu Tejo dulu.” Kata Marni pada putrinya.
“….” Hanum hanya mengangguk menanggapi ibunya.
“Ibu juga ya Bim.” Marini juga mengkonfirmasi.
Bima juga mengangguk dan akhirnya mereka berpisah saat sudah tiba di warung Bu Tejo. Marni dan Marini mendatangi warung sementara Bima dan Hanum mengambil jalan yang berlawanan untuk pulang ke rumah masing-masing.
Bima melirik Hanum sebelum berpisah, ia mengangkat tangannya pertanda bahwa ia akan menghubunginya nanti. Sekarang yang perlu ia lakukan adalah mandi dan membersihkan dirinya. Hanum mengerti dan tersipu. Merekapun berpisah.
Sesampainya di rumah masing-masing, Bima segera menyegarkan dirinya dengan air dan membersihkan dirinya dari debu dan kotoran yang dibawanya dari kebun. Lain halnya dengan Hanum yang masih duduk di teras, ia sadar masih belum berani masuk ke dalam rumah.
Seperti janji yang sudah dibuatnya, setelah berpakaian lengkap dan mengoles tonner ke wajahnya, Bima segera menyambar ponselnya dan mencari kontak favoritnya. Ia mengusap ponsel pintarnya dan menunggu panggilannya hingga tersambung.
“Iya Bim….” Suara lembut yang selalu dirindukan Bima terdengar di seberang telepon.
“Kamu udah di rumah?” Tanya Bima.
“Iya tapi cuma di teras. Masih takut sendirian ke dalam. Ibu juga belum pulang.”
“Kok sama ya. Ibu juga belum pulang dari warung Bu Tejo” kata Bima yang memang ibunya belum ada di rumah sejak dirinya selasai mandi. Padahal itu waktu yang cukup lama untuk berbelanja “Aku ke rumah kamu ya.” Sambung Bima yang langsung berdiri.
“Mm.” Sahut Hanum dan langsung memasukan ponselnya ke saku saat sambungan telepon sudah berakhir.
Hanum masih menunggu di teras saat Bima datang menghampirinya, kaos biru muda dan celana hitam selutut membuatnya tampak bersinar. Seseorang benar-benar menjadi sangat berbeda di pandangan kita saat hubungannya pun berbeda, pikir Hanum.
“Kamu nggak liat ibu di warung Bu Tejo?” Tanya Hanum.
“Aku lewat rumah Tiar jadi nggak lewat sana.”
“Ibu kemana ya?” Hanum terus melongok ke arah jalan mencari ibunya yang tak kunjung datang.
“Aku juga nggak keingetan lewat warung Bu Tejo” kata Bima yang memang mengambil jalan pintas agar segera sampai untuk menemui Hanum “mau disusul aja?” Tanya Bima.
Anggukan mewakili jawaban Hanum yang segera bangkit untuk pergi ke warung Bu Tejo, namun sebelumnya ada hal yang harus ia kerjakan karena semalam sudah menginap di rumah Bima.
“Temenin aku matiin lampu dulu ya.”
Bima hanya tersenyum, ia langsung mengenggam tangan kekasihnya itu dan masuk ke dalam rumah yang baru dibuka saja kuncinya tapi pintunya masih tertutup rapat. Hanum membuka semua tirai dan mematikan semua lampu karena penerangan sudah tak lagi diperlukan.
Usai dengan semua tirai dan lampu, Hanum dan Bima berjalan keluar rumah dan kembali mengunci pintu. Keduanya berjalan bersama namun Hanum sudah melepaskan tangan Bima.
“Aku masih belum mau tetangga ngomongin kita.” Kata Hanum hati-hati.
Lagi-lagi Bima hanya tersenyum, ia berusaha mengerti perasaan Hanum saat ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments