Sekembalinya dari sawah, Hanum dan Bima segera mencuci tangan dan kaki mereka di belakang rumah. Ada keran di luar yang memang di sediakan untuk membersihkan diri sebelum masuk ke dalam rumah.
Pintu dapur terbuka saat mereka mencuci tangan dan kaki, terlihat Marni dan Marini yang sedang mengolah singkong dari kebun Pak Mahmud yang belum selesai. Kali ini kedua ibu itu menjadikan singkong sebagai olahan yang dikukus, ketimus namanya.
Olahan yang paling disukai Hanum, ia senang memakannya dengan teh melati tawar hangat. Apalagi saat hujan turun dan memakannya di teras rumah.
Bima dan Hanum memasuki pintu dapur dan duduk di dipan, persis sama yang dimiiki oleh keluarga Bima. Karena memang Pak Mahmud yang membuatkannya.
“Ibu….” Hanum sudah bernani menyapa ibunya “ibu nggak apa-apa?” Tanya Hanum yang sebenarnya di dalam lubuk hatinya sangat khawatir.
“Ibu ndak apa-apa. Kamu gimana?” Marni bertanya kembali.
“Masih sedikit takut.” Jawab Hanum.
Semua orang di ruangan itu saling bertukar tatap, mereka mengerti keadaan Hanum.
“Kita angkat ini dulu, habis itu kita ke rumah Mbah Uti ya.” Kata Marini yang menunjuk panci diatas kompor.
“Kalian masuk aja gih. Kayaknya kemarin masih ada yang dikerjain buat ke kampus nanti.” Ungkap Marni yang menyuruh Hanum dan Bima menunggu di ruang tamu.
“Yaudah aku sama Bima masuk ya bu, bude.” Sahut Hanum.
Saat Bima dan Hanum melenggang meninggalkan Marni dan Marini, mereka kembali sibuk dengan olahan yang mereka buat. Sekalian untuk dibawa ke rumah Mbah Uti, supaya tak terlalu kosong tangan saat bertamu.
Bima dan Hanum yang datang dari arah dapur menuju arah yang berbeda, Hanum segera pergi ke kamarnya untuk mendapatan barang-barang persiapan kuliah. Sementara Bima langsung mendaratkan diri diatas kursi rotan dekat pintu.
Hamum kembali dengan alat tulis karton dan pita, dua kali bolak-balik sampai semuanya ada di ruang tamu. Hari ini mereka membuat papan nama yang belum sempat diselesaikan, sudah ada aturan dari kampus apa saja yang perlu mereka bawa.
Mereka berdua bergantian untuk solat ashar yang kumandang adzannya sudah mereka dengar saat merekan ada di sawah. Lalu keduanya kembali sibuk mengerjakan perintilan yang harus dibawa nanti hingga tak menyadari Marni dan Marini sudah ada diantara mereka.
“Kami berangkat dulu ya.” Marni pamit pada anaknya dan Bima.
“Hanum mau ikut bu.” Ujar Hanum yang langsung berdiri.
“Bima juga mau ikut.” Timpal Bima namun tak ikut berdiri.
“Yasudah kalau mau ikut, kerjaannya ditinggal dulu.” Marini melirik kertas-kertas Hanum dan Bima.
“Yaudah, sebentar diberesin dulu. Ibu sama bude jalan duluan, nanti kita susul.” Kini Bima berdiri dan mulai mengangkut kertas-kertas dan alat tulis untuk dirapikan.
“Kami jalan duluan ya.” Marni pamit dengan sekantong ketimus di tangannya.
Marini dan Marni melangkahkan kaki untuk meninggalkan rumah, mereka beriringan untuk menuju rumah Mbah Uti seperti yang sudah direncanakan. Sementara Bima dan Hanum harus merapikan pekerjaan mereka yang tak sampai 3 menit itu.
Usai kegiatan rapi-rapi, Bima dan Hanum segera menyusul ibu mereka dengan langkah setengah berlari agar bisa mensejajari keduanya.
“Bapak kemana bu?” Tanya Bima yang tak melihat ayahnya sejak tadi.
“Lagi pulang ke rumah. Ada tamu tadi nelpon.” Jawab Marini seadanya.
Langit sudah mulai berubah warna menjadi jingga ketika mereka hendak mendatangi rumah Mbah Uti. Mungkin sekitar jam lima. Dan terlihatlah rumah sederhana Mbah Uti yang terbuat dari anyaman bambu yang disebut bilik. Dinding yang di cat oleh abu itu mulai mengelupas dimakan usia.
Seorang nenek tua tersenyum ke arah empat orang yang berjalan mendekati rumahnya, nenek tua yang selalu dipanggil Mbah Uti itu sedang mengistirahatkan tubuhnya di bale yang persis ada di depan rumahnya.
“Tumben rame-rame.” Sapa Mbah Uti dengan senyum lebarnya yang menunjukan hilangnya beberapa gigi.
“Sugeng sonten mbah.” Kata Marni menyalami nenek tua itu, yang lainpun mengikuti Marni menyalami Mbah Uti.
“Ayok masuk.” Ajak Mbah Uti seperti sudah tahu keperluan dari kedatangan mereka sore itu.
Semuanya mengikuti Mbah Uti masuk ke dalam rumah tua itu. Meski tua, rumah itu masih kokoh dan terlihat sangat rapi dan bersih. Mbah Uti memang terkenal akan kebersihannya, itulah mengapa gorengannya tak lekang oleh waktu meski yang berjualan sudah berusia senja.
Mbah Uti tinggal sendirian, anak dan cucunya entah dimana. Setelah ketiga anaknya dewasa dan pergi dari desa, mereka sudah tak pernah terlihat lagi di desa. Mungkin sudah lupa dengan ibunya, atau juga mungkin sudah mati dilahap kejamnya dunia luar.
“Monggo diminum, seadanya.” Mbah Uti menyodorkan lima gelas berisi teh yang masih ada ampasnya. Teh tubruk khas Mbah Uti yang biasa ditemui di warungnya.
“Makasih mbah.” Hampir semua kompak menjawab bersamaan.
“Ini ada sedikit makanan buat mbah.” Marni menyerahkan jinjingan yang tadi dibawanya.
“Waduh…. Jadi repot Mar. Tapi si mbah makasih loh sudah dibwakan makanan.”
“Iya sama-sama.” jawab Marni.
“Jadi ada apa kesini?” tanya Mbah Uti “rame-rame lagi.” Lanjutnya.
“Ini mbah…. Marni, belakangan di rumahnya ada kejadian aneh. Ada memedi yang nyerupain Marni.” Kali ini malah Marini yang menjelaskan.
“….” Mbah Uti diam.
Semua tak ada yang bersuara dan fokus menatap Mbah Uti yang tiba-tiba saja menutup matanya. Mbah Uti berkomat-kamit tanpa suara, sesekali ia tersenyum entah kenapa. Sepuluh menit telah berlalu, Mbah Uti kembali membuka matanya.
“Ada memedi di rumah kamu Mar, tapi dia sembunyi. Nggak bisa mbah temui.”
“Terus saya harus gimana mbah?”
“Malam ini kamu nginep disini ya” saran Mbah Uti “siapa tau dia mau muncul.”
“Hanum juga ikut nginep disini ya mbah.” Pinta Hanum.
“Kamu nginep di rumah bude Marini aja ya cah ayu. Biar mbah obatin dulu ibu kamu.” Tolak Mbah Uti halus.
“Malam ini kamu sama bude dulu ya Num” Marini meraih tangan Hanum untuk meyakinkannya “terus selain nginep disini Marni harus apa lagi mbah?”
“Yo opo toh. Nggak ada, wes nginep aja Marni. Mbah insha alloh bantu semampunya, kalau ndak bisa nanti coba mbah bantu carikan jalan keluarnya.” Jelas Mbah Uti.
“Makasih banyak ya mbah.”
“Iya sama-sama. Kita kan hidup harus saling tolong menolong” pesan Mbah Uti “nanti kamu pulang habis magriban disini aja Rin.” Sarannya pada Marini.
“Iya mbah, tanggung sebentar lagi magrib.” Sahut Marini.
Kumandang adzan magrib yang ditunggu akhirnya tiba, sementara para perempuan bergantian solat, Bima pergi ke musholla sendirian. Celana panjang yang dipakainya tidak mengharuskan ia pulang terlebih dahulu untuk mengambil sarung, kalaupun perlu… musholla biasanya menyediakan sarung bersih di lemarin belakang.
“Eh Bim, nanti ibu nggak langsung pualng. Mau ke rumah bude Marni dulu, bilang sama bapak ya.”
“Kita bareng aja bu. Nanti pulang dari musholla Bima nyusulin ibu sama Hanum.”
“Yowes terserah kamu.”
Bima pun pamit dan menghilang bersama tenggelamnya matahari hari itu. Setelah semua selesai solat, Hanum berpamitan terlebih dahulu pada ibunya dan pulang ke rumah bersama Marini.
“Bude….” Panggil Hanum di tengah perjalanannya pada Marini “ini bude kan?” Hanum meyakinkan.
“Iya… ini bude.” Jawab Marini tersenyum “kamu masih takut ya?” Marini juga bertanya.
“Iya… Hanum ngerasa udah nggak percaya lagi sama orang-orang sekitar karena kejadian kemarin sama tadi.”
“Nanti nggak gitu lagi. Kita harus percaya sama Alloh, semoga dengan perantara Mbah Uti semua bisa kembali normal.”
Marini menggandeng tangan Hanum seperti anak TK. Ia berusaha menunjukan perlindungannya pada gadis tanpa ayah itu. Karena sudah mengenal Hanum dari kecil dan berinteraksi banyak, Marini menganggapnya seperti anak sendiri, sama seperti Bima.
Mereka sudah sampai di rumah peninggalan nenek Hanum, semua lampu masih belum menyala. Rumah yang tak dikunci itu dimasuki dengan mudah.
Saat Marini merapikan bagian dapur, ia menyuruh Hanum untuk membawa hal-hal yang diperlukannya. Baju, kaos dan ****** *****, sabun wajah, sikat gigi dan peralatan lain yang mungkin diperlukannya disana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
atin p
lanjutt
2021-10-08
1
riana el aisyah
lanjut kk,ngegantung ih
2021-08-26
1