“Ih ibu kok gitu.” Keluh Bima.
“Nah kan protes. Berarti emang ngerasa mau ada niat ke kamar Hanum malam-malam.” Sahut ibunya.
“Bude sama Bima lagi berantemin apa sih.” Tanya Hanum yang baru datang dari arah dapur setelah menyikat giginya.
“Bude hari ini tidur sama kamu ya Num.” Marini tidak menjawab pertanyaan Hanum malah menggiringnya menuju ke kamar.
Setelah meninggalkan Bima, Marini dan Hanum masuk ke dalam kamar Bima yang dominan berwarna putih. Mulai dari cat, sprei, selimut dan gorden. Keduanya kini sudah ada di dalam sana untuk beristirahat.
Marini langsung mengambil tempatnya, ia berbaring di dekat dinding. Sementara Hanum yang memang belum solat isya segera menggelar mukenanya dan terlebih dahulu menyelesaikan kewajibannya.
“Bude udah solat?” Tanya Hanum yang sedang bersiap mengenakan mukena dan menggelar sajadahnya.
“Udah. Tadi pas kalian pacaran bude udah solat duluan.” Jawab Marini.
“Bude….” Jawaban Marini membuat Hanum tersipu. Ia masih belum terbiasa saat orang lain mengetahui hubungannya dengan Bima.
“Nggak apa-apa dong. Udah kamu solat gih.”
Hanum melanjutkan kegiatannya untuk solat sementara Marini sudah bersiap untuk tidur dan mulai memejamkan mata. Setelah selesai solat dan merapikan mukenanya, Hanum mengaplikasikan krim di wajahnya lalu bersiap untuk tidur. Tak lupa ia mematikan lampu sebelum naik ke ranjang.
Kini tubuh Hanum sudah naik ke atas ranjang, ia berbaring tepat di samping Marini yang terlihat sudah lelap dalam tidurnya. Namun ternyata tidak, tangan dingin Marini mengusap lembut lengan Hanum.
“Bude harap kamu bahagia sama Bima ya nduk.” Ucap Marini lembut hampir tak terdengar.
“Makasih bude.” Hanum tersenyum dalam gelap, ia memiringkan tubuhnya menghadap ke arah Marini.
Di rumah Mbah Uti Marni diminta untuk tidur dengan nenek tua itu dan Marni tak keberatan. Mereka menggelar kasur di ruang tengah, kata Mba Uti begitu agar ia mudah menemukan memedi yang ada berkeliaran di rumah Marni.
“Sugeng dalu mbah.”
“Iya... Pokoknya banyak berdoa sama gusti alloh. Jangan takut, ada mbah disini.”
“Iya mbah.”
Marni dan Mbah Uti sama sama memejamkan mata untuk pindah ke dunia mimpi. Mereka terlelap dalam rumah tua yang hangat itu.
Malam berlalu, suara kokok ayam menandai datangnya fajar yang masih malu-malu untuk muncul. Para warga desa sudah memulai aktifitas mereka, para lelaki yang solat di musholla. Ibu-ibu yang sibuk memasak dan siap ke kebun, juga anak-anak yang sudah bersiap untuk pergi ke sekolah.
Pagi itu dapur Marini sudah sibuk dengan kegiatan memasak, Hanum ada disana untuk membantu meski hanya mengiris bawang dan memotong sayuran.
“Bude nggak ke kebun hari ini?” Tanya Hanum.
“Nggak Num. Lagian kemarau, belum mau ditanam apa-apa. Itung-itung istirahat lah” jelas Marini yang sedang mengaduk tumis kangkung di kuali “cicip Num.” pintanya menyodorkan sendok berisi kangkung dan kuahnya.
“Manja banget sih ibu ada anak menantunya” sela Pak Mahmud yang berdiri di ambang pintu dapur “biasa juga masak nggak pernah dicicip.” Sambungnya.
“Biarin. Sekarang ibu ada temen mainnya” elak Marini “kamu kesini tiap hari ya Num.” kata Marini dengan senyumnya yang lebar.
“Kok jadi rebutin Hanum bu.” Bima muncul di belakang ayahnya.
“Nggak di rebutin. Ibumu memang gitu kalau ada mainan baru.” Sambar Pak Mahmud.
“Ngawur bapak” protes Marini “ayok duduk, makan dulu. Ibu tinggal angkat kangkungnya.” Perintah Marini pada Bima dan suaminya.
Keempatnya sudah mengambil tempat duduk masing-masing, tentu saja Bima duduk di samping Hanum. Mereka menikmati sarapan pagi yang sederhana namun terasa nikmat seperti malam sebelumnya. Mereka juga kembali bertukar cerita di sela-sela sarapan.
“Makan siang mau dianter, dirumah opo piye pak?” Tanya Marini di tengah sarapannya.
“Bapak makan di rumah aja lah. Tapi masak dadakan ya bu.” Jawab Pak Mahmud setelah sedikit berpikir.
“Loh katanya istirahat ke kebunnya bude.” Celetuk Hanum yang keheranan.
“Pakde masih harus rapiin dan bersih-bersih sisa panen kemarin Num.” Jelas Pak Mahmud.
“Oh gitu. Hanum nggak terlalu ngerti soal kebun. Hehe.” Hanum tersipu.
“Nggak usah ngerti nggak apa-apa Num. Biar Bima aja yang urusin kebun, kamu nggak usah. Capek.” Sahut Marini.
“Iya…. Nanti kamu dirumah aja.” Kata Bima malu-malu.
“Hmmm sing wes ra sabar rabi….” Pak Mahmud manggut-manggut.
“Bapak!” Protes Bima malu.
“Gimana kalau kamu panggil pakde bapak dan bude ibu. Kita latihan dari sekarang jadi keluarga Num.” Usul Pak Mahmud.
“….” Hanum hanya tersipu tak memercayai pendengarannya.
“Iya…. Gitu lebih baik. Mulai sekarang kamu panggil bude ibu, ya.” Marini setuju dengan suaminya.
“Tapi … aku belum bilang sama ibu.”
“Nanti kita bilang sama-sama.” Sahut Marini tersenyum pada Hanum.
Semuanya bahagia. Terutama Bima, saat ini perasaannya melayang entah kemana. Ia lebih bahagia dari siapapun. Haruskah ia menikahi Hanum saat ini juga? Ia benar-benar sedang jatuh dan tenggelam dan kubangan cinta pada gadis yang ada di sebelahnya.
Sarapan yang diselingi obrolan itupun selesai, giliran Pak Mahmud dan Bima pergi ke kebun untuk membersihkan sisa panen kacang bulu. Sementara Marini dan Hanum yang sudah merapikan piring dan makanan mereka segera pergi menuju rumah Mbah Uti.
Marini dan Hanum berjalan ke arah rumah Mbah Uti, tampak warung di sebelah rumah sudah melayani banyak pelanggan seperti biasa. Mbah Uti menggunakan halaman samping untuk warung kecilnya. Disana juga tampak Marni yang sedang membantu dan kali ini terlihat lebih sehat dari sebelumnya.
“Sugeng enjang mbah.” Sapa Marini di depan warung.
“Sugeng enjang, wes tekan toh. Ayok sarapan gorengan. Mar ambilkan gorengan.” Jawab Mbah Uti yang langsung menawarkan sarapan.
“Makasih mbah.” Kata Marini dan Hanum bersamaan.
Marni mengambil beberapa gorengan untuk diletakkan di piring dan disuguhkan ke Marini dan putrinya. Marni mengambil beberapa gorengan untuk diletakkan di piring dan disuguhkan ke Marini dan putrinya. akantetapi Hanum memberikan isyarat pada ibunya yang diterima dengan sangat baik, hingga ibunya tak terlalu banyak menaruh gorengan disana. Hanum menepuk perutnya, menegaskan bahwa ia sudah sarapan.
Marini dan Hanum mengambil potongan gorengan yang disuguhkan untuk menghormati Mbah Uti, sementara yang punya sedang meladeni para pembeli yang terus datang dan pergi. Marni keluar dari warung karena pekerjaannya sudah selesai.
Mbah Uti sudah tidak mengolah gorengan lagi, ia akan menghabiskan gorengan yang saat ini di terjaja di meja warung. Setelah semua dagangan habis, Marni, Marini dan Hanum membantu Mbah Uti untuk menutup warungnya.
Kini mereka berempat sudah ada di kamar khusus di rumah Mbah Uti, tampak sesaji yang sudah disiapkan oleh nenek tua itu. Kini Mbah Uti duduk membelakangi dinding, ia berseberangan dengan Marni, Marini dan Hanum.
“Mbah nggak berhasil manggil dalam mimpi, dan dia juga nggak mau datang. Jadi harus mbah cari sendiri.” Kata Mbah Uti.
Tak ada yang menjawab Mbah Uti. Mereka cukup mengerti dengan perkataannya, itu artinya perlu usaha yang cukup keras untuk mencari sosok tak kasat mata yang menampakan diri di rumah Marni.
“Kalau sudah ketemu insha alloh mbah pindahkan ke tubuh mbah, nanti kamu bisa tanya sendiri Mar. Tapi ingat, jangan marah… dia akan tambah senang. Kamu harus terus dzikir.”
“Iya mbah.” Marni mengingat pesan Mbah Uti.
Mbah Uti kembali melakukan ritual yang sama seperti tadi malam, namun kali ini ada sesajen yang tersedia untuk memanggil memedi yang dimaksud Mbah Uti. Matanya terpejam dan mulutnya komat-kamit namun entah apa yang digumamkan nenek tua itu.
Tiba-tiba saja suara tawa yang melengking terdengar menggema di kamar kecil itu, semuanya mundur dan terus berdo’a dan berdzikir semau mereka. Bulu kuduk Marni, Marini dan Hanum meremang.
Ada kedatangan makhluk tak kasat mata disini. Semua bisa merasakannya. Tiba-tiba Mbah Uti bertingkah aneh, dia melipat kakinya dan duduk seperti abdi kerajaan. Wajahnya terus menunduk seperti orang yang sangat pemalu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments