“Num… kamu mau makan lagi nggak?” Tanya Marni yang mengagetkan putrinya.
“Eh… enggak bu kayaknya, masih kenyang.”
“Iya kan ya, tadi makannya kesiangan sama udah ngemil banyak. Ibu nggak masak lagi nggak apa-apa kan?” Tanya Marni lagi.
“Nggak apa-apa bu. Nanti kalau lapar Hanum bikin mi rebus aja.”
“Pinter anak ibu.”
Semoga ibu nggak denger suara jantung aku, gumam Hanum yang menhindari ibunya.
“Kamu bilang sesuatu Num.”
“Iya bu. Hanum yang duluan ke kamar mandi ya.”
“Ohh, yaudah gih.”
Hanum berusaha menghindari ibunya. Ia takut kalau-kalau ibunya bisa mendengar debar jantungnya yang kini tak karuan. Hari ini benar-benar luar biasa baginya, seketika peristiwa menyeramkan hilang dari pikirannya digantikan dengan kecupan kilat Bima di pipi kanannya.
Segera Hanum mengambil air wudhu, meski cukup enggak untuk mengusap tanda bibir Bima di pipinya dengan air. Tapi ia tak bisa berlama-lama di kamar mandi, ibunya tak boleh curiga. Hanum meninggalkan kamar mandi dan langsung menuju ke kamarnya untuk bersiap solat magrib.
“Gigi kamu sakit Num?” Tanya Marni yang melihat tingkah aneh anaknya dari kursi tamu dekat pintu.
“Hah? Nggak bu. Kenapa emangnya?” Hanum balik bertanya.
“Itu tangan kamu ada di pipi. Ibu kira kamu sakit gigi.”
“Bukan sakit gigi bu. Tapi sariawan, pas tadi siang nangis kegigit.”
“Haduh, hati-hati kamu. Pakai obat biru ya.”
“Iya nanti Hanum ambil habis solat.”
Hanum dan Marni mengambil langkah yang berlawanan saat meninggalkan satu sama lain. Hanum masuk ke kamarnya sementara Marni pergi ke bagian belakang rumah untuk berwudhu.
Kumandang adzan yang ditunggu akhirnya bergema di langit desa Kalijati, Hanum dan Marni dan juga seluruh muslim di desa itu menunaikan kewajiban mereka untuk bertemu dengan Tuhannya. Lima kali dalam satu hari.
Lagi-lagi anaknya bertingkah aneh, pikir Marni. biasanya Hanum akan keluar setelah selesai solat. Namun setelah menunggu beberapa lama sambil menonton TV, Hanum tak kunjung keluar yang akhirnya membuat Marni memanggilnya.
“Num… kamu lagi ngapain?” Tanya ibunya sedikit berteriak.
“…” Tak ada jawaban dari Hanum.
Tapi panggilan Marni terjawab oleh kehadiran anaknya yang keluar dari kamar dengan bando berwarna biru langit. Wajahnya sedang dilapisi masker yang membuat Hanum tak bisa berbicara selama beberapa saat.
Hanum menggerakan tangannya seakan berbicara dengan ibunya, tangannya mengisyaratkan ia belum bisa bicara.
“Yaudah iya. Lagian tumben maskeran…”
Tangan Hanum kembali menjawab agar ibunya tak berbicara lagi.
“Iya-iya, ibu diem deh.”
Lima belas menit sudah berlalu, Hanum pergi ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya hingga bersih. Ia menyambar baju pengantin setengah jadi dari lemari sebelum ia bergabung dengan ibunya yang sedang menonton stasiun TV kesayangannya.
Tangan Hanum terus bekerja sambil sesekali mencuri pandang pada TV yang ditonton ibunya, ia benar-benar berharap suara TV menyamarkan suara detak jantungnya. Karena Hanum merasa jantungnya terasa akan meledak meski ia terus menyangkalnya.
“Num…” Marni ingin memulai sebuah obrolan.
“Kenapa bu?” Tanya Hanum sambil melirik ibunya sejenak dan kembali pada pekerjaannya.
“Bingung ibu…” jeda “makanan di kulkas habis, tapi ibu juga nggak mau kalau kamu pergi ke warung Bu Tejo buat ambil belanjaan.”
“Emang kenapa bu? Hanum nggak apa-apa kok.”
“Agak malesin aja Num kalau denger orang-orang gosip di warung. Tadinya biar ibu aja yang ambil. Tapi besok ibu pergi ngerias, jadi pasti siang baru ada makanan.” Terang Marni.
“Nggak apa-apa bu. Cuma ambil belanjaan aja kan, besok pagi.”
“Benaran?”
“Iya bu….” Hanum memperpanjang ujung kalimatnya untuk meyakinkan Marni.
Marni tahu betul apa yang akan dihadapi Hanum jika ia pergi ke warung Bu Tejo, cibiran orang pasti tertuju padanya karena kejadian tadi siang. Ia tak mau putrinya merasa tak nyaman. Tapi Hanum meyakinkannya, lagipula cepat atau lambat Hanum harus menjalani kehidupan ini.
Kehidupan desa Kalijati yang selalu lebih sibuk dengan urusan orang lain dan lupa dengan urusan mereka sendiri, memang tak semua penduduk begitu. Hanya beberapa dari mereka.
Malam ini tak seperti biasanya, Marni sudah bersiap untuk tidur setelah adzan isya berkumandang. Ia pergi ke kamar mandi untuk wudhu dan membersihkan diri.
“Kok tumben bu?” Tanya Hanum yang heran karena tak biasa.
“Hari ini badannya agak nggak enak Num.”
“Kayaknya ibu kecapek an” Hanum teringat kondisi ibunya tadi pagi “yaudah ibu istirahat.”
“Jangan lupa kunci pintu ya.” Kata Marni sebelum hilang di balik tirai kamarnya.
“Iya bu…” Jawab Hanum.
Kebalikan dari Marni, Hanum malah tak bisa tidur malam ini. Otaknya terus mengulang-ulang kejadian tadi sore di kamarnya. Ia terus tersipu dan wajahnya terus merona. Untung Marni tak menyadari ini.
Mengerjakan payet yang tak kunjung usai adalah pelarian Hanum agar otaknya tak terus memikirkan lelaki yang juga sedang memikirkannya saat ini. Lelaki itu tengah memandang bulan yang sudah tak lagi bulat. Ia pun sama-sama terus memutar kejadian tadi sore di otaknya dan tersenyum sendiri.
“Masuk Bim, masuk angin nanti.” Pak Mahmud memperingatkan anaknya yang sejak isya tadi tak masuk ke dalam rumah dan malah memandangi bulan dari teras rumah.
“Iya pak.” Akhirnya Bima menurut dan masuk ke dalam rumah.
Jam sudah menunjukan angka 10, Hanum benar-benar tak bisa tidur. Pekerjaannya juga tak berjalan lancar, ia masih bertukar pesan dengan Bima. Jatuh cinta benar-benar membuatnya lupa pada dunia. Wajahnya terus berseri, sama seperti wajah berseri yang membalas pesannya di rumah yang lain.
Namun saat Hanum hendak membalas pesan yang dikirimkan Bima, tubuhnya tersentak kaget karena mendengar suara ibunya yang cukup keras dari dalam kamar. Hanum menghambur masuk ke kamar ibunya.
“Lepaskan… lepaskan…” Teriak Marni tak karuan dan menghentakkan kaki dan tangannya.
“Bu istigfar bu.” Hanum berusaha membangunkan ibunya dengan menahan tangan dan kakinya. Sayang Marni belum bangun.
“Lepas… lepas…”
“Ibu… ibu…” Hanum terus memanggil ibunya untuk kembali sadar.
Menit berikutnya Marni sadar dari mimpi buruknya, itupun setelah Hanum membaca ayat-ayat suci secara terus-menerus karena tak tahu lagi harus melakukan apa.
“Bu… ibu…” panggil Hanum lirih, ia hampir menangis melihat wajah pucat ibunya dengan rambut acak-acakan dan nafas yang tersengal-sengal.
Tak ada jawaban dari Marni, ia hanya menghela nafas panjang berulang kali untuk menenangkan diri. Hanum menginggalkan Marni keluar kamar dan kembali dengan segelas air.
“Minum dulu bu.”
Marni menerima gelas yang disodorkan Hanum, ia belum bisa berkata apa-apa. Gelas itu kosong seketika dalam sekali tegukan. Marni benar-benar kelelahan meski dalam mimpi. Sudah lama ia tak bermimpi senyata ini.
“Ibu boleh minta lagi.” Kata Marni akhirnya menyerahkan gelas kosong itu pada Hanum.
Hanum segera bergerak keluar dari kamar dan menuangkan air dari teko yang selalu tersedia di atas meja tamu. Ia pun setengah berlari menghampiri ibunya.
“Pelan-pelan bu.” Ucap Hanum sebelum menyerahkan gelas pada ibunya.
Meski sudah diperingatkan, Marni tak bisa mengindahkannya. Sekali lagi ia meneguk habis air yang ada di dalam gelas dalam sekali tegukan. Marni masih memegang gelasnya, matanya memandang lurus menerawang.
“Bu…” panggil Hanum lagi karena khawatir.
“Kamu tidur lagi gih.”
“Ibu mimpi apa?”
“Nggak… kamu tidur aja.”
Marni jelas enggan mengatakan apa yang ada di dalam mimpinya barusan, terlalu aneh dan mengerikan untuk diceritakan pikirnya. Ia tak mau membuat Hanum menjadi tambah khawatir dan berpikir berlebihan.
“Hanum tidur disini ya sama ibu.” Pinta Hanum karena khawatir.
“Yaudah kalo itu mau kamu.”
“Hanum matiin lampu dulu nanti kesini lagi.”
Untuk kedua kalinya Hanum pergi keluar kamar, selain mematikan lampu ia juga memastikan jendela dan pintu terkunci. Terakhir, Hanum mematikan lampu dan masuk ke kamar ibunya. Ia berbaring di samping kanan Marni dan merapal do’a sebelum tidur.
Tak ada percakapan lebih lanjut diantara mereka, Marni sudah menutup matanya saat Hanum masuk ke dalam kamar. Ia benar-benar tak ingin membuat putrinya khawatir dan berpura-pura sudah tidur kembali.
DOR…DOR…DOR…
DOR…DOR…DOR…
Seseorang menggedor pintu, bukan mengetuk lagi. Suara dari pintu membuat Hanum dan Marni yang belum benar-benar tidur terbangun seketika. Mereka saling menatap.
DOR…DOR…DOR…
DOR…DOR…DOR…
Suara itu kembali dan kini membuat raut wajah Marni dan Hanum sekamin gelisah. Siapa yang menggedor pintu rumah mereka malam-malam begini.
“Bu…” Panggil Hanum sambil memegang tangan ibunya.
Hanum dan Marni masih bergeming, mereka duduk di atas ranjang tanpa tahu apa yang harus mereka lakukan. Haruskah mereka membuka pintunya atau tidak? Atau pura-pura saja tidak mendengar dan pura-pura tidur.
Kesalahan pada pengetikan mohon dimaklumi ya para pembaca online, terimakasih ❤️❤️❤️🍒🍒🍒
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
atin p
ngeri banget thor
2021-10-08
0
puTri Munin9
keren thor
2021-10-01
1