Malam itu sudah sangat larut, mungkin mendekati tengah malam. Suara burung hantu saling bersahutan dan suara jangkrik pun terdengar dimana-mana. Rembulan yang penuh bersembunyi dibalik awan yang mengambang di langit desa Kalijati. Desa yang hanya memiliki 25 rumah dengan 25 kepala keluarga.
Cahaya rembulan yang terang menyinari desa dan juga masuk ke gubuk pos ronda yang tak jauh dari gapura desa, gapura yang merupakan akses masuk utama menuju desa. Terlihat Pak Badar, Pak Mahmud, Bima dan Cakra yang tengah asyik menikmati ubi rebus yang dibawa Pak Mahmud.
“Ubinya manis banget pak.” Komentar Cakra yang sudah mengambil ubi ke3 nya.
“Iya Cak. Lumayan hasil dari kebun buat nemenin ronda biar nggak bengong.”
Saat semua makan, Bima sedang menyeduh kopi kemasan dengan air termos yang dibawa oleh Pak Badar. Memang para bapak-bapak sudah lebih berpengalaman untuk berjaga semalaman. Bima menyerahkan gelas sekali pakai pada Pak Badar, Pak Mahmud dan Cakra. Tak lupa ia megambil gelasnya sendiri dan segera menyeruputnya meski masih sangat panas.
“Alon-alon toh Cak.” Pak Badar memperingatkan.
“Kopi itu enaknya pas lagi panas pakde. Hehe.” Cakra menambahkan tawa tengil di ujung kalimatnya.
“Sakarepmu wae Cak.” Malah Bima yang menanggapi.
Jam sumbangan dari Pak RT yang bertengger di bilik pos ronda sudah menunjukkan angka 12 lewat 40 menit. Sudah saatnya mereka berkeliling untuk yang kedua kalinya. Kali ini Cakra dan Bima bertukar pasangan, pada patroli pertama Bima bersama dengan Pak Badar dan sekarang ia bersama Pak Mahmud. Pun dengan Cakra yang kini pasangannya adalah Pak Badar.
“Kami jalan dulu ya.” Pak Mahmud pamit dari pos ronda.
“Hati-hati Mas.” Sahut Pak Badar.
“Hati-hati pakde.”
“Iya.”
Pak Mahmud dan Bima mulai berjalan menjauh dari pos ronda, tubuh mereka menghilang di telan kegelapan dan sudah tak tampak. Sementara Pak Mahmud dan Bima berpatroli, Cakra dan Pak Badar berjaga di pos ronda, kalau-kalau ada yang perlu bantuan mereka.
“Permisi.” Dan suara yang perlu bantuan itu datang.
“Astagfirulloh.” Pak Badar yang membelakangi sumber suara itu terkejut bukan main.
Suara perempuan itu sangat lembut. Malam-malam ada yang datang ke kampung mereka adalah hal yang kemungkinannya 1 banding 1000,. Apalagi seorang wanita asing yang membuat raut wajah Cakra keheranan dan membuatnya terdiam sementara. Tak ada jawaban dari sapaan perempuan itu.
Dengan refleks Cakra melihat ke bagian bawah, memastikan perempuan yang masih dibelakangi oleh Pak Badar adalah manusia. Sudah dikonfirmasi, sosok yang ada di hadapannya masih hidup dan kakinya masih menginjakkan kaki di atas tanah.
“I-iya. Ada yang bisa dibantu bu?” tanya Cakra yang mencolek Pak Badar mengisyaratkan untuk menoleh.
“Saya sedang cari rumah Mbak Marni. Marni Darwati, rumahnya ada di desa ini kan?”
“Oh Bu Marni.” Sahut Cakra dan Pak Badar berbarengan.
“Kalau boleh tau ada keperluan apa ya bu?” Tanya Pak Badar.
“Saya ada keperluan pekerjaan dengan Mbak Marni, mau rias.”
“Ooohhh…” lagi-lagi Pak Badar dan Cakra menyahut berbarengan dengan mulut yang membulat mengerti tujuan dari perempuan yang ada di hadapan mereka.
“Bisa antar saya ke rumahnya.” Pinta perempuan itu.
Cakra dan Pak Badar bertukar pandang sesaat. Pos tidak mungkin ditinggalkan tanpa penjagaan, mau tidak mau salah satu dari mereka harus tinggal di pos ronda. Karena tidak mungkin juga menunggu Pak Mahmud dan Bima yang baru saja pergi untuk bergantian menjaga pos.
“Mari Bu ikuti saya.”
Akhirnya diputuskan bahwa Cakra yang mengantar perempuan yang sedari tadi berdiri menunggu keputusan siapa yang akan mengantarkannya.
“Kamu saja yang ikut saya, mobil saya ada di dekat gapura.”
“Baik bu.”
Cakra mengikuti langkah perempuan paruh baya yang membimbingnya menuju sebuah mobil mercy hitam yang sangat mewah. Perempuan bersanggul yang tidak memperkenalkan diri itu menyuruh Cakra untuk duduk di kursi depan bersama supirnya.
“Nanti kamu tunjukan jalannya ya.” Pinta perempuan itu lagi dari bangku belakang mobil.
“Iya bu.”
Mobil perlahan melaju memasuki desa yang masih lengang, setiap rumah memiliki halaman yang lapang dan jalan utama yang juga luas hingga bisa dimasuki mobil. Mobil melewati pos ronda yang dijaga oleh Pak Badar. Cakra mengarahkan supir untuk berbelok ke kiri dan memutar di ujung jalan.
Rumah Marni yang dituju tak sulit untuk ditemukan, hanya terhalang beberapa rumah dari gapura setelah melewati satu kali belokan. Setelah sampai di depan rumah dengan cat krem dan coklat tua, Cakra meminta mobil untuk dihentikan.
“Ini rumah Bu Marni. Kita sudah sampai.” Tunjuk Cakra dengan jempol tangnnya sembari menoleh ke arah belakang untuk memberi tahu.
“Terima kasih ya. Kamu boleh pergi.” Perempuan itu memberikan Cakra selembar uang seratus ribu sebelum ia turun dari mobil.
Setelah mendapat rezeki yang tak disangka-sangka, Cakra segera berlari menuju pos ronda untuk berbagi cerita dengan yang lainnya. Malam ini adalah malam keberuntungan, pikirnya. Hanya dengan menunjukkan alamat ia bisa mendapat uang secara cuma-cuma.
Cakra sudah menghilang dibalik tikungan saat perempuan dengan kebaya putih itu turun dari mobil. Kain jarik membuat langkahnya menjadi sangat tertata, benar-benar seperti putri kerajaan yang sangat anggun saat berjalan. Sanggul dan kebayanya juga sangat mendukung.
Sementara sang perempuan berjalan menuju halaman rumah yang dituju, ia menyuruh supirnya untuk menunggu tepat di dekat mobil tanpa pendampingan.
Pintu terketuk untuk ketiga kalinya saat tak ada jawaban dari sang pemilik rumah. Namun saat tangan perempuan itu hendak mengetuk pintu untuk yang ke empat kalinya, sebuah suara menghentikan tangan itu tepat sebelum mendarat di pintu kayu.
“Maaf… Ada keperluan apa malam-malam begini?” Tanya Pak Mahmud yang saat itu mengarahkan senternya ke arah pintu rumah Bu Marni.
Hening sejenak.
Suara berderit terdengar memecah keheningan yang sempat tercipta, pintu rumah terbuka saat tak sepatah katapun keluar dari mulut perempuan yang membatu atau Pak Mahmud.
“Saya mau di rias sama Mbak Marni.” Perempuan itu akhirnya bersuara.
Sementara yang disebut namanya masih berusaha untuk mengumpulkan seluruh nyawanya, matanya masih menyipit terasa sulit untuk dibuka untuk beberapa saat. Tangannya sibuk untuk menguncir helaian rambut yang berantakan.
“Saya mau di rias Mbak Marni” ulang perempuan itu “iya kan mbak…” ia pun berbalik ke arah Marni yang sedang mebenahi dirinya dan meminta persetujuan.
Marni yang sudah selesai dengan ikatan rambutnya segera sadar setelah mendapat pernyataan yang menembak dirinya seketika, ia pun tak bisa mengelak saat pekerjaannya dibawa-bawa.
“Oh… iya Pak Mahmud. Ini tamu saya, pasti kemalaman di jalan jadi telat sampai.” Jawab Marni untuk menghilangkan kekhawatiran Pak Mahmud. Meski ia belum yakin dengan situasinya.
Semua tampak mematung sesaat, Pak Mahmud belum beranjak karena belum yakin bahwa perempuan berkebaya itu adalah tamu yang ditunggu Marni. Marni juga belum berkata apapun karena masih mengawasi perempuan itu dan mobil yang terparkir di halamannya, tak mungkin ada perampok yang membawa mobil, pikirnya.
“Apa saya harus menunggu disini sepanjang malam?” bisik perempuan itu kepada Marni.
“Ah iya bu, silakan masuk” Marni mempersilakan perempuan itu masuk dan menghampiri Bima dan Pak Mahmud “tunggu sebentar pak, saya ada makanan buat yang jaga.”
Sesuai dengan permintaan, Pak Mahmud dan Bima masih ada di tempat sementara Marni kembali ke dalam rumah. Ia meminta waktu sebentar pada tamunya untuk mengantarkan sepiring keripik singkong yang digorengnya tadi siang.
Marni kembali keluar dengan piring di tangannya, ia bergegas mendatangi Pak Mahmud. Begitupun dengan Pak Mahmud yang tergopoh-gopoh mendatangi Marni agar ia tak perlu sampai keluar halaman.
“Jadi ngerepotin ini Mar.”
“Nggak kok pak, lumayan buat temen jaga” sahut Marni yang sudah memindahkan piring di tangannya ke tangan Bima “dimakan ya Bim.”
“Iya Bu Marni, makasih banyak.”
“Mar, kalau ada apa-apa telpon ya.” Bisik Pak Mahmud sebelum pergi.
“Iya pak pasti. Yaudah kalian patroli lagi.” Jawab Marni meyakinkan bahwa tamunya bukan orang yang berbahaya.
Pak Mahmud dan Bima meninggalkan Marni yang kembali ke dalam rumah, sementara sang supir masih bergeming. Ia berdiri dengan teguh dan kokoh di samping kiri mobil dekat pintu kemudi.
“Maaf ya bu jadi nunggu” ucap Marni saat ia duduk dan menuang segelas air dari teko yang ada di atas meja “apa betul keperluannya untuk dirias?” lanjut Marni sembari menyodorkan gelas bening ke hadapan tamunya.
“Iya betul. Saya ingin dirias seperti dulu.”
“Dulu?” Marni mengerutkan dahinya.
Keduanya masih terdiam. Marni masih memikirkan kapan ia pernah merias perempuan yang ada di hadapannya ini, ia tak memiliki ingatan itu. Dan ia pun sangat yakin tak pernah melakukannya.
“Dulu ibu kamu yang rias saya saat jadi pengantin.” Kata perempuan memecah kebingungan Marni.
Hening.
“Bu Ambar!” Seru Marni mengingat sebuah nama.
“Iya, saya Ambar Kusuma.”
“Tapi ibu sudah nggak ada Bu, sudah meninggal lama.”
“Itulah kenapa saya kesini. Saya mau kamu yang rias saya.”
“Untuk kapan?”
“Sekarang.”
“Sekarang? Tapi…” Marni melirik jam yang sudah ada di angka 1.
“Saya harus pergi ke acara.”
“…”
Marni tak menjawab. Ia tak tahu apa yang harus dikatakannya. Ini bukan jam yang lazim untuk meminta untuk dirias, apalagi ini pertama kalinya bagi Marni merias perempuan yang mengaku bernama Ambar ini.
Ingatan akan nama Ambar kembali saat Marni melihat tubuh ramping yang dibalut dengan kebaya putih rapi itu. Dua puluh tiga tahun silam, saat dirinya masih belajar untuk menjadi seorang perias dari ibunya, ia pernah mendatangi rumah Bu Ambar untuk melihat bagaimana ibunya saat bekerja.
Wajah Bu Ambar tak banyak berubah selain kerutan yang mulai tampai di lehernya. Tubuh dan wajahnya masih tetap muda, seakan ia baru bertemu dengannya kemarin sore.
“Saya kan pelanggan lama. Harusnya kamu tidak perlu banyak kekhawatiran.”
“…” Marni masih diam.
“Saya hanya perlu dirias sederhana, bukan riasan yang medok Mbak.” Bujuk Bu Ambar.
Marni bangkit dan mempersilakan Bu Ambar untuk duduk di kursi rias yang ada di belakang kursi tamu. Rumahnya sejak dulu tak berubah. Ibu Marni yang meninggalkan rumah dan salon ini untuk diteruskan Marni, ada tiga meja rias lengkap dengan kursinya.
Beberapa etalase terpajang sebagai rumah bagi baju-baju pengiring pengantin, sementara gaun-gaun untuk pengantin khusus digantung di lemari kaca dekat pintu ke arah dapur.
“Tunggu sebentar ya bu, saya ambil peralatan dulu.”
“…” Tak ada jawaban dari Bu Ambar.
Marni mengambil peralatan riasnya dan menyempatkan untuk mencuci wajahnya agar lebih segar. Ia kembali dari kamar mandi dan mulai merias Bu Ambar setelah terlebih dahulu membersihkan tangannya.
Dengan seksama dan hati-hati Marni memulai pekerjaan sebagai seorang perias yang telah digelutinya selama dua puluh tahun lamanya. Ia memoles wajah Bu Ambar yang sempat pucat menjadi kembali berseri.
“Ini sesuai dengan yang saya harapkan. Kamu memang bisa diandalkan.” Komentar Bu Ambar saat riasannya sudah selesai.
“Terima kasih bu.”
“Berapa untuk biaya riasnya?”
“Lima ratus ribu saja.” Jawab Marni.
Bu Ambar merogoh tas tangannya dan mengeluarkan lima lembar uang seratus ribu. Ia langsung menyerahkannya pada Marni yang masih berdiri di sisi kirinya. Setelah itu ia bangkit dan berjalan menuju pintu keluar.
Marni mengikuti langkah tamunya menuju pintu keluar, ia mengantar kepulangan Bu Ambar sampai ke depan halaman rumahnya. Marni menganggukan wajahnya saat mobil melaju tanda perpisahan.
Dengan hati yang lega namun sempat panik Marni kembali ke dalam rumah. Berulang kali ia menarik nafas panjang untuk menenangkan diri dari pengalaman anehnya malam ini. Marni kembali ke kamar, ia berbaring dan siap tidur setelah meletakan uang yang diterimanya di nakas kecil samping ranjang.
Cicit burung begitu riuh terdengar, desa Kalijati yang dikelilingi hutan dan perkebunan tentu saja masih menjadi tempat yang nyaman bagi hewan-hewan liar. Pagi ini matahari kembali bersinar cerah. Pertengahan bulan Agustus yang masih cerah tanpa curah hujan.
Namun pagi itu Marni bangun terlambat, bahkan ia melewatkan solat subuhnya. Ini hal yang tak biasa, begitupun dengan gelas yang masih ada di atas meja. Marni sudah tak sempat dan tak sanggup untuk membereskannya dinihari tadi.
“Siapa yang namu bu?” Tanya Hanum.
“Ada… orang.” Sahut Marni seraya menggeliat, badannya terasa begitu pegal.
Marni berjalan menuju ke arah kamar mandi yang bersebelahan dengan dapur untuk mencuci wajahnya dan bersiap untuk pergi belanja. Sementara Hanum masih duduk di meja tamu dan melanjutkan kegiatan memayetnya dengan perasaan yang masih penasaran.
Pertanyaannya belum terjawab dengan tuntas, ia masih merasa janggal dan perlu tahu siapa yang bertamu hari ini. Rasanya tak pernah ada tamu yang datang sepagi itu.
“Ibu ke warung Bu Tejo dulu ya.” Marni keluar dari kamarnya setelah merapikan diri. Kehadirannya mengejutkan Hanum yang sedang melamun.
“Iya bu.”
Hanum masih gelisah, pikirannya masih melayang pada tamu yang tak ditemuinya. Bahkan payet ditangannya ternyata tak bergerak, ia tak membuat perubahan pada kain brokat berwarna putih itu.
Dengan sekali gerakan Hanum menghempaskan baju pengantin setengah jadi yang ada di tangannya. Entah bagaimana masalah sekecil ini bisa sangat menganggunya, karena ini tak pernah terjadi. Perasaannya begitu kusut dan kalut.
Padahal, siapapun yang bertamu ke rumahnya tak pernah ia pedulikan. Siapa dan kapan tamu itu datang ia akan acuh. Apakah ini pengaruh dari hormon remajanya? Mungkin saja.
Tahun ini Hanum tamat dari SMA dan sedang menunggu untuk masuk perkuliahan awal bulan September nanti. Masa senggangnya ia gunakan untuk membantu ibunya, meski ia tak berniat untuk melanjutkan pekerjaan ibunya sebagai perias atau yang saat ini lebih dikenal sebagai Make Up Artist.
Bukan tak menyukainya, hanya saja ini sudah berlangsung lama. Ia melihat ibu dan neneknya sering merias wajah-wajah yang mereka tak kenal. Hanum merasa harus menyudahinya, dan akhirnya dia mengambil jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia untuk menjadi seorang guru.
Keriuhan sudah terdengar oleh Marni dari jarak lima langkah menuju warung Bu Tejo. Ini adalah hal yang paling biasa, ibu-ibu yang datang berbelanja juga sekalian mengobrol ria adalah pemandangan sehari-hari yang tak bisa terelakan.
Tampak Bu Asih, Bu Inem dan Bu Parti yang sedang memilah sayuran dan lauk lainnya saat Marni datang dengan senyuman seperti biasanya. Ia dikenal sangat ramah dan baik hati.
“Selamat pagi ibu-ibu.” Sapa Marni.
“Eh Bu Marni. Belanja apa bu hari ini?” tanya Bu Asih.
“Biasa aja, saya mau bikin tumis sawi sama goreng iwak asin.”
“Bu Marni, semalam dapat tamu yang spesial ya.” Sambar Bu Tejo yang berada di belakang dagangan.
Marni kikuk dan salah tingkah, ia tak percaya bahwa kedatangan pelanggannya di malam hari akan menjadi perbincangan di warung pagi ini. Dan yang lebih ia tak percayai adalah Pak Mahmud dan Bima tak mungkin menceritakannya, mereka bukan tipe lelaki yang suka bergosip.
“Oh …”
“Kata Cakra, dia saja di kasih seratus ribu loh cuma nunjukin rumah Bu Marni.” Sekarang Bu Parti yang ikut menimpali.
Helaan nafas Marni terdengar jelas. Tentu saja dugaannya pada Pak Mahmud dan Bima salah, tapi tidak pada Cakra. Dia hampir sama seperti ibunya, Bu Tejo. Senang sekali dengan urusan orang lain.
“Iya bu betul, pelanggan lama dan kemalaman sampai disini. Ibu tau kan kalau desa kita ada di ujung gunung, sulit dijangkau.” Marni masih menanggapi dengan baik-baik.
“Pelanggang dari mana bu?” Tanya Bu Asih yang penasaran.
“Dari kota” jawab Marni “tolong dihitung ya bu.” Marni segera menyerahkan belanjaannya dan sudah siap untuk membayar.
“Terima kasih.” Kata Marni yang sudah membayar dan menerima kantong belanjaannya.
Tak ingin menanggapi keingintahuan ibu-ibu yang ada di warung, Marni segera melenggang. Ia merasa tak harus menjawab semua yang ditanyakan ibu-ibu itu, kecuali Bu Inem yang tak bertanya.
Langkah Marni terus mengayun sampai ia sudah tiba di depan rumahnya, ia memasuki pintu yang setengah terbuka. Hanum tak terlihat, yang ada hanya baju pengantin yang belum jadi tergeletak di atas kursi tamu.
“Udah pulang bu.” Suara Hanum mengejutkan Marni. Kali ini Marni yang tenggelam dalam lamunan.
“Kamu nih ngagetin aja sih.” Marni berbalik dan menepuk halus pundak anaknya.
“Habis ibu ngapain berdiri kayak patung gitu, orang keliatan dari luar kok.” Jelas Hanum yang melihat ibunya berdiri cukup lama dari jendela rumah.
“Ini loh, ibu liat baju nya belum jadi…” telunjuk Marni terarah pada baju berbahan brokat itu.
“Ohh… iya bu. Hanum laper banget jadi ke warung Mbah Uti dan jajan ini….” Hanum menggoyangkan kantong plastik bening dengan alas koran “sarapan gorengan dulu aja bu, masaknya nanti aja. Ibu pasti cape.”
Marni yang sejak tadi berdiri akhirnya duduk dan meletakkan belanjaannya diatas meja, ia kembali menghela nafas panjang dan mulai mengurut keningnya yang berkedut karena cukup pusing dan kelelahan.
“Ibu nggak apa-apa?”
“Kamu denger apa di warung Mbah Uti?” Marni malah menjawab pertanyaan anaknya dengan pertanyaan.
“Katanya ada tamu malam sekali, terus Cakra bilang dia dikasih uang sama tamu itu karena ngasih tau rumah kita. Ini juga gorengannya di bayarin sama Cakra bu.” Jelas Hanum.
“Hufft…” Nafas berat Marni kian sering terdengar.
“Tamunya siapa bu?” Tanya Hanum lagi.
“Pelanggan nenek, dia minta di rias untuk acara. Yasudah ibu rias saja.”
“Ohh pantes” Hanum yang terduduk kembali berdiri “ibu makan dulu gorengannya, Hanum bikinin teh hangat ya.” Gadis itu pun bangkit dan meninggalkan ibunya.
Kepala Marni terasa begitu berat setelah kedatangan Bu Ambar, bukan karena pekerjaannya yang berat. Namun lebih kepada mengapa ia harus datang saat tengah malam lewat.
Apa Bu Ambar tidak tahu saat sesuatu yang kecil terjadi maka akan menjadi besar dan semakin besar di desa itu. Desa Kalijati adalah desa di ujung gunung yang masih sangat senang dengan rumor atau desas-desus yang terjadi pada warganya.
Bahkan saat ayah Hanum kabur, Marni harus menahan omongan warga yang belum tentu benar sampai enam bulan lamanya. Itupun karena ada salah satu warga yang anaknya hamil diluar nikah dan diusir. Jika masalah itu tidak ada, mungkin Marni masih menjadi topik pembicaraan.
Hanum datang dengan dua gelas teh melati yang di belinya di toko dekat sekolah, ia sangat menyukainya. Gelas pertama ia letakkan tepat di hadapan ibunya. Sedangkan ia masih memegang gelas lainnya untuk ia minum sendiri.
“Diminum bu… nggak usah dipikir. Disini kan emang kayak gini. Apa-apa juga jadi bahan gosip.” Hanum ternyata mengerti perasaan ibunya saat ini.
Senyum terlukis di wajah Marni, yang menandakan ia setuju dengan pernyataan Hanum. Yang lebih penting lagi ia merasa sangat beruntung dan bahagia menjadi ibu dari seorang anak yang mandiri dan pengertian.
Hanum tak menangis saat ayahnya pergi tanpa kejelasan, ia hanya berkata ‘Hanum sama ibu pasti bisa hidup bahagia’. Itu adalah obat dari kepahitan hidup yang dijalani Marni saat itu, hingga ia melupakannya dan terus bekerja agar bisa membiayai Hanum bagaimanapun caranya.
Gelas terangkat dan Marnipun menghirup teh yang masih mengepul, nikmat. Teh yang tak terlalu manis dan pisang goreng Mbah Uti adalah suguhan yang tak bisa ditolak. Perpaduan keduanya membuat ia tak membutuhkan makanan lain.
Makanan yang dibawa Hanum dari Mbah Uti adalah makanan legendaris desa, perempuan yang dipanggil Mbah Uti sudah menjual aneka gorengan sejak ia masih gadis dan bertahan hingga kini. Itu adalah usaha yang sangat hebat, kalau ibu Marni masih hidup mungkin ia akan seperti Mbah Uti, masih menjalankan usaha riasnya.
Ketukan pintu membuat Marni dan Hanum menoleh ke arah sumber suara, itu Bima. Ia mengucap salam setelah pemilik rumah menyadari keberadaannya.
“Mau ngembaliin ini bu.” Bimas menyodorkan piring beling berwarna biru hadiah dari deterjen.
“Oh iya Bim. Makasih ya.” Marni segera menyadari keperluan Bima.
“Sini Bim, gabung makan gorengan Mbah Uti.” Ajak Hanum yang memang teman satu kelasnya.
“Iya sini…” Marni juga mempersilakannya yang membuat Bima sulit untuk menolak.
“Sini-sini” Hanum menyuruh Bima untuk duduk sementara ia berdiri “harus ada tehnya…” lanjut Hanum yang melangkah menuju dapur.
Bima sudah duduk di kursi rotan yang dilapisi bantal tipis yang dijahit Hanum, supaya tidak terlalu sakit katanya.
“Kamu kuliahnya nanti dimana Bim? Bude belum tanya.” Ungkap Marni di sela acara mengunyahnya.
“Bima nanti ke kampus pertanian bude, lumayan ilmunya buat kelola kebun bapak.”
“Oalah, mulia sekali. Berarti nanti pisah dong ya sama Hanum.”
“Iya bisa dibilang gitu tapi nggak juga, kampusnya sama cuma jurusannya aja yang beda.”
“Kurang mudeng bude, maklum ndak mau belajar orangnya. Cuma bisa bikin orang cantik aja.”
“Ibu nih, makanya kalau aku ngobrol tuh di dengerin sampe selesai.” Hanum datang dengan segelas teh di tangannya.
Bima hanya tersenyum berada di tengah obrolan anak dan ibu itu.
“Nanti perginya bareng ya pas ospek.” Sambung Hanum yang menyodorkan teh dan duduk di sebelah Bima.
“Heem. Tapi masih lama kan…”
“Dua minggu mah mana ada lama, bentar tau…” Hanum kembali mengambil pisang goreng favoritnya.
Setelah selesai memakan beberapa potong pisang, ubi, tahu goreng dan bakwan, Bima pamit untuk istirahat karena kantuk sudah menyerangnya.
“Hati-hati nabrak pohon Bim.” Hanum memperingatkan Bima saat mengantarnya sampai teras.
“Iya, nggak usah khawatir Num.” Bima melambai sebelum benar-benar pergi.
Hamun kembali ke dalam rumah untuk merapikan meja tamu agar bisa segera kembali tenggelam dalam urusannya untuk memayet baju pengantin yang menunggu untuk diselesaikan.
Sementara Hanum merapikan rumah dan mencuci gelas-gelas kotor, Marni pergi ke kamarnya dan kembali tidur. Hanum membiarkan ibunya, mungkin ia memang kecapek an. Karena langka sekali kalau harus merias di tengah malam.
Setelah rumah peninggalan neneknya rapi, Hanum kembali pada pekerjaannya yang belum selesai, memayet. Kali ini ia pindah ke teras rumah agar bisa merasakan sejuknya udara dan terangnya sinar matahari.
Jam sudah menunjukan pukul 12 saat Marni terbangun, ia sangat kaget dan segera turun dari ranjangnya. Dilihatnya meja tamu yang juga meja makan mereka sudah tersedia makan siang. Hanum yang memasak.
“Hanum baru mau bangunin ibu.” Ucap Hanum yang keluar dari dapur dengan piring dan sendok untuk mereka makan.
“Maaf ya nak, ibu nggak tau kenapa bisa kebabalasan.”
“Nggak usah minta maaf bu, Hanum juga jarang kan masakin ibu.”
Memang, selama ini tugas memasak masih tugas Marni. Sesekali saja Hanum menggantikannya seperti saat ini. Atau saat Marni tak bisa kembali ke rumah tepat waktu saat harus merias.
“Duduk bu, kita makan.”
“Heem, ibu mau cuci muka dulu biar segeran dikit.”
“Yaudah.”
Hanum pun mengekori Marni menuju dapur untuk mengambil sentuhan terakhir makan siang mereka, teko kaca yang sudah diisinya dengan teh tawar hangat. Minuman yang bisa selalu menenangkan ibunya.
Hanum sudah lebih dulu meninggalkan dapur dan duduk manis di kursi rotan sambil menunggu ibunya kembali dari kamar mandi.
Marni kembali dan segera duduk di seberang anaknya, ia duduk di kursi rotan untuk satu orang, kursi yang sering digunakannya seperti itu miliknya seorang, selamanya. Ia mengambil piring dan menyendok nasi yang masih panas dan mengepul.
Belanjaan yang dibawa Marni tadi pagi dari warung Bu Tejo sudah berubah menjadi masakan seperti yang ia harapkan. Meski jarang membantu di dapur, Hanum cukup paham masakan apa yang selalu disajikan ibunya. Tumis sawi dan ikan asin goreng, tak lupa sambel bawang sederhana buatan anaknya.
Siang yang terik membuat makan siang hari itu sungguh sangat nikmat, keringat bertambah bercucuran saat sambel yang Marni dan Hanum makan ternyata sangat pedas. Tentu karena cabenya.
Cabe yang bisa mereka petik kapan saja di depan rumah. Meski sibuk dengan kegiatan merias, Marni tetap menyempatkan waktu untuk bercocok tanam di halaman rumah yang cukup luas. Beberapa tanaman obat dan sayur ada disana.
“Hari ini ibu nggak ada pergi-pegi ngerias kan.”
“Iya nggak, hari ini libur.”
“Hari ini Marni boleh main ya bu, ibu nggak apa-apa kan di rumah sendirian?”
“Nggak apa-apa, udah biasa kan.”
Hanum tersenyum, ia lupa kalau dia dan ibunya adalah orang yang sudah terbiasa hidup sendirian. Mereka bisa saling meninggalkan kapan saja, Hanum paham benar bahwa ibunya meninggalkan dia untuk mencari nafka untuk mereka, bukan hal lainnya.
Saat semua orang meragukan orang tua tunggal seperti Marni, ia cukup sukses untuk menyekolahkan anaknya. Bahkan sampai bisa menguliahkan Hanum. Ia bisa tersenyum bangga saat melihat anaknya tumbuh menjadi gadis yang baik.
“Num…”
“Kenapa bu.”
“Kamu kan belum beli tas baru, kamu boleh sekalian beli pas main nanti.”
“Nggak usah bu, yang lama masih bagus. Lagian Hanum cuma mau main ke kebun Pak Hamid, bantuin Bima angkut panenan kacang bulu.”
“Yaudah uangnya diambil buat ditabung ya.”
“Heem. Nanti aja ya bu, pulang dari kebun.”
Marni hanya bisa tersenyum kembali melihat putri kecilnya berubah menjadi gadis yang lebih dewasa, meski sebenarnya dia masih remaja.
Putri kecilnya kini sedang merapikan makan siang mereka yang sudah selesai, Hanum merapikan meja perlahan. Satu-persatu piring-piring dan gelas -gelas berpindah. Ia menyimpan nasi dan sisa makan siang mereka di nakas yang juga tinggalkan nenekknya untuk mereka.
Tak banyak perabotan yang mereka beli sepanjang ingatan Hanum, mereka tidak punya banyak uang sebanyak itu untuk dihabiskan membali perabot. Dan yang lebih penting mereka sudah memilikinya, beruntung sekali. Warisan dari nenek.
“Besok ibu ada panggilan rias ke desa sebelah, kamu mau ikut atau di rumah?” Teriak Marni agar Hanum bisa mendengarnya.
“Ya ikutlah bu. Lumayan ongkosnya bisa ibu tabung.” Hanum datang dengan buah potong di tangannya.
Kebiasaan yang sangat jarang dilihat di desa ini, makanan penutup setelah makan. Tapi kebiasann ini sudah ada sejak nenek Hanum masih hidup, ia sering melihat orang-orang yang di riasnya melakukan ini hingga menjadi kebiasaan.
Marni beranjak untuk mencuci tangannya sebelum menyentuh mangga dan apel yang sudah dipotong Hanum untuk mereka. Tak sampai setengah jam buah-buahan itu lenyap dari piring. Marni dan Hanum begitu menikmati waktu bersama mereka.
Tak akan lama. Setelah Hanum kembali kuliah, ia akan jarang ada di rumah. Sama seperti saat ia sekolah, mereka tak banyak memiliki waktu bersama seperti saat ini.
“Jam berapa kamu ke kebun Pak Hamid?” Tanya Marni mengingatkan janji anaknya.
“Kata Bima dia kesini jam 3 an biar agak teduh.” Jawab Hanum yang kembali sibuk dengan payet di tangannya.
Sementara Hanum sibuk dengan pekerjaannya, Marni mendatangi tempat ia biasa bekerja. Tiga bangku salon dan etalase baju-baju adat yang biasa disewakannya. Ia mulai dengan peralatan riasnya, ia merapikan dan memilahnya untuk ia bersihkan secara berkala dan tentunya saat ia punya waktu.
Tangan Marni lihat membersihkan meja, kursi, cermin dan etalase. Ia kembali melipat baju-baju yang sebenarnya sudah rapi, namun ia tetap merapikannya dan meletakannya sesuai dengan susunan yang menurutnya akan mudah untuk diambil.
“Assalamualaikum.” Suara Bima menghentikan kegiatan bekerja Marni dan Hanum.
“Waalaikumsalam.” Marni dan Hanum menjawabnya bersamaan.
“Masuk dulu Bim.” Tawar Marni.
“Nggak usah bu, langsung aja biar pulangnya nggak kesorean. Yuk Num.” Ajak Bima.
Hanum bangkit dan menghampiri ibunya, ia mencium punggung tangan ibunya. Bima menyusul di belakangnya dan melakukan hal yang sama.
“Yaudah hati-hati ya.”
“Iya bu.” Sahut Hanum dan Bima.
Bima memimpin jalan keluar dari rumah. Sepeda kumbang milik Pak Mahmud sudah menunggu di halaman. Kendaraan yang paling disenangi Hanum, kadang ia meminjamnya saat ingin bersepeda.
Tanpa arahan lagi Hanum sudah mengerti dimana posisinya, ia segera menduduki boncengan di belakang saat Bima sudah menaikan standar sepeda.
“Bapak udah di kebun Bim?”
“Iya, tadi berangkat duluan, aku bilang mau bawa bantuan. Haha” Bima tertawa, sedikit merasa bersalah seakan memanfaatkan Hanum. Tapi Hanum tak merasa seperti itu.
Mereka bersepeda menuju selatan desa, ada jalan keluar di ujung desa. Jalan yang cukup besar dengan pohon bambu di setiap sisi jalan yang membuatnya menjadi sangat teduh. Jalan ini bisa dilewati mobil untuk memudahkan petani membawa hasil bumi.
Hanum dan Bima menempuh perjalanan selama 15 menit saja, kebun Pak Mahmud tak terlalu jauh dari desa. Ia sudah menjadi petani sejak masih bujangan, tentu saja ia menuruni profesi orang tuanya yang juga petani. Sepertinya Bima pun begitu.
Sepeda berhenti, Bima harus menuntunnya menuju saung yang ada di atas bukit. Jalannya sulit dilalui jika ia menaikinya.
“Kok turun Num?” Tanya Bima saat Hanum mengikutinya turun dari sepeda.
“Sekarang aku udah berat Bim. Nggak enak kalo aku naik kamu yang dorong.”
Bima terkekeh, ini kali pertamanya Hanum merasa tak enak. Sebelumnya dengan senang hati dia akan duduk manis dan Bima mendorong sepeda saat jalan sulit dilalui. Masa sudah berganti. Hanum sudah jauh lebih besar dan berat sekarang, pikirnya.
Mereka berdua akhirnya sampai di saung, Pak Mahmud sudah ada disana dan sedang menikmati kopinya yang pasti sudah dingin.
“Ternyata ini toh bala bantuannya.” Sapa Pak Mahmud saat melihat Hanum datang bersama anaknya.
“Iya pak. Hanum mau bantu recokin aja biar nggak sepi.”
“Yaudah tolong ya Num.”
“Siap pak.” Hanum mengangkat jempol tangannya pertanda Pak Mahmud bisa mempercayakannya pekerjaan ini.
Puluhan kilo kacang kacang bulu sudah terkumpul di saung, tapi masih ada puluhan kilo lainnya yang tersebar di seluruh kebun. Dan merupakan tugas Bima dan Hanum untuk mengumpulkannya.
Hanum mulai berjalan menelusuri deretan bambu yang menjadi penopang kacang bulu, ia mulai memetik dan mengumpulkan sebanyak yang ia bisa. Satu per satu hingga terkumpul menjadi beberapa kilo.
Ia membawa hasil panennya ke saung yang mulai dirapikan Pak Mahmud untuk dibawa oleh ke bandar malam ini dan dijual besok subuh di pasar. Kebun Pak Mahmud memang tidak sampai sehektar, tapi cukup luas untuk menghasilkan beberapa ton kacang bulu.
Hari ini panen agak terlambat dan tentu membutuhkan bantuan ekstra karena tadi malam Pak Hamid dan Bima ronda. Panen pagi sudah dilakukan ibu Bima dan satu pekerja, estafet dilanjutkan Pak Hamid. Dan sekarang dibantu Bima dan Hanum.
Waktu terus merangkak maju hingga senja sudah hampir menjemput, matahari terus berubah warna menjadi jingga saat hendak menuju ke tempat peristirahatannya. Dan untungnya semua kacang sudah berhasil dipanen, meski ada beberapa yang terlewat tapi tidak banyak.
“Bapak mau ambil mobil dulu. Kalian udah hampir selesai kan.”
“Iya pa.” Sahut Bima membawa kacang terakhir di tangannya.
Bima dan Hanum membersihkan diri dengan air yang ada di penampungan dekat saung. Mereka mencuci tangan dan wajahnya yang dipenuhi dengan peluh. Sementara itu Pak Mahmud turun dari kebun dengan sepeda untuk membawa mobil yang akan membawa hasil panennya.
Setelah membersihkan diri dan menunggu sepeda kembali, Hanum dan Bima duduk di saung yang masih cukup luas untuk mereka berdua. Mereka duduk bersila dan berhadapan. Pandangan Hanum kabur ke belakang Bima, ia menikmati pemandangan yang menjulang tinggi.
“Makasih ya Num.” Kata Bima membuka obrolan
“Sama-sama Bim. Udah biasa ini.” Fokus Hanum beralih ke wajah Bima.
“Tolong diterima ya.” Bima menyodorkan sebuah kotak beledu biru tua yang sangat mewah.
“Apa ini?” Tanya Hanum seraya mengambil kotak yang ada di tangan Bima.
Hanum terdiam saat membuka kotak yang ada di tangannya, ia terkesima untuk beberapa saat hingga keheningan berada diantara mereka. Bima pun belum menjawab pertanyaan Hanum yang kini tak bisa mengalihkan pandangannya.
Pandangannya masih tertuju pada isi kotak kecil itu yang ternyata sebuah cincin dengan satu permata yang menghiasinya, sederhana dan cantik. Seperti Hanum.
Bima memang menyukai Hanum, ia sangat senang jika ada kesempatan untuk menghabiskan waktu dengan Hanum. Kapanpun dan dimanapun itu, dan ia senang bisa satu sekolah dengannya saat SMA.
Perasaan itu tentu saja tak serta merta muncul, mereka awalnya hanya teman bermain bersama. Sampai akhirnya masa pubertas itu menyerang Bima, dan kini perasannya tak bisa ditahan lagi.
Ia bahkan memaksa untuk mengembalikan piring berisi keripik yang diterimanya tadi malam dari Bu Marni. Itu merupakan alasan yang bagus untuk bertemu dengan Hanum di pagi hari meski dirinya mengantuk berat setelah ronda semalaman.
“Aku suka sama kamu udah dari lama Num, aku nggak pinter gombal kayak cowok lain. Tapi aku cuma bisa janji kalau aku nggak akan berubah dan aku maunya kita menikah setelah lulus kuliah nanti.” Jelas Bima menatap wajah Hanum yang kemerahan.
“…” Hanum diam. Masih tak tahu harus bereaksi seperti apa.
“Tapi…” Bima menyela mengira bahwa ia mendapat penolakan dari Hanum.
Tapi… sebelum Bima selesai berbicara, Hanum menyodorkan kembali kotak cincin yang ia terima. Hati Bima mencelos saat Hanum melakukannya. Ini sebuah penolakan pikirnya.
“Tolong pakaikan di jariku Bim.” Pinta Hanum.
Senyum tak bisa lagi di tahan Bima, jutaan kupu-kupu kini berterbangan di perutnya. Rasa bahagia yang membuncah tak bisa ditahan. Ia segera merebut kotak cincin dari Hanum dan melepas isinya.
Dengan hati-hati Bima meraih tangan kiri Hanum, ia menyematkan cincin di jari manisnya. Sangat cantik. Warnanya berkilauan sama seperti wajah pemiliknya saat ini.
Keduanya sama-sama tersipu. Mereka tak saling berkata-kata tapi tatapan mata mereka berdua mengatakannya, kami bahagia. Dan kami akan bahagia selamanya.
“Mulai hari ini kamu jadi pacarku ya Num.”
Hanum hanya mengangguk pelan dan tersenyum, ia terlalu malu. Ternyata cintanya tak bertepuk sebelah tangan. Kini semuanya sudah jelas bagi Hanum. Ia tak perlu mendamba lagi. Lelaki itu sekarang miliknya, meski baru menjadi pacarnya.
Karena ternyata selama ini Bima lah yang selalu mengisi pikiran dan hati Hanum. Ia juga sama bahagianya dengan Bima. Hari-harinya tak lagi diisi dengan kegundahan dengan memikirkan perasaan lelaki itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!