“Ibu….” Seru Hanum melihat ibunya yang sudah bangun dan menghampiri mereka “ibu udah mendingan?” Tanya Hanum bangkit dan menghambur ke arah ibunya. Ia mungkin terbangun karena suara mangkuk Mang Asep sebelum pergi.
“Ibu masih nggak enak badan Num.” suara Marni terdengar serak.
Hanum dan Bima segera memapah ibunya duduk di kursi miliknya, Hanum menuangkan segelas air untuk diminum ibunya. Marni menerimanya dan meneguk minuman itu sekaligus, ia mungkin kehausan.
“Yang kerasa apa bu?” Tanya Hanum memijat ibunya dari belakang sambil berdiri.
Marni hanya menunjuk bagian bahunya yang sakit, Hanum segera memijat bagian yang ditunjuk Marni. Bima duduk di seberang Marni dan Hanum, ia memperhatikan wajah Marni yang semakin pucat. Apakah ini hanya perasaannya saja?
“Ibu makan lagi ya.” Kata Hanum yang melirik jam dinding yang menunjukan jam 12.27.
“Nggak usah.” Jawab Marni lemah.
Saat itu juga mata Hanum dan Bima bertemu, keduanya sama-sama mengerutkan dahi dengan tulisan tak kasat mata yang jelas terbaca. Kenapa? Ada apa? Dan sedetik kemudian mata Bima terbelalak.
“Bude….” Seru Bima dengan mata yang tertuju pada ambang pintu kamar Marni disusul tatapan Hanum yang menoleh ke arah yang sama.
“Kalian udah pulang ternyata. Jam berapa selesai?” Tanya Marni yang berjalan menuju ke arah Bima dan Hanum.
“Aaaaaaarrrggghhh….” Teriakan Hanum yang menjawab pertanyaan Marni.
Hanum menjauhkan tangannya dari kursi milik Marni, kursi single itu. Ia terjungkal ke belakang dan terus beringsut mundur. Bima bangkit mendantangi Hanum, pun dengan Marni yang terkejut mendatangi anaknya yang terjatuh.
Tangan Hanum gemetar, ia menatap lekat tangannya yang telah memijat ibunya tapi bukan ibunya. Air matanya tak bisa dibendung lagi, Hanum menangis sejadi-jadinya di pelukan Bima. Ia berlindung dalam dekapan Bima dan tak sanggup melihat ibunya.
“Num istigfar Num….” Bima mengingatkan Hanum seraya mengusap lembut punggung Hanum yang terus berguncang karena tangisannya.
“….” Tak ada jawaban dari Hanum, yang ada tangisan yang semakin menjadi.
Marni yang tak mengerti situasinya saat ini hanya bisa mengerutkan keningnya dan bertanya-tanya, apa yang terjadi pada anaknya saat ini. Tangan Bima memberikan isyarat agar Marni menjauh dari Hanum saat ini, mulutnya juga ikut berbicara namun tanpa suara. Untuk saat ini Marni menuruti Bima dan perlahan mundur dan menjauh.
Setelah Marni menjauh dan duduk di kursi miliknya, Bima menggendong Hanum layaknya pengantin baru. Saat Bima menggendongnya, Hanum masih bersembunyi di dada bidang Bima. Hanum tak ingin melihat apapun saat ini.
Langkah Bima tertuju pada kamar Hanum yang berada di depan tepat berseberangan dengan ruang tamu. Ia menuju kamar itu dan menurunkan Hanum di atas ranjang, tapi tangan Hanum masih melingkar di leher Bima. Ia tak mau melepaskannya.
Bima membiarkan Hanum seperti itu karena ia tahu pasti kondisinya, Bimapun mungkin akan menangis kalau tidak takut Hanum menjadi khawatir. Namun saat ini ia harus menjadi lebih berani untuk Hanum. Tangan Bima mengelus lembut punggung perempuan itu, ia berusaha untuk menenangkannya.
“Num…. kamu istirahat ya.” Bima mulai melepas tangan Hanum dengan hati-hati.
“Aku takut Bim.” Kini malah Hanum yang menempel pada Bima dan tak mau melepaskannya.
“Ada aku disini. Sekarang kamu istirahat ya.” Ucap Bima lagi membaringkan pacarnya.
Tangan keduanya masih bertaut, Hanum tak ingin melepaskannya. Ia cukup takut untuk saat ini. Sudah dua kali kejadian ini terjadi, dan kini ia mulai tak tenang. Yang pertama mungkin hanya kebetulan, tapi yang kedua pasti lebih dari kebetulan.
Mata Hanum yang berat perlahan mulai menutup, menangis pasti membuat energinya terkuras hingga kelelahan. Kini Hanum sudah tenang dalam tidurnya. Bima berusaha mencari waktu yang tepat agar bisa melepaskan tangannya tanpa membangunkan Hanum.
Tak sampai sepuluh menit Marni menunggu Bima dan Hanum di kursi itu, ia melamun, menerka-nerka yang sebenarnya sedang terjadi pada anaknya. Bima yang keluar dari kamar setelah berhasil melepaskan tangannya dari Hanum tak disadari Marni.
“Bude…. Bisa kita bicara diluar….” Pinta Bima mengulurkan tangannya sebagai pegangan Marni.
Marni bangkit tanpa bertanya, ia meraih tangan Bima karena pening yang kembali menjadi saat melihat kondisi Hanum.
“Sebenarnya Hanum kenapa?” Tanya Marni tanpa basa-basi.
“Hanum di ganggu lagi bude. Sama seperti kejadian tempo hari, bahkan hari ini Hanum menyentuhnya. Waktu bude keluar kamar, di saat yang sama Hanum lagi mijat bude yang lain.” Terang Bima saat mereka duduk di teras rumah.
“….” Marni tak bisa menanggapi kejadian ini lagi.
Ini terlalu aneh, benak Marni. Mengapa kejadian aneh terus berulang di sekitar mereka.
“Bima juga nggak tahu dari mana asalnya, tapi semua ini pasti ada penyebab dan awalnya kan bude….” Sambung Bima menatap wajah Marni yang pucat.
Kini Marni mulai memikirkan semua kemungkinan yang ada akan serangkaian kejadian aneh yang menimpa dirinya dan Hanum, di rumah ini, rumah peninggalan ibunya.
“Bim, kamu pulang aja gih. Bapak sama ibu kamu pasti khawatir.” Kata Marni yang segan karena kebaikan keluarga Bima.
“Bima disini aja bude. Takut ada apa-apa.” Jawab Bima enggan pergi.
“Nanti bude telepon ya.” Marni mengusir Bima secara halus.
Akhirnya Bima menurut dan pamit, ia mencium punggung tangan Marni sebelum meninggalkannya sendirian di teras. Tentu saja, sebenarnya Bima masih khawatir, namun ia juga tak bisa menolak permintaan Marni.
Bima meniti langkah demi langkah untuk bisa sampai ke rumahnya, ia melewati rumah-rumah dan warung Bu Tejo yang ada di pertigaan jalan.
WIUW…WIUW…WIUW….
WIUW…WIUW…WIUW….
Suara samar-samar yang tadi di dengarnya semakin jelas, suara itu berasal dari halaman warung Bu Tejo. Ada ambulan yang baru saja meningggalkan halaman dan hanya meninggalkan jejak suara yang menggema. Para warga yang berkumpul di sekitar rumah Bu Tejo mulai membubarkan diri.
“Ada apa Bi Isti?” Tanya Bima pada salah satu warga.
“Bu Tejo sakit Bim.”
“Loh kayaknya pas aku jajan tadi masih baik-baik aja.”
“Kapan Bim? Orang ini udah rame dari setengah jam yang lalu, tapi ambulan memang baru datang.”
Bima mematung. Kalau Bu Tejo sudah sakit dari setengah jam yang lalu, lalu siapa yang meladeninya di warung tadi. Karena jika ia menarik garis waktu dari waktu ia belanja, pergi ke rumah Hanum dan kembali, itu hanya membutuhkan waktu 20 menit.
Bima masih bergeming, ia masih memikirkan bagaimana bisa dirinya tak menyadari keramaian warga jika mereka sudah ada sejak setengah jam yang lalu. Semua yang terjadi saat ini benar-benar semakin aneh.
Bukan hanya ibu Hanum yang bukan dirinya, tetapi sampai Bu Tejopun bukan Bu Tejo yang sesungguhnya. Pasti memedi, pikirnya.
Akhirnya Bima ikut meninggalkan halaman Bu Tejo dan kembali melanjutkan perjalanan pulangnya yang tertunda.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Oras Karoma
kayaknya udah mulai horornya ya !!!
2021-10-11
1
riana el aisyah
mana lanjutnya ini kk
2021-08-26
1