Hanum kembali dari dapur setelah mencuci tangannya, ia sama sekali tak menatap Bima sekalipun. Hatinya masih kesal dengan kelakuan dua gadis dari desa Kalibening itu. Mereka menyebalkan.
Namun memang sifat dasar manusia, Hanum menumpahkan rasa kesalnya pada Bima. Padahal bukan salah Bima jika gadis-gadis itu bersikap genit padanya. Hanum harus mengakui bahwa wajah tampan Bima memang semenarik itu, belum lagi tinggi badannya yang mencapai 1,8 meter membuat para perempuan mengidamkannya.
Meskipun terlahir di desa dan Bima tak pernah ke gym, tubuhnya terbentuk karena sering membantu ayahnya ke ladang atau memotong kayu bakar setelah ia beranjak dewasa. Kulitnya yang coklat karena sering berjemur menambah pesonanya.
Bima memang terlahir dengan ketampanan yang alami, semua orang memujinya. Wajah dengan rahang yang tegas, mata yang bersinar dan rambut lebat yang hitam. Maka tak heran jika kedua gadis tadi langsung jatuh cinta padanya.
Bagi Hanum yang telah tinggal bersamanya selama sepuluh tahun mungkin Bima biasa saja karena setiap hari bertemu dan tak ada keistimewaan yang berarti. Tapi sekarang, saat orang lain menatapnya dengan genit ia baru menyadari pesona dari pacarnya.
Ada rasa bangga yang disusul rasa sesal karena telah mendiamkan Bima, ini benar-benar bukan kesalahannya dan diluar kendali mereka. Hanum sadar betul yang harus ia kendalikan adalah perasaannya.
“Bim….” Hanum memanggil Bima yang masih mengunyah.
“Bentar lagi kita ngobrolnya ya…. Biar enak.” Jawab Bima mengangkat piringnya yang hanya tinggal sesuap dengan senyuman yang menghipnotis.
“Ok.” Hanum mengerti.
Karena Bima sudah memberi isyarat bahwa ia tak akan menambah porsi kedua, Hanum mulai merapikan meja tamu seperti biasanya. Ia mengangkat semua makanan serta piring dan gelas yang tak terpakai agar meja kembali rapi. Kecuali empat gelas yang selalu tersedia di atas meja dengan satu teko bening.
Bima yang sudah selesai mencuci tangannya bertemu dengan Hanum yang merapikan piring terakhir ke dapur.
“Kita ngobrol di teras ya.” Ajak Bima pada Hanum yang dijawab dengan anggukan.
Mereka berjalan beriringan menuju teras, namun langkah Hanum tiba-tiba berhenti. Ia teringat dengan ibunya. Langkahnya berbelok menuju kamar ibunya dan sedikit menyingkap tirai untuk mengintip keadaan ibunya.
“Gimana?” Tanya Bima saat Hanum menutup kembali tirai kamar ibunya.
“….” Hanum menggeleng.
Mereka berdua kembali berjalan menuju ke teras dan duduk di atas kursi rotan panjang usang peninggalan nenek Hanum. Keduanya duduk bersebelahan menghadap ke halaman dan jalanan di depan rumah.
“Aku minta maaf ya.” Ucap Hanum langsung pada inti obrolan yang ingin ia sampaikan kepada Bima.
“….” Bima memalingkan wajahnya dari jalanan ke wajah Hanum dan tersenyum.
Hanum yang juga menatap wajah Bima mengerutkan dahinya, ia merasa Bima tak memberikan jawaban yang diinginkannya.
“Kok senyum doang. Lebar lagi.” Kata Hanum cemberut.
“Karena aku bahagia.” Bima mencubit pipi Hanum yang lentur.
“Bahagia bikin aku kesel?” Hanum masih cemberut dan bertambah ketus.
“Bahagia karena dicemburuin kamu. Aku seneng kalau kamu kesel cewek-cewek godain aku.”
“Ya kesel lah. Coba balik posisinya.” Hanum mengangkat alisnya juga menaikkan nada suaranya.
“Kalau posisinya dibalik aku nggak akan kesel….” Bima menggantung kalimatnya.
“Terus….”
“Aku langsung hajar cowok yang deketin kamu lah.”
Bima terkekeh dengan tinju di tangannya. Dan itu membuat kupu-kupu di perut Hanum kembali berterbangan meski wajahnya tampak masam dan marah.
“Udah dong… nggak usah ngambek lagi.” Rayu Bima dengan menyatukan tangannya di depan dada.
“Yaudah iya. Awas aja kalau berani lirik perempuan lain.”
“Nggak akan….” Bima meyakinkan “aku milikmu, sampai nanti… sampai mati” sambung Bima yang berbisik di telinga Hanum yang membuatnya tersipu.
Bima meraih tangan Hanum yang membuatnya mendelik. Lagi. Hanum malah melepas genggaman tangan Bima, ia beringsut menjauhi pacarnya itu dengan wajah yang kini menjadi tegang.
“Kenapa? Takut aku cium lagi?” Tanya Bima yang tertawa malu.
“Jangan bercandaan kayak gitu Bim ah. Nggak lucu tau” kata Hanum “kamu nggak tau apa… kalau sekarang kita sentuhan aku selalu kena aliran listrik.” Tambah Hanum.
Bima malah tertawa menanggapi komentar Hanum. Apa Hanum juga tidak tahu bahwa butuh nyali besar dan sedikit kekhilafan untuk bisa bersentuhan dengan gadis pujaannya itu.
“Yaudah iya… nanti lagi aku bakalan izin dulu kalau mau sentuh kamu. Tapi inget ya, empat tahun lagi aku udah bebas ngapa-ngapain kamu.” Ungkap Bima.
“Aku sih butuhnya bukti bukan cuma janji.”
“Aku pasti nepatin janji aku Num. Ini janji aku dari lama, aku kan udah pernah bilang kalau aku suka sama kamu udah dari lama.”
Hanum hanya tersenyum menanggapi ocehan lelaki di depannya ini, kini ia benar-benar sudah dewasa. Bukan lagi Bima kecil yang sering dilihatnya dulu. Ia mencoba meyakinkan diri untuk mempercayai semua perkataan kekasihnya untuk saat ini.
Siang itu mereka kembali tenggelam dalam obrolan. Kini keduanya lebih banyak membahas tentang ‘mereka’. Kuliah dan hal lainnya hanya menjadi bumbu obrolan. Hanum dan Bima benar-benar sedang dilanda asmara.
Kumandang adzan duhur menghentikan obrolan Bima dan Hanum. Bima pergi ke musholla dan dan Hanum kembali ke dalam rumah untuk solat. Hanum menuju kamar mandi untuk berwudhu dan kembali ke kamarnya.
Setelah selesai solat, Hanum kembali menengok keadaan ibunya dengan mengintip di balik tirai. Tak ada perubahan. Ibunya masih tertidur dengan tenang dengan selimut coklat muda yang membungkus tubuhnya.
Teras kini menjadi tujuan Hanum untuk menunggu Bima kembali, karena tadi ia pamit untuk kembali menemaninya. Tak sampai lima menit, sosok yang ditunggunya sudah kembali. Ia membawa minuman dingin dan beberapa ciki untuk menemani perbincangan siang mereka sambil menunggu ibu Hanum bangun.
“Jajan dari warung Bu Tejo.” Tanya Hanum yang melihat jinjingan di tangan Bima.
“Iya nih. Nanyain ibu kamu juga tadi.”
“Cuekin aja.”
“Iya…”
Mereka menikmati jajanan yang dibawa Bima, juga angin lembut yang membelai-belai wajah dan rambut keduanya. Bima merapikan rambut sebahu Hanum yang berterbangan manja di wajahnya. Ia menyelipkan helaian itu di kuping gadis kesayangannya.
“Deuh…. Yang lagi asyik pacaran.” Ungkap Mang Asep yang datang tanpa pemberitahuan.
Bima dan Hanum terkejut dan mereka menegang sesaat seperti tertangkap sedang mencuri sesuatu.
“Mang Asep datangnya nggak ketahuan kayak….” Bima tak menyelesaikan kalimatnya saat melihat wajah Hanum. Ia takut gadis itu ketakutan.
“Kayak setan….” Malah Mang Asep yang melanjutkan kalimat Bima yang mengundang tatapan tajam dari Bima “Neng Hanum nggak jajan?” Tanya Mang Asep tak peduli dengan tatapan Bima.
“Besok aja lagi, hari ini Hanum udah makan. Lagi jajan juga.” Hanum mengacungkan ciki yang ada di tangannya.
“Yaudah Mang Asep jalan lagi ya.”
Mang Asep mendorong gerobaknya menjauh dari halaman Hanum. Ia sudah siap untuk melayani pelanggannya yang sedang menunggu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments