“Bim… Num… makan yu.” Marini memanggil kedua remaja itu dari dapur.
Hanum dan Bima segera mendatangi sumber suara yang memanggil mereka. Sudah ada Marini dan Pak Mahmud yang duduk bersebelahan di atas dipan makan mereka. Masakan sudah tersaji dan mereka hanya tinggal mengisi perut.
“Ayok makan Num. Kamu pasti capek kan nangis terus.” Kata Marini menyodorkan piring pada Hanum.
“Iya bude makasih.”
“Makan yang banyak Num.” Tambah Pak Mahmud.
“Makasih ya pakde, bu… udah baik banget sama Hanum” kata Hanum yang mengundang tatapan sedih dari Pak Mahmud dan Marini “Hanum juga minta maaf kalau sekarang malah ngerepotin pakde sama bude.” Lanjutnya.
“Kamu ngomong apa sih Num. Nggak usah banyak dipikir, kamu inget apa yang dibilang sama Mbah Uti kan….”
“Sesama manusia itu harus tolong menolong.” Bima segera menyelesaikan kalimat ibunya.
“Tuh…. Bima aja yang ranking nya terakhir inget.” Sahut Marni.
“Sudah yuk makan. Nggak usah dipikir lagi ya cah ayu.” Kata Pak Mahmud menenangkan dan mengusap rambut Hanum.
Kini senyum Hanum mengembang. Dia memang merasa sangat tidak enak karena telah merepotkan keluarga Bima. Tapi tidak dengan mereka, dengan senang hari mereka merawat Hanum dan membantu kesulitan yang sedang terjadi saat ini.
Acara makan kali sangat nikmat terasa, mereka banyak menyelipkan obrolan dan bercengkrama satu sama lain. Masakan sederhana Marini sudah membuat semua orang menjadi bahagia.
Hanum membantu Marini merapikan makanan dan mencuci piring, sementara Bima dan Pak Mahmud pergi ke ruang keluarga untuk menonton TV. Ruang keluarga luas ini jika di rumah Hanum digunakan sebagai area salon tempat ibunya biasa merias.
“Sini-sini….” Pak Mahmud menepuk-nepuk lantai yang sudah di alasi karpet mengajak Hanum untuk duduk.
“Iya pakde.” Hanum menghampiri Pak Mahmud dan Bima yang sedang menonton acara sinetron sore. Ia datang dengan nampan teh dan ketimus yang dibuat ibunya tadi sore.
Pak Mahmud segera mengambil satu ketimus dan langsung melahapnya. Sama dengan Hanum, ketimus adalah makanan kesukaan Pak Mahmud. Ia juga meraih gelas tehnya yang masih mengepul dan menghirupnya perlahan.
“Aduh panas.” Keluh Pak Mahmud.
“Pelan-pelan toh pak. Orang itu air mendidih.” Canda Marini.
Acara TV terus berlangsung. Bima, Hanum dan Marinipun sama-sama menikmati camilan malam setelah makan malam mereka. Teh yang dibawa Hanum kini sudah tak sepanas tadi, tapi masih cukup untuk menghangatkan perut.
“Pak, bu….” Kata Bima tiba-tiba.
“Kenapa Bim?” Tanya ibunya yang masih mengunyah ketimus di tangannya.
“Aku mau ngomong sama bapak dan ibu.” Pandangan Hanum tertuju pada Bima.
“Ngomong aja, kok serius banget.” Sahut Pak Mahmud yang masih fokus ke layar TV.
“Aku sama Hanum pacaran.”
Kini keduanya menunduk menunggu tanggapan dari kedua orang tua ini yang sedang fokus dengan kegiatannya masing-masing. Pak Mahmud memutar kepalanya untuk melihat anaknya dan Hanum. Wajahnya menjadi serius.
Lain dengan suaminya. Marini terlihat santai dan masih mengunyah makanannya seolah tak terganggu dengan kata-kata anaknya.
Suasana masih hening, tak ada seorangpun yang bersuara kecuali Marini dan ketimusnya. Pakh Mahmud menatap lekat anaknya. Apa benar yang dikatakan anaknya ini?
“Apa iya Num?” Tanya Pak Mahmud hati-hati.
“Iya pakde. Baru dua hari.” Jawab Hanum jujur.
“Oalah, ibu kira sudah lama.” Sela Marini.
“Loh…. Ibu tau?” Pak Mahmud tambah terkejut dengan sikap istrinya.
“Ya iya dong pak. Masa nggak ngerti sama perasaan anak sendiri” Marini masih asyik mengunyah “ibu nggak apa-apa, asal kalian bisa saling menjaga satu sama lain.” Tambah Marini.
“Pantes ibu nggak mau jodohin kamu sama anaknya Pak Gondo.” Kata Pak Mahmud.
“Iya pak. Tolong bilang ya, Bima sudah sama Hanum” Kali ini Bima meraih tangannya Hanum dan menggenggamnya “Bima juga maunya nikah sama Hanum saja.” Sambungnya.
Pak Mahmud hanya manggut-manggut melihat anaknya yang sudah dewasa, mungkin selama ini ia kurang perhatian. Berbeda dengan Marini yang memang seorang ibu, kepekaannya lebih besar daripada suaminya.
“Kamu nggak apa-apa Num sama Bima?” tanya Marini “nanti di kampus banyak yang lebih ganteng loh. Yang lebih kaya juga ada. Lagian kamu cantik, mau-maunya sama anak ini.” Marini mengeluhkan anaknya yang membuat Hanum tersenyum simpul.
“Nggak tau bude. Tapi aku maunya sama Bima aja.” Kini senyuman Hanum tambah mekar.
“Ibu nih, masa anaknya dijelekin gitu.” Protes Bima.
“Ibu tuh sama-sama sayang sama kamu dan Hanum le. Sayang karena Hanum cantik, dia pasti bisa dapat yang lebih baik dari kamu. Sayang juga sama kamu karena takut patah hati ditinggal Hanum.” Jelas Marini.
“Hanum janji nggak akan ninggalin Bima bude. Tolong percaya.”
“Wes, anak muda memang belum tau apa-apa” kali ini Pak Mahmud angkat bicara “tapi apa nggak nikah aja?” Usul Pak Mahmud.
“Jangan pak. Biar mereka merasakan dulu masa muda. Kalau kebelet juga pasti mita dinikahin.” Jawab Marini.
“Bima maunya selesai kita kuliah baru nikah. Bima harus banyak belajar buat nerusin kebun bapak kan.”
“Kok bisa kepikiran kuliah buat jadi petani. Mending nggak usah aja.” Kata Pak Mahmud mengalihkan pandangannya kembali ke TV.
“Ilmu itu nggak berat dibawa pak. Semoga jadi manfaat.” Sahut Bima.
“Sudah pintar jawab ya sekarang.” Celetuk Pak Mahmud.
“Yaudah pergi ke teras gih. Ibu risih liat kamu senyum-senyum terus liatin Hanum, Bim.” Marini mengusir kedua anak muda itu.
Sejak obrolan mereka dimulai memang Bima tak bisa melepaskan pandangannya dari Hanum, seolah dia adalah karya seni terindah yang tak bosan untuk dipandangi. Marini mungkin sudah menayadarinya lebih awal. Saat makan malam, di rumah Mbah Uti, atau bahkan sejak pertama mereka membantu keluarga Hanum.
Pandangan dan perasaannya tak bisa disembunyikan dari seorang ibu. Kini Bima menggandeng tangan kekasihnya tanpa canggung di hadapan orang tuanya. Sekarang mereka hanya tinggal menunggu waktu untuk berbicara dengan Marni. Semoga ia pun tak keberatan sama seperti Marini dan Pak Mahmud, harap Hanum dan Bima.
Meski sudah menjauh dari ibu dan ayahnya, Bima dan Hanum tetap tak saling bicara. Hanya mata mereka yang terus berujar kata-kata cinta, sesekali mereka mamandang langit malam yang gelap berhias bintang dan bulan yang sudah tidak sempurna.
Bima juga sesekali menyelipkan rambut Hanum yang terurai karena angin di daun telinganya. Pemandangan malam yang indah.
Jam sudah menunjukan jam 8.30, Hanum bangkit dari duduknya dan mengatakan pada Bima bahwa jam tidurnya sudah datang. Ia harus menyikat giginya, membasuh wajahnya dan bertemu dengan penciptanya sebelum tidur.
“Ibu mau kemana?” Tanya Bima yang menggelar kasurnya di ruanga keluarga.
“Ibu mau tidur di kamar Hanum. Sekarang kamu jadi bahaya, ibu mau jagain Hanum.” Jawab Marini enteng.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
riana el aisyah
next next lanjut
2021-08-27
1