Saat Marni kembali ke ruang tamu, pada saat yang bersamaan Hanum menyingkap tirai kamarnya. Ia sudah bangun, seketika ia terjatuh saat matanya bertemu dengan mata ibunya.
“Hanum!” Seru Bima yang langsung mendatanginya.
Hanum bersembunyi di balik tubuh Bima, ada rasa trauma yang dirasakannnya. Sudah dua kali ia menemukan bahwa ibu yang di temuinya adalah bukan ibunya. Bima mengerti itu, ia membiarkan tubuhnya menghalangi pandangan Hanum terhadap ibunya.
Kini Marni mendekat dan berjongkok di dekat anaknya setelah meletakkan toples keripik di atas meja. Ia mengulurkan tangannya pada Hanum.
“Ini ibu nduk….” Kata Marni meyakinkan anaknya.
“….” Tak ada jawaban dan semua orang diam.
“Hanum duduk dulu yu.” Kata Pak Mahmud yang menghampirinya.
Pak Mahmud datang membantu Hanum untuk berdiri dan digiring untuk duduk di di kursi. Sementara Marini membantu Marni untuk kembali ke kursinya. Kini semua sudah duduk di kursi mereka masing-masing.
Hanum masih bersembunyi dibalik tubuh Bima. Ia tak berani lagi menatap wajah ibunya, ia hanya memandangi tangannya yang saling bertaut dengan jemari yang terus bergerak karena gelisah.
“Ini ibu Num….” Sekali lagi Marni meyakinkan anaknya tapi Hanum hanya diam tak menjawab ibunya.
“Hanum… itu ibu. Kamu nggak usah takut lagi.” Kata Marini yang duduk di samping Hanum dan mengusap rambutnya.
“Coba diurutkan Mar. Pasti ada yang nggak beres” Pak Mahmud akhirnya berpendapat “seumur hidup kamu tinggal disini nggak pernah ada kejadian kayak gini kan.” Sambungnya.
“Aku nggak yakin mas…. Mungkin setelah pulang dari desa Kalibening. Aku langsung sakit pulang dari sana.” Ungkap Marni.
Semua pandangan tertuju pada Marni seakan setuju dan meminta penjelasan lebih lanjut, bahkan Hanum melirik sekilas wajah ibunya yang diyakini memang ibunya. Karena wajahnya sudah tidak sepucat tadi dan suaranya sudah tidak datar dan dingin.
Semua orang menunggu penjelasan, Marni mencoba menggali ingatannnya tentang desa Kalibening yang didatanginya kemarin bersama Hanum.
“Memang sudah nggak wajar sejak awal Mar aku rasa” Ungkap Pak Mahmud “moso cuma riasan kayak biasa kamu langsung sakit.
“Kayaknya memang ada yang aneh.” Timpal Bima.
“Maksudmu Bim….” Tanya Marini.
“Aku nggak yakin sih bu. Tapi pas anter Hanum tadi pagi, jalanan ke rumah Bu Arum itu lewat hutan jati yang cukup serem. Aku nggak suka auranya.”
“Memang. Mungkin dari sana kamu diikuti Mar.” Pak Mahmud menyimpulkan.
Pak Mahmud yang terkadang punya urusan ke desa Kalibening mengetahui betul kondisi desa itu. Desa yang terkenal angker dan menakutkan, bukan hanya karena letaknya yang dekat dengan puncak gunung, tapi juga desa yang terkenal dengan penggunaan ilmu hitam.
“Tapi kayaknya masih ada yang janggal deh.” Marini punya pendapat sendiri.
“Apalagi?” Tanya Pak Mahmud.
“Aku ngerasa ada yang nggak beres aja mas.” Jawab Marini keukeuh.
Marini memang mempunyai kepekaan terhadap hal-hal gaib, namun entah kenapa saat ia mendatangi rumah Marni ia tak merasakan apapun. Dan kejadian aneh itu selalu terjadi saat ia tak ada, memedi itu seolah tahu tentang kepekaan yang dimilikinya.
“Sekarang ada baiknya kamu diobati dulu Mar. Kamu mau pulang ke Kebumen opo piye?”
“Aku nggak tau mas. Masih nggak karuan ini.”
Keluarga Marni, Pak Mahmud dan Marini memang berasal dari Kebumen. Mereka sudah lama di desa Kalijati ini karena orangtua mereka yang merantau dan bahkan ikut mendirikan desa di kaki gunung ini.
“Nanti sore kita ke Mbah Uti aja dulu.” Usul Marini.
Selain dikenal sebagai penjual gorengan dan orang yang dituakan, Mbah Uti juga dikenal sebagai ‘orang pintar’ di desa. Jika ada suatu keanehan terkait dengan hal-hal gaib, para warga akan mendatangi rumah Mbah Uti.
Semuanya kembali diam, suasana rumah tak lagi sama. Sekarang seperti ada awan mendung yang menggantung tepat diatas rumah. Sendu dan kelabu, apalagi bagi Hanum. Ia masih takut pada ibunya. Dan ia berharap Mbah Uti bisa membantu.
“Yasudah sementara kita semua disini dulu.” Pak Mahmud membuka suara untuk mengusir keheningan.
“Tapi kalian juga ada pekerjaan kan mas, mbak. Nggak bisa ada disini terus.”
“Nggak apa-apa Mar. Karena panen sudah selesai, kami bisa istirahat dulu.”
Marni tak bisa mengusir keluarga Pak Mahmud. Mereka merasa terlalu berhutang budi pada Marni hingga melakukan ini semua, terlepas dari pernyataan Marini. Itu juga ada betulnya, saat panen selesai mereka akan beristirahat sebentar untuk membuka lahan baru.
“Aku sama Hanum jalan-jalan aja ya ke sawah.” Kata Bima bangkit dari duduknya.
“Yaudah hati-hati. Jagain Hanum ya.” Sahut Marini yang juga berencana menghibur Marni.
Bima menggandeng tangan Hanum dan membawanya keluar dari dalam rumah, mereka berjalan ke utara desa untuk pergi berjalan-jalan menyusuri sawah yang sudah menguning. Beberapa sudah dipanen dan jerami bertumpuk disana-sini diatas sawah dan lahanya siap untuk dibarukan kembali.
Kini Bima dan Hanum sedang menyusuri pematang sawah dan menikmati suasana pedesaan dengan angin lembut yang bertiup. Hanum berjalan mendahului Bima di jalan setapak itu, sementara Bima mengikutinya dari belakang.
“Kamu nggak apa-apa?” Tanya Bima hati-hati.
“Mm…. tapi masih takut.” Jawab Hanum jujur. Ia memeluk lututnya dan menerawang.
“Jangan ngelamun.”
“Nggak kok. Cuma lagi mikir.”
“Ya diomongin, jangan disimpen sendiri. Kan ada aku disini, emangnya kamu nggak nganggap aku ada.”
Senyum Hanum merekah melihat tingkah pacarnya yang seperti anak kecil, cemberut dan merengek. Ia lalu mengusap pipi lelaki jangkung itu untuk menenangkannya, dan berhasil.
Keduanya kini tak lagi bicara, mereka hanya duduk bersebelahan dan menikmati tiupan angin dan suara riak air. Bima yang duduk di sebelah Hanum meraih kepala kecil gadis itu untuk disandarkan di bahunya.
“Nggak pegel apa Bim?” Tanya Hanum.
“Nggak.” Jawab Bima singkat.
Padahal Hanum tahu sekali saat ini Bima sedang memiringkan badannya untuk bisa mengimbangi posisi kepalanya. Ia menyadari perbedaan tinggi badan dirinya dengan Bima yang mencolok.
Hanum bertubuh mungil dan tak terlalu tinggi, kulitnya kuning dengan rambut lurus sebahu. Senyumnya manis dengan wajah bulat yang kecil. Wajahnya selalu terlihat lebih muda dari usia aslinya karena tubuhnya yang mungil.
Kepala Hanum terangkat, ia tak kalah sayangnya pada lelaki itu. Menopang kepalanya yang hanya beberapa kilogram itu pasti membuat bahunya pegal, apalagi dengan posisi yang tidak nyaman.
“Kok?” Bima memiringkan wajahnya.
“Kasihan pacar aku… nanti sengklek.” Sahut Hanum yang menepuk-nepuk lembut bahu Bima.
Lelaki itu tersenyum melihat gadis di hadapannya tumbuh dengan baik tanpa berubah sedikitpun. Hanum selalu pengertian, ia selalu menjadi kakak baginya saat mereka masih kecil. Hanum selalu menjadi orang yang membelanya, merawatnya, dan mengkhawatirkannya saat anak-anak lain mengganggunya.
Tapi kini keadaan berbalik, ia ingin menjadi orang pertama yang melindungi dan menjaga Hanum. Menjadikannya wanita terbahagia kedua setelah ibunya, hingga rambut mereka memutih bersama. Itulah mengapa ia sudah berani menjanjikan pernikahan pada Hanum.
“Dicariin ibu nggak ya?” Tanya Hanum di sela waktu saling tatap itu karena khawatir.
“Nggak sih. Kan perginya sama aku” jawab Bima “tapi kayaknya kita udah harus pulang.” Bima menunjuk langit yang menguning.
“Iyah. Kita kan mau ke rumahh Mbah Uti.” Hanum menepuk jidatnya.
“Yuk.”
Bima bangkit terlebih dahulu dan membantu Hanum untuk berdiri dengan menjadikan tangannya sebagai pegangan. Kini mereka kembali berjalan beriringan menuju rumah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments