Setelah ditinggalkan ibunya, Hanum kembali menceritakan persis yang ia beritahukan pada ibunya. Ia menceritakan setiap detail kejadian pada Bima. Ia juga memberitahunya tentang keresahan akan ibunya, Hanum takut hal itu akan terjadi lagi. Akan ada ibu lain selain ibunya.
“Kamu harus banyak berdo’a Num. Inshal alloh nggak akan kejadian lagi.”
“Tetep aja Bim, kalo kamu ada di posisi aku juga pasti sama kagetnya.”
“Itu sih pasti. Tapi ya… kita juga nggak tau bakal kejadian lagi apa nggak, yang penting minta perlindungan sama alloh.”
“Udah jelas itu mah.”
Bima mengganti topik obrolan agar Hanum tak mengingat kejadian aneh yang baru saja dialaminya. Mereka tenggelam dalam obrolan sekolah dan kampus, hingga tak menyadari keberadaan Marni yang sudah membawa beberapa piring berisi masakan.
“Makan disini ya Bim.” Ajak Marni sambil meletakkan piring berisi ikan mas goreng dan tumis toge tahu.
“Iya bude.” Bima sudah tak canggung lagi berada di rumah Hanum. Dulu juga begitu, tapi menginjak remaja ia menjaga jarak dari rumah Marni. Mungkin sedikit malu, tapi sekarang ia malah berharap bisa satu rumah lagi dengan Hanum seperti dulu.
Hanum membantu ibunya membawa perlengkapan makan siang mereka yang sedikit terlambat. Piring-piring dan gelas-gelas mulai ditata di tempatnya, nasi dan lauk pauknya juga sudah lengkap di atas meja.
“Yuk kita makan.” Marni memimpin do’a sebelum mereka menyantap makanan yang masih hangat itu.
Baru saja Bima hendak menyendok nasi ke piringnya, pintu terketuk. Itu Pak Mahmud dan istrinya, orang tua dari Bima. Mereka pun pasti sudah mendengar desas-desus dari warga hingga bisa datang kemari secepat ini.
Pada saat ini seharusnya mereka ada di rumah untuk membersihkan diri dan menyantap makan siang mereka sendiri. Dan selanjutnya beristirahat setelah pulang dari kebun.
“Sini mas, mbak sekalian makan” ajak Marni “geser Bim.” Marni meminta Bima untuk bergeser agar orang tua nya bisa duduk. Bima menurut dan tersipu saat duduk tepat di sebelah Hanum.
“Hanum nggak apa-apa?” Tanya Pak Mahmud tanpa basa-basi.
“Hanum nggak apa-apa kok. Kita makan dulu yu pakde.”
“Kita bersih-bersih dulu deh Mar.” Bu Mahmud beringsut dari tempatnya berdiri. Ia tahu betul dimana letak kamar mandinya. Mereka pernah tinggal setahun lamanya disini.
Sekembalinya Pak Mahmud dan istrinya dari kamar mandi mereka segera makan. Sudah lewat dari jam makan siang memang, namun makan bersama kali ini benar-benar terasa nikmat karena kebersamaan mereka.
Di sela acara makan, mereka bertukar obrolan dan kembali mengenang masa lalu. Banyak kisah-kisah lucu yang diceritakan saat mereka tinggal bersama. Hingga cerita Bima yang menangis karena tak mau pindah, dan Hanum yang mengurung diri karena teman bermainnya sudah tak ada lagi di rumah.
Tak terasa bakul nasi dan lauk pauk yang tersedia kini sudah ludes, teko air teh pun hanya menyisakan satu gelas terakhir untuk diminum. Satu per satu mereka bergantian untuk mencuci tangan ke kamar mandi.
Para perempuan terlebih dahulu supaya bisa merapikan meja tamu dan membersihkannya. Hanum dan ibunya mengangkut semua piring dan gelas kotor, Bu Mahmud tak sempat membantu karena pekerjaannya tak sebanyak itu.
“Maaar!” seru Bu Mahmud “kamu nih kok bisa teledor sih.” Bu Mahmud yang baru datang dari dapur menghampiri Marni.
“Kenapa mbak?” Tanya Marni heran dan tak tahu masalahnya.
“Ini loh” Bu Mahmud menyodorkan uang seratus ribuan pada Marni “naruh uang kok sembarangan sih.”
“Ya ampun.” Marni menepuk jidatnya sendiri dan menerima uang itu.
“Ini dari pelanggan yang datang tadi malam” Kata Marni sambil merapikan uangnya “aku pasti lupa simpen.” Lanjutnya.
“Pelanggan yang sama kayak kemarin Mar?” Tanya Pak Mahmud teringat wanita anggun yang bertamu di tengah malam.
“Iya.”
“Eh Mar, kok bisa sih minta dirias jam segitu. Kamu nggak aneh memang.” Malah Bu Mahmud yang mulai kekhawatiran dan kecurigaan.
“Memang aneh banget sih mbak. Cuma aku maklum aja kalau dia memang mau ada acara paginya.”
“Tapi waktu tidur ibu jadi terganggu dan berantakan.” Hanum menyela pembicaraan orang tuanya.
“Loh…” Marni tiba-tiba kaget dengan uang yang dipegangnya.
“Kenapa Mar?” tanya Bu Mahmud “aku nggak ngambil loh.” Sambungnya memberikan pembelaan kalau-kalau uangnya kurang atau hilang.
“Nggak kok mbak. Ini….”
“Kenapa lagi Mar?” Tanya Pak Mahmud karena Marni menggantung kalimatnya.
“Jumlah uangnya janggal. Biaya riasku itu lima ratus ribu, ibunya bilang mau bayar dua kali lipat. Dan dia memang bayar dua kali lipat tapi tambahannya agak aneh menurutku. Uangnya ada satu juta dua puluh ribu.” Jelas Marni yang masih memainkan uang di tangannya.
Semua orang yang ada di ruangan itu saling bertukar pandang. Entah apa yang ada di dalam pikiran mereka masing-masing, namun satu hal yag pasti mereka juga merasa aneh dengan hal yang disebutkan Marni.
“Kayaknya sih keselip aja bu. Nggak sengaja kayaknya ibu itu.” Kini malah Bima yang mencoba menetralkan suasana.
“Iya Mar, pasti keselip itu ibunya.” Tambah Pak Mahmud.
“Iya kayaknya ya.” Marni berusaha setuju meski hatinya tidak.
Dan sekarang mereka sudah kembali berkumpul di ruang tamu dengan suguhan kacang bulu yang sudah direbus Marni. Ia menambahkan sedikit garam sebagai penambah rasa pada kacang -kacang itu.
“Panen kali ini dapat berapa ton mbak, mas?” Tanya Marni pada Bu Mahmud dan suaminya.
“Sekitar 1,5 ton ya pak.”
“Kayaknya segitu Mar. Kemarin yang dibantu sama Hanum satu ton. Tadi sisanya kayaknya ada setengah toh.”
“Jadi udah selesai musim kacang ini?” Tanya Marni lagi ingin tahu.
“Iya udah Mar. Nanti kayaknya akan tanam brokoli dan tomat.” Jawab Pak Mahmud.
Desa Kalijati yang bisa disebut ada di kaki gunung memang memiliki tanah yang subur, hingga dengan mudah bisa ditanami tumbuhan yang cocok dengan udara dingin. Dan bercocok tanam merupakan mata pencaharian sebagian penduduk desa.
Kecuali beberapa orang seperti Marni. Selain tak punya lahan, Marni juga tak punya keterampilan untuk berkebun.
Setelah panjang lebar bercerita kesana kemari tak terasa waktu sudah ashar. Pak Mahmud dan istrinya memutuskan untuk pulang, sementara Bima tetap tinggal dengan alasan untuk membahas masalah ospek di kampus mereka nanti.
Pak Mahmud dan istrinya semakin menjauhi rumah Marni, mereka cukup berjalan kaki saja untuk bisa sampai ke rumah. Cukup renggang namun tetap bisa di jangkau dengan berjalan kaki saja.
“Pak… menurut bapak aneh ndak uang yang aku temui itu?” Tanya Marini istrinya. Yang ternyata hanya selisih satu huruf saja dengan Marni namanya.
“Aneh lah bu. Kalo keselip masa bisa rapi gitu.”
“Iya ya. Untung Bima ngerti dan bilang gitu sama Marni.”
“Kayaknya Bima juga ngerasa ada yang aneh tapi ndak bilang karena khawatir.”
“Iya pak. Yang bapak sama Bima lakuin udah bener, mereka nggak boleh diceritakan hal yang aneh-aneh.”
“kalau mereka tau pasti gelisah dan nggak karuan bu perasaannya. Apalagi cuma tinggal berdua gitu.”
“Yowes pak. Semoga nggak ada hal aneh lain yang terjadi sama Marni.”
“Bapak harap sih begitu bu.”
Percakapan yang sudah selesai berbarengan dengan waktu kedatangan Pak Mahmud dan Bu Mahmud di rumah mereka. Segera mereka melepas atribut kebun mereka dan kembali membersihkan diri.
Pak Mahmud tampak memandangi sebuah bingkai foto berukuran 4 R, ia menerawang dan melamun setelahnya dengan bingkai yang masih menempel di tangannya.
“Malah ngelamun pak. Ndang solat.” Marini yang muncul tiba-tiba mengagetkan suaminya.
Kini ia yang memandangi foto yang sudah diletakkan kembali oleh Pak Mahmud.
Sementara di warung Bu Tejo, Marni kembali menjadi bahan obrolan. Dan karena tokoh utama muncul, merupakan kesempatan bagus untuk mewawancarainya, benak Bu Tejo.
“Hanum nggak apa-apa kan Bu Marni.”
“Hanum masih sehat dan kecapean aja Bu Tejo” Jawab Marni tegas untuk memutus rantai pertanyaan “Saya mau pesen ayam potong satu kilo, kangkung 2 ikat, tahu 1 bungkus, tempe satu papan dan bumbu dapur sepuluh ribu ya Bu Tejo.” Cerocos Marni menyebutkan pesanannya.
“Buat besok dan saya ambilnya agak siang ya bu” Marni benar-benar tak memberikan Bu Tejo kesempatan untuk berbicara “Ini uangnya. Makasih ya bu.” Marni menutup kepentingannya dengan menyodorkan uang seratus ribu yang ia terima dari Bu Ambar tadi malam.
Marni kembali dari warung Bu Tejo dan melihat Hanum dan Bima yang masih menyiapkan peralatan ospek mereka yang kurang dari dua minggu lagi. Mereka sedang membuat papan nama dan atribut lainnya di teras.
“Besok lagi Bim. Sudah mau magrib, nggak baik magrib-magrib ada di luar.” Marni memperingatkan.
“Eh iya bude. Habis beres-beres Bima pulang.”
“Bentar lagi ya bu.” Sambung Hanum yang sebenarnya juga berat untuk berpisah dengan Bima.
“Iya. Di beresin ya.”
Setelah mendengar peringatan dari Marni, Bima dan Hanum segera merapikan pekerjaan mereka yang belum selesai. Semua perlengkapan di angkut ke dalam kamar Hanum dan diletakkan di atas meja belajar dekat jendela.
Cup. Sebuah ciuman mendarat di pipi kanan Hanum yang membuat ia mematung sampai tak mengedipkan matanya untuk beberapa saat. Ia benar-benar tak menyangka atas perlakuan Bima padanya.
Bima mencuri waktu dan ciuman itu saat Hanum sedang sibuk merapikan peralatan ospek mereka di meja belajarnya. Setan sedang bersama dengan anak muda yang jatuh cinta hingga lelaki lugu itu mampu melakukan hal yang tak diduga.
Antara harus marah dan senang, Hanum tidak tau. Mereka keluar tanpa sepatah katapun namun Hanum tetap mengantarkan kepulangan Bima sampai ke teras.
Kesalahan pada pengetikan mohon dimaklumi ya para pembaca online, terimakasih ❤️❤️❤️🍒🍒🍒
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Oras Karoma
awal awalnya kurang menarik tapi makin kesini mulai menyimak !
2021-10-11
1
atin p
blusing pipine hanum
2021-10-08
1