Hanum terus berjalan menuju rumah, ia terus menyelidik keberadaan ibunya yang terasa janggal. Apakah ada yang salah dengan ibunya setelah kepulangan dari pekerjaannya di desa sebelah? Hanum masih bertanya-tanya.
Langkah Hanum terhenti di ambang pintu yang terbuka. Ia bertatapan dengan ibunya yang membuaka tirai pintu ke dapur. Dasternya, kuncirannya, dan juga kardigan yang dipakai. Semua sama… sama dengan, ibu yang tadi dilihatnya sedang duduk dari luar.
Hanum mendelik, ia menelan ludahnya sendiri. Semoga ini semua hanya mimpi, pikirnya sesaat. Akhirnya Hanum menoleh ke arah kursi tempat ibunya tadi sedang duduk tapi tidak ada. Kursi itu kosong.
PRANG!
Mangkuk yang dibawa Hanum jatuh dan isinya berhamburan, lantai semen itu menjadi basah dan kotor.
“Loh kamu kenapa Num?” Marni berlari menghampiri putrinya.
Hanum mundur beberapa langkah. Matanya masih melotot, ia tak tahu apa yang harus dikatakannya dalam situasu seperti ini. Mangkuk pecah yang tadi di bawanya mengundang Mang Asep dari luar.
Kini Hanum bersembunyi di belakang Mang Asep. Tubuhnya yang gempal cukup untuk tempat bersembunyi. Tapi sebenarnya apa yang perlu dihindari oleh Hanum?
“Neng Hanum kenapa?” Tanya Mang Asep.
“…” Tak ada jawaban dari Hanum.
Marni pergi ke dapur untuk mengambil, sapu, pengki dan lap untuk membersihkan kekacauan yang dibuat putrinya secara mendadak.
“Kamu kenapa sih Num?” Marni bertanya sekali lagi sembari mengumpulkan serpihan beling yang tercecer.
“I-ibu bukannya makan bakso tadi.” Hanum tergagap
“Bakso?” kening Marni berkerut, ia merasa tak melakukannya “orang ibu baru bangun. Habis wudhu, terus solat dulu.” Jelas Marni yang hampir selesai.
Kaki Hanum lemas, ia benar-benar tak memiliki tenaga untuk berdiri. Tubuhnya ambruk di belakang tubuh Mang Asep.
“Neng Hanum… Neng Hanum…” panggil Mang Asep melihat anak itu tak merespon.
Marni menghambur keluar rumah dan menghampiri putrinya yang terlihat pucat dan sok. Tubuh Hanum sangat lemas, ia terduduk dengan tatapan kosong yang mengkhawatirkan.
Tubuh Hanum mundur seketika saat Marni datang mendekatinya, ia menatap tajam wajah ibunya. Tajam dan waspada. Apakah saat ini yang ada di hadapannya adalah ibunya, benak Hanum. Ia terus beringsut menjauh dan malah kembali bersembunyi di belakang Mang Asep.
“Kamu kenapa Num?” Untuk ketiga kalinya Marni bertanya dengan nada yang tinggi kali ini karena frustasi.
Hanum terus menggeleng, matanya berkaca-kaca hingga akhirnya tangisannya pecah. Hanum menangis kencang, ia menangkupkan tangannya di wajah. Tak sanggup berkata-kata apalagi bercerita.
Mang Asep membantu Marni memapah Hanum ke dalam rumah, Hanum di dudukan di kursi tamu. Marni menuangkan air ke gelas untuk anaknya, ia berusaha membuat Hanum minum setelah tangisannya mulai mereda.
“Hanum ini ibu… kamu kenapa sih nak?” Tanya Marni untuk kesekian kalinya.
Tangisan Hanum mulai mereda, ia menerima gelas yang di sodorkan ibunya. Tapi Mang Asep masih ada disana, mungkin bantuannya akan diperlukan.
“Neng Hanum kenapa?” kini Mang Asep yang berusaha untuk mendapat cerita dari Hanum “ayo bilang sama Mang Asep.”
Perlahan Hanum mengusap air matanya yang mulai mengering, ia masih sesunggukan tapi sudah tak menangis. Gelas di tangannya sudah kosong, ia meneguknya sekaligus dan kini menuangkan lagi air untuk diminumnya.
“Ibu… ibu bukan ibu.” Kata Hanum akhirnya dengan gelas yang dibanting di atas meja.
Marni dan Mang Asep saling bertukar pandangan mencoba mengerti perkataan Hanum.
“Maksud kamu apa Num? Ini ibu, Ibu Marni, ibu kamu.” Jawab Marni yang menepuk-nepuk dadanya untuk meyakinkan Hanum.
“Tadi Hanum liat ibu lagi makan bakso disitu.” Tunjuk Hanum pada kursi di seberangnya.
Untuk kedua kalinya Marni dan Mang Asep bertukar pandangan, mereka lalu sama-sama menatap kursi rotan yang di tunjuk Hanum. Kursi yang bisa di duduki dua orang yang tepat berada di sebelah pintu dan membelakangi jendela.
“Kayaknya kamu kecapek an Num, makanya salah liat.” Sahut Marni menenangkan Hanum.
“Ibu… Hanum cukup sadar sama apa yang Hanum liat. Itu bener-bener ibu kok.”
“…” Hening. Tak ada yang menjawab.
Tak ada yang bisa menjelaskan tentang apa yang dilihat Hanum, hanya ia yang melihatnya. Marni dan Mang Asep sama-sama bingung.
“Mang Asep bikinin bakso yang baru ya.” Kata Mang Asep mencairkan suasana.
“Nggak usah Mang Asep, Hanum jajannya besok lagi aja.” Jawab Hanum lemas.
Hanum pergi meninggalkan Marni dan Mang Asep masuk ke dalam kamarnya, ia terduduk di tepi ranjang dan mengurut kepalanya yang cukup pening karena menangis. Sudah lama sekali Hanum tak menangis, tapi kejadian ini membuatnya tak bisa menahan tangis.
Sementara Mang Asep pamit untuk kembali berjualan, pelanggan lain pasti menunggu dan akan mengira ia libur berjualan. Marni ikut keluar untuk mengantarkan Mang Asep.
“Makasih ya Sep, kalau nggak ada kamu saya panik sendiri.”
“Iya Bu Marni sama-sama. Tapi memang ada yang aneh sepertinya.” Mang Asep menghentikan langkahnya tiba-tiba di halaman.
“Aneh? Apa?” Tanya Marni.
“Tadi pas Neng Hanum keluar itu nanya, ibu udah bayar? Orang saya baru bikin bakso buat Neng Hanum dan belum ada yang jajan” jelas Mang Asep “kayaknya memang perlu di cek.” Sarannya.
“…” Marni hanya terdiam memikirkan kata-kata Mang Asep.
“Kalau begitu saya pamit ya bu.” Akhirnya Mang Asep pamit dan kembali mendorong gerobak baksonya untuk berkeliling desa.
Marni duduk di undakan tangga menuju teras, ia benar-benar ada dalam kebingungan tak berujung. Ia terjebak dalam pusaran air dan sulit untuk melepaskan diri. Bagaimana bisa Hanum menyebut dirinya bukan ibunya.
Apakah benar-benar efek dari pekerjaan? Hari ini untuk pertama kalinya Hanum mengerjakan riasannya seorang diri. Tapi… tidak separah itu, pikirnya. Saat ia merias untuk pertama kalinya tak ada efek parah bahkan sampai berhalusinasi.
Kedua tangan Marni sudah ada di pelipisnya, ia sama peningnya dengan Hanum. Bahkan sakit kepalanya. Kemarin dan hari ini ia terbangun di jam yang tak biasa dan membuatnya pusing, sekarang putrinya yang meracau, akan ada apalagi nanti? Pikirnya.
Tak lama setelah mengurut pelipisnya, Marni bangkit. Langkahnya tertuju pada kamar Hanum yang ada di seberang ruang tamu. Ia mengintip sedikit di balik tirai bunga-bunga itu. Hanum terlihat masih melamun, ia masih duduk bergeming di tepi ranjang.
“Num…” Panggil Marni yang membuat putrinya terhenyak seketika.
“Ibu!” Suara Hanum agak tinggi.
“Kamu udah baikan?” Marni mulai mendekati putrinya dan duduk di sebelahnya.
“Belum bu.” Jawab Hanum jujur.
Tangan Marni merangkul tubuh putrinya, kini dua orang ramping itu tengah berpelukan. Membagi emosi melalui sentuhan, dan itu membuat Hanum kembali menangis. Marni membiarkannya, ia mencoba mengerti keadaan putrinya yang masih merasa tidak nyaman dan terkejut.
Sepuluh menit berlalu, Marni melepaskan pelukannya saat tangisan Hanum sudah mereda. Ia mengusap lembut punggung anaknya. Dan membiarkan ia tenang terlebih dahulu.
“Ibu buatkan teh dulu ya.”
Hanum hanya mengangguk. Kini ia sendirian di kamar setelah ibunya bangkit dan pergi keluar kamar. Tak lama setelah itu ia juga keluar dari kamar, ia duduk di kursi ibunya. Menatap lekat-lekat pada kursi di seberang tempat ia melihat sosok ibu yang sedang makan disana.
“Num…” panggil Marni lembut agar tak mengagetkannya.
“Ibu…” Sahut Hanum.
“Jadi apa yang kamu lihat?” Marni meletakkan teh hangat yang dibawanya diatas meja.
Terikan nafas panjang terdengar, Hanum melakukannya berulang kali sebelum ia memulai ceritanya. Meski sedikit takut.
“Jadi tuh Hanum tadi bangun kan karena denger suara mangkuk Mang Asep. Kan kita janjian mau jajan bakso, terus Hanum keluar kamar dan liat ibu lagi makan bakso. Disitu.” Tunjuk Hanum ke kursi yang ia maksud.
Jeda.
“Hanum agak kaget, kok ibu makan sendiri, kok ibu nggak bangunin Hanum. Tapi pas liat wajah ibu pucat, Hanum mikir lagi… mungkin ibu capek dan nggak mau bangunin Hanum. Akhirnya Hanum pergi sendiri keluar.”
Hanum berhenti dan menghirup teh yang dibuat ibunya.
“Hanum masih nggak mikir aneh-aneh. Tapi pas nanya sama Mang Asep ibu udah bayar baksonya atau belum, Mang Asep jelasin kalau dia baru ngeladenin pesenan Hanum. Itu artinya ibu nggak beli sama Mang Asep. Ini aneh bu.” Hanum berhenti.
“Tapi... Hanum masih mikir yang baik-baik. Mungkin ibu beli bukan dari Mang Asep. Hanum terus perhatiin ibu dari luar, dan nggak ada yang berubah. Hanum liat lewat jendela ibu masih duduk disitu. Pasti masih makan.” Hanum minum lagi.
“Terus Hanum udah bawa bakso dari Mang Asep dan liat ibu keluar dari dapur. Itu… yang bikin Hanum kaget. Nggak mungkin ibu ada di tempat yang beda bersamaan kan bu? Hanum bener-bener liat ibu duduk disitu.” Telunjuk Hanum kembali menunjuk kursi itu.
Marni menghela nafas panjang. Ia masih belum menanggapi cerita Hanum, yang pasti itu memang sangat mengejutkan dan membuat anaknya takut setengah mati. Dari ceritanya, itu bukanlah hal yang wajar terjadi.
Saat keheningan menguasai suasana, terdengar gebrakan pintu yang cukup kencang. Ternyata tangan Bima mendarat disana, nafasnya terengah-engah. Tangan yang lain memegang dadanya menandakan ia kekurangan oksigen.
“Duduk Bim.”
Marni menuangkan air yang langsung diminum Bima. Bima kelelahan, ia datang dengan berlari secepat yang ia bisa untuk segera sampai di rumah Hanum. Marni dan Hanum yakin ceritan yang terjadi di rumah mereka sudah tersebar hingga bisa membuat Bima lari kalang kabut.
Desas-desus warga bukan lagi rahasia, berita sekecil apapun akan segera menyebar dengan sangat cepat. Dan kali ini pembawa berita itu tak lain dan tak bukan adalah Mang Asep yang dengan leluasa berkeliling desa.
“Hanum sudah nggak apa-apa Bim.” Marni seperti sudah tahu tujuan Bima datang ke rumahnya.
“Iya… tapi kok bisa kayak gitu bude?” tanya Bima yang masih mengatur nafasnya.
“…” Marni diam tak bisa memberikan jawaban yang diinginkan Bima.
“Apapun yang kamu denger di luar sana, aku udah baik-baik aja sekarang.” Kini Hanum yang menenangkan Bima.
Marni membiarkan Bima dan Hanum berdua untuk lebih leluasa bercerita, sementara dirinya menyiapkan masakan karena ia dan Hanum tak jadi menyantap bakso siang tadi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
atin p
semangat
2021-10-08
1