Sambungan telepon dari Bu Arum terputus, semua orang yang ada di ruangan itu bisa menengarnya karena Hanum menyetel mode loudspeaker.
“Sekarang kita bagi tugas ya” ujar Marini yang masih berdiri di sisi Pak Mahmud “bapak tetap ke kebun, Bima anter Hanum ke desa Kalibening, Hanum gantiin ibu buat rias, bude disini jagain ibu. Ya….” Jelas Marini dengan gerakan tangan seolah memotong kue di atas tangan lainnya.
“….” Tak ada jawaban.
“Ngerti semuanya.” Barulah setelah Marini menaikan nadanya satu oktaf, semua berdiri. Bersiap dengan tugasnya masing-masing.
Pak Mahmud kembali ke rumah untuk bersiap menuju kebun, sebelum kembali ke rumah ia mampir ke rumah Kurdi untuk menawarkan pekerjaan meladang hari ini. Karena memang Kurdi adalah salah satu pekerja lepas untuk pergi ke kebun.
Saat ia mendatangi rumah Kurdi, orangnya ternyata ada di rumah dan sedang memotong kayu bakar. Bersyukur hari ini dia juga tak ada pekerjaan dan bisa langsung ikut Pak Mahmu ke kebun untuk membantu.
Hanum kalang kabut menyiapkan kotak make up dan beberapa pakaian yang sebenarnya sudah disiapkan ibunya tadi malam. Ia merapikan dirinya sendiri, ini bukan saatnya untuk menangis apalagi menjadi lemah. Ia buru-buru menyambar jaketnya untuk melindungi diri dari angin pagi.
Sementara Hanum sibuk mengangkut semua peralatan yang dibantu Marini, Bima mengeluarkan motor Hanum dari gudang. Ia sudah ada di halaman dan mulai mengangkut barang-barang yang harus di bawa.
“Kalian hati-hati di jalan ya.” Kata Marini yang menganta mereka sampai halaman depan.
“Makasih ya bude. Tolong jaga ibu…. Maaf jadi ngerepotin.”
“Kamu fokus kerja ya. Bim… dijagain ya Hanum.”
“Siap bu.”
“Pokoknya kamu nggak boleh kepikiran apa-apa lagi. Bude yang akan jagain ibu kamu.”
“Iya bude. Kami berangkat ya. Yuk Bim….” Ajak Hanum untuk segera berangkat.
Motor matic hitam milik Hanum melesat menerjang kabut pagi yang masih belum hilang. Hanum dan Bima melewati jalan-jalan desa untuk sampai di Desa Kalibening, jaraknya 30 menit dari desa Kalijati.
Entah sengaja atau tidak, Bima melajukan motornya dengan sangat cepat. Hanum terpaksa harus memeluk Bima lebih erat meski ada koper diantara mereka. Namun dengan begitu Hanum tiba lebih cepat 10 menit dari waktu yang biasanya.
Kini mereka sudah mulai membongkar muatan dari motor dan membawanya ke dalam rumah. Bu Arum yang tadi menelepon sudah menyambut mereka dengan teh manis hangat dan sepiring ubi bakar.
“Saya turut prihatin ya Neng Hanum. Ibu sakit apa?”
“Pusing sama meriang aja bu. Saya langsung mulai aja ya.” Jawab Hanum tak mau membuang waktunya.
“Oh iya silakan.”
Hari ini sama seperti kemarin. Ada tiga anak yang akan dirias, mereka mengantri sama seperti anak-anak kemarin yang dilihat Hanum. Tapi ada yang berbeda kali ini, anak-anak seumurnya itu tak lagi sibuk dengan ponsel mereka. Perhatian mereka teralihkan.
Wajah Bima yang kecoklatan menjadi tontonan utama kedua gadis yang sebaya dengan Hanum dan Bima, mata mereka seolah tak berkedip karena terus memandangi Bima. Hanum kesal, tentu saja. Sekarang Bima pacarnya.
Namun Hanum tak bisa meluapkan kecemburuan dan kekesalannya, ia sedang bekerja saat ini. Fokusnya tak boleh teralihkan, hasil riasannya bisa gagal jika ia sesuatu yang lain berada di dalam kepalanya di saat yang bersamaan.
Seperti tak peduli pada pandangan para gadis, Bima mulai mencari-cari sesuatu yang bisa ia gunakan sebagai kipas. Ia melihat ada buku yang tergeletak dan mulai mengayunkan buku itu perlahan ke arah Hanum. Perlakuan Bima membuat Hanum tersipu sekaligus puas, ‘Bima itu punyaku’ gumamnya dalam hati.
Tak sampai disitu. Karena tangan Hanum sibuk dan tak sempat makan makanan yang disediakan Bu Arum, sesekali Bima menyuapinya. Membuat tatapan para gadis yang tajam menjadi semakin tajam. Sepertinya kini tatapan itu sudah berubah menjadi tatapan ingin membunuh.
“Sudah selesai kak, silakan ganti baju ya.” Ucap Hanum saat satu orang telah selesai ia rias. Setelah berganti pakaian ia membantu memasang beberapa aksesoris rambut dan menatanya.
Orang keduapun mengambil alih posisi orang pertama. Hanum kembali bermain dengan krim dan alas bedak untuk membuat orang yang ada dihadapannya terlihat berbeda. Dan… lebih cantik tentunya.
Goresan demi goresan Hanum bubuhkan di wajah gadis yang terus menatap Bima meski sedang dirias, ia sudah tak canggung lagi melakukan pekerjaan ini. Tangannya lihai dan terampil, tak ada keluhan.
Kini saatnya gadis ketiga merasakan sentuhan tangan Hanum untuk bisa membuatnya terlihat berbeda, ia duduk menghadap ke arah Hanum namun matanya tetap tertuju pada Bima yang duduk di samping Hanum.
“Tolong minumnya mas, aku haus.” Kata Hanum di sela sesi meriasnya.
Dengan cekatan dan senyum gembira Bima membantu Hanum untuk minum sejenak karena tangannya dipenuhi dengan palet dan kuas make up.
“Terima kasih sayang.” Kata Hanum lagi yang mengundang tatapan membunuh dari kedua gadis yang sejak tadi memperhatikan pacarnya. Sementara gadis pertama sudah pergi entah kemana.
Hanum melanjutkan pekerjaannya, tak lama lagi akan selesai dan ia segera membebaskan Bima dari tatapan gadis-gadis ini pikirnya. Dengan senyum palsu Hanum mengakhiri pekerjaannya.
“Sudah selesai kak. Silakan dipakai bajunya.”
Setelah selesai dengan tatanan rambut dan aksesoris, Hanum segera merapikan perlengkapannya dengan wajah masam. Hatinya sangat jengkel dengan kelakukan kedua gadis itu, untung tidak semuanya, guman Hanum.
“Apa yang untung?” Tany Bima yang mendengar Hanum menggerutu.
“Kamu pasti seneng kan diliatin cewek-cewek gitu.”
“Kamu pasti cemburu kaan….” Balas Bima sembari meledek.
“Hih…. Dasar….” Ocehan Hanum terhenti. Bu Arum masuk ke ruangan tempat mereka berada, tidak enak kalau harus bertengkar, pikir Hanum.
“Terima kasih banyak ya Neng Hanum. Kalau nggak ada kamu, berantakan pasti jadwalnya.” Kata Bu Arum.
“Sama-sama bu. Alhamdulillah saya bisa bantu.”
“Ini bayaran untuk hari ini.” Bu Arum menyerahkan amplop putih kepada Hanum.
“Bukannya satu aja ya bu?” Tanya Hanum heran karena mendapat dua amplop.
“Yang satu memang khusus dari Mbak Ayu.”
“Mbak Ayu?”
“Iya, tadi yang pertama kali di dandani. Dia ngasih lebihan Neng Hanum. Yang ini untuk paket bertiga seperti biasa.” Bu Hanum menunjuk amplop yang lebih tipis.
“Oh gitu…. Sampaikan terima kasih kami ya bu. Semoga nanti ada yang mau dirias lagi.
“Iya…. Salam juga buat ibu, semoga cepat sembuh ya.”
“Iya bu makasih. Kami pamit ya….” Hanum dan Bima yang sudah selesai berkemas segera meninggalkan kediaman Bu Arum. Kali ini juga dengan bingkisan makanan.
Motor melaju setelah Hanum dan Bima benar-benar pamit pada tuan rumah. Kali ini motor melaju seperti kura-kura, sangat pelan. Bima memang sengaja, ia ingin melihat reaksi Hanum atas kelakuannya. Lagipula mereka tak ada kegiatan lain yang harus dilakukan setelah pulang dari desa Kalibening sehingga Bima merasa tak terburu-buru.
“Iih. Sakit tau!” Seru Bima kegirangan.
Reaksi Hanum yang diinginkannya muncul, Hanum mencubit pinggang Bima yang membuatnya terkejut sesaat.
“Bisa cepet nggak sih jalannya. Aku mau buru-buru liat ibu.
Hanum benar, mereka harus cepat pulang. Cinta memang benar-benar menghilangkan akal sehat untuk sesaat. Bima lupa kalau Marni sedang sakit dan mungkin sedang menunggu mereka. Sementara ia juga hanya memikirkan perasaannya sendiri.
“Iya… iya.” Sahut Bima tak enak hati.
Dua puluh menit berlalu, Hanum dan Bima sudah sampai di halaman rumah. Mereka segera mengangkut semua perlengkapan rias ke dalam rumah. Langkah Hanum lebih cepat dari biasanya, ia sangat mengkhawatirkan ibunya.
Koper dan perlengkapan lainnya ia letakkan asal dan segera melesat ke kamar ibunya. Hanum melihat ibunya yang masih terbaring, ada Marini yang dengan telaten mengompres ibunya.
“Kalian sudah pulang.” Marini menoleh ke arah Hanum.
“Iya udah bude…. Ibu udah sadar?”
“Udah. Tadi sadar sebentar, makan terus tidur lagi.”
“Ibu bilang apa bude?”
“Nggak bilang apa-apa, tapi dia bilang khawatir banget sama kamu Num.”
Marini mendekati Hanum yang masih berdiri, ia mengelus halus rambut Hanum yang melihat ibunya dengan tatapan cemas. Marini mencengkram pelan bahu Hanum berusaha untuk menguatkannya.
“Yuk, kamu juga makan dulu. Bude sudah masak.”
Langkah Hanum bergerak karena memang tak ada yang bisa dilakukan untuk ibunya saat ini, ia juga tak enak jika harus menolak ajakan Marini.
Bima yang ternyata tidak ikut ke kamar malah membenahi peralatan make up yang di taruh Hanum sembarangan, ia juga sudah mengembalikan sepeda motor Hanum ke gudang belakang dan tak lupa mengunci pintunya.
Memang belum jam makan siang, tapi Marini berpikir bahwa Hanum dan Bima perlu pengisian energi setelah pergi ke desa sebelah untuk bekerja. Meski yang merias hanya Hanum saja.
“Kamu juga makan Bim, yang banyak….” Perintah ibunya seraya menyodorkan piring berisi ayam goreng untuk di tata di atas meja.
Hanum selaku tuan rumah pun tentu ikut membantu Marini untuk menata meja makan mereka siang ini. Kini meja sudah dipenuhi dengan makanan yang siap disantap. Bima mulai menyedok nasi dan menambahkan lauk. Ibunya memasak tumis kangkung, ayam goreng dan sambel tomat dengan mentimun sebagai pelengkap.
“Bude nggak ikut makan?” Tanya Hanum karena Marini hanya menonton mereka tanpa mengambil piringnya.
“Bude nanti aja, sekalian siapin buat bapaknya Bima” jawab Marini “Bim, kamu disini temenin Hanum ya. Ibu pulang buat siapin makan bapak.” Sambung Marini.
“Ok bu.” Bima mengacungkan jempolnya.
“Num, bude pamit ya. Kalau ada apa-apa panggil kami.”
“Iya bude. Makasih.”
Setelah Marini pamit dan pergi, kini hanya tinggal Hanum dan Bima yang masih melanjutkan kegiatan makan mereka dalam keheningan. Tak ada tegur sapa apalagi sebuah obrolan. Padahal mereka tak biasanya begitu.
Hanum yang hanya makan sedikit sudah selesai terlebih dahulu. Ia meninggalkan Bima untuk mencuci tangannya setelah meneguk setengah gelas teh tawar hangat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments