“Udah selesai bu?” Tanya Hanum di ambang pintu kamarnya pada Marni yang sedang merapikan peralatan make up sekembalinya dari kamar mandi.
“Udah.” Jawab Marni singkat.
“Itu siapa bu?”
“Kita ngobrolnya besok aja ya. Ibu kan masih harus rias besok subuh.”
Hanum mengangguk dan menghilang dibalik tirai bunga-bunga yang ia jahit sendiri. Pikirannya masih tertuju pada perempuan yang mendatangi rumahnya. Perempuan paruh baya yang cantik dengan kebaya rapi itu datang tengah malam. Bagaimana bisa?
Pikiran Hanum tak bisa beristirahat dari perempuan ini, masih ada kenapa di dalam benaknya yang belum terjawab. Matanya terpejam setelah pikirannya menemui jalan buntu dari pertanyaannya sendiri.
Alarm yang di setel Marni dan Hanum sama-sama berbunyi, mereka harus kembali bangun di jam 5 subuh untuk menuju lokasi rias hari ini. Kali ini Marni harus pergi ke desa sebelah untuk merias 3 anak SMA yang ingin berfoto untuk kelulusannya.
Setelah bergantian pergi ke kamar mandi, solat dan bersiap. Marni mengumpulkan perlengkapan yang sudah di rapikannya kemarin, sementara Hanum pergi ke belakang rumah untuk mengambil motor yang di simpan di gudang dekat dapur.
Ia memarkir motor di halaman dan kembali ke dalam rumah untuk menjemput ibunya, ia membantu membawa beberapa tas yang akan dibawa. Isinya baju yang akan disewa, juga perlengkapan make up untuk merias nanti.
Tas-tas disusun di bagian depan motor, beberapa ada yang masuk ke dalam bagasi. Koper make up di pangku Marni untuk mengurangi guncangan. Setelah semua siap mereka berangkat. Jarak dari rumah sampai ke lokasi hanya 30 menit saja dengan motor, tak terlalu jauh karena desa tetangga.
“Silakan sebelah sini.” Tuan rumah memandu Marni dan Hanum untuk masuk ke sebuah kamar untuk rias.
Sudah ada tiga anak SMA yang seumur dengan Hanum, mereka sama-sama lulus tahun ini dan ingin mengabadikannya di studio foto. Memang sedang trend, pemotretan untuk kelulusan. Bahkan desa di ujung gunung seperti ini pun tak terkecuali berkat kekuatan media online.
“Ibu nggak apa-apa?” Tanya Hanum yang melihat wajah pucat ibunya.
“Emang ibu kenapa? Ibu nggak apa-apa kok.” Marni mempersiapkan peralatan yang diperlukan sementara Hanum hanya menonton dan menjaga kebaya-kebaya sewaan.
Sesi merias pun dimulai, satu anak sedang di rias oleh Marni dan yang lainnya masih mengantri. Kedua anak yang mengantri sibuk dengan gadget mereka, keduanya tak saling bicara. Mereka malah cekikikan dengan hal yang dilihatnya dari layar beberpa inchi itu. Lain dengan Hanum yang perhatiannya tersita pada ibunya yang sedang bekerja.
Tak sampai satu jam, satu riasan sudah selesai. Kini gadis yang sudah selesai dengan riasannya sedang di bantu Hanum untuk mengenakan kebaya merah marunnya. Sudah selesai dan ia segera pergi ke studio yang katanya tidak jauh dari lokasi saat ini.
Gadis kedua sedang dirias Marni. Ia sedang mengusapkan perona pipi yang tak terlalu mencolok, tapi seketika ia mundur. Takut hasil pekerjaannya berantakan, Marni sebenarnya menyadari sesuatu tapi ia mengabaikannya.
“Hanum yang terusin aja bu. Ibu harus istirahat.”
“…”
Marni tak menjawab. Palet make up sudah berpindah tangan kepada Hanum, kini ia yang melanjutkan pekerjaan ibunya. Hanum menyadari bahwa ibunya sudah gemetar saat mengerjakan klien kedua, meski awalnya baik-baik saja, tapi sekarang tidak.
Tubuh dan tangan Marni yang gemetar harus beristirahat, dia tidak bisa memaksakan diri. Kini, posisi Marni sudah diambil alih Hanum. Entah karena keturunan atau entah karena sering melihat ibu dan neneknya merias banyak orang, Hanum sudah tak canggung untuk mengusap kuas di wajah kliennya. Tangannya terampil dan luwes.
Klien kedua sudah selesai, Marni membantunya berpakaian. Kali ini ia memilih kebaya krem untuk dipakai, sementara Hanum melanjutkan pekerjaannya dengan klien ketiga.
Tak ada keluhan baik dari klien atau ibunya, Hanum bisa menyelesaikan pekerjaan ibunya dengan sangat baik. Hasilnya bagus, seperti yang diharapkan. Dan ini yang terakhir, klien yang benar-benar dikerjakan Hanum dari awal.
“Sudah selesai.” Ucap Hanum pada kliennya dengan senyum puas akan hasil kerjanya.
“Terima kasih ya.”
“Sama-sama.” Balas Hanum.
Kini tugas Marni untuk melengkapi penampilan dari klien terakhir mereka hari ini. Kebaya abu-abu menjadi pilihannya dengan sanggul sederhana dan bunga melati imitasi sebagai hiasan rambut.
“Biar aku aja bu.” Kata Hanum saat melihat Marni hendak merapikan koper make up nya.
“Makasih ya Num.”
“Iya sama-sama. Bayarannya boleh jajan bakso Mang Asep ya bu.”
Marni terkekeh dan mengangguk. Bayaran yang sangat murah atas kerja keras anaknya. Syukurnya terus bertambah telah hidup dengan anak yang begitu berharga baginya.
“Terima kasih banyak ya bu. Nanti bajunya saya antar ke rumah.” Kata tuan rumah yang menyerahkan amplop putih sebagai bayaran pekerjaan Marni hari ini.
“Sama-sama bu. Saya juga berterima kasih. Semoga nanti bisa rias di saya lagi.”
“Iya Bu Marni insha alloh. Sama ini ada sedikit makanan untuk ibu.” Sebuah bingkisan menyusul amplop putih yang sudah berpindah tangan.
“Jadi ngerepotin bu.”
“Saya loh yang ngerepotin.”
“Kalau begitu kami pamit ya.”
“Iya hati-hati.”
Hanum yang hanya ikut mengangguk menandakan ia juga pamit undur diri bersama ibunya tanpa sepatah kata apapun. Ia mengambil kantong makanan dan mengaitkannya di bagian depan motor.
Sebelum berangkat Hanum melepas jaketnya dan menyampirkannya di tubuh ibunya untuk dipakai. Ia lebih khawatir ibunya sakit dibanding dirinya sendiri.
“Loh nanti kamu masuk angin Num.”
“Ibu yang lebih perlu dari Hanum. Lagian Hanum kan masih muda, pasti lebih kuat bu.”
Marni tak bisa menolak kebaikan dan kekhawatiran anaknya. Ia memakai jaket abu-abu tua milik Hanum. Ia bahkan memakai kupluknya untuk melindungi diri. Semoga tak ada yang serius terjadi pada dirinya, pikir Marni.
Setengah jam perjalanan telah ditempuh, Marni dan Hanum sudah sampai di rumah. Mereka menurunkan barang-barang yang dibawa untuk dirapikan di rumah. Tiba-tiba saja sepasang tangan mengambil jinjingan dari tangan Marni.
“Waduh Bim, makasih loh.”
“Iya bu, sama-sama. Habis pulang rias ya?” Tanya Bima yang berjalan berjejeran dengan Marni.
“Iya, dari desa sebelah.”
Hanum hanya tersenyum melihat pemandangan itu, hal manis yang selalu dilakukan Bima. Bukan hanya sekarang saat ia menjadi pacarnya, hal manis ini sudah berlangsung lama sejak ia mengenalnya di usia 7 tahun.
Hanum membawa sisa peralatan ke dalam rumah dan mengekori ibunya dan Bima, ia meletakan beberapa aksesoris di atas meja rias. Lalu segera berbaring dan tengkurap di kursi panjang untuk mengistirahatkan punggungnya.
Bima pun ikut duduk di kursi dekat pintu. Ia tersenyum melihat Hanum yang kelelahan, namun apapun yang dilakukan Hanum akan menjadi sumber senyuman Bima.
“Makan Bim” Tawar Marni yang keluar membawa sepiring kue dari pelanggannya tadi.
“Iya bu, makasih.”
“Minumnya tuang sendiri aja nggak apa-apa ya.” Ucap Marni menunjuk teko berisi air putih dan gelas yang selalu tersedia di meja.
“Iya gampang bu. Nanti Bima ambil sendiri.”
“Ibu istirahat ya.” Marni pamit dan masuk ke kamar.
“Bentar ya Bim. Jangan kemana-mana.” Perintah Hanum yang segera bangkit dari tidurnya dan menyusul Marni ke dalam kamar.
“Loh ngapain kamu kesini?” Tanya Marni yang sudah berbaring di ranjangnya “Bima sendirian itu.”
“Nggak apa-apa bu. Aku udah bilang sebentar ko.”
Tangan Hanum perlahan merambat ke ujung kaki ibunya, tangannya memijat setiap bagian yang membuat Marni lebih rileks. Ia menghirup nafas panjang sesekali, perutnya terlihat kembang kempis untuk ukuran wanita kurus.
Tak sampai di ujung kaki, Hanum terus memijat hingga ke betis dan paha ibunya. Pasti ibunya pegal karena perjalanan. Dan kini tangan Hanum sudah menjamah tangan Marni untuk dipijat, sementara yang menerima pijatan sudah hilang ke dalam dunia mimpi dengan dengkuran halus yang membuat Hanum tertawa.
“Sengaja datang kesini?” Tanya Hanum setelah duduk di kursi ibunya yang berseberangan dengan Bima.
“Iya…” Bima tersipu “Kamu nggak bales chat aku soalnya.”
“Kamu chat? Maap ya, HP nya aku tinggal di rumah. Tadi mau fokus bantuin ibu.”
“Ooh. Yaudah nggak apa-apa, sekarang khawatirnya udah berkurang.”
“Makasih ya Bim, udah perhatian banget.”
“Iya. Karena udah tau kabar kamu sekarang aku mau pamit. Kamu juga keliatannya cape banget.”
“Ok. Hati-hati ya.”
Mereka berdua bangkit dari duduknya. Hanum hanya mengantar sampai ambang pintu. Yang dibutuhkan tubuhnya kini adalah ranjang yang siap menampungnya untuk beristirahat.
TING… TING… TING…
TING… TING… TING…
Suara mangkuk Mang Asep membangungkan Hanum. Hari ini ia ingin sekali makan bakso seperi ibu hamil yang sedang ngidam, entah apa yang merasukinya. Hanum mengumpulkan nyawanya selama beberapa menit, dan suara mangkuk Mang Asep belum hilang. Ia merapikan dirinya dan pergi keluar kamar.
Hanum mengerutkan kening sejak membuka gordeng kamarnya dan mendapati ibunya sudah makan bakso. Ibunya tak bersuara dan pucat. Mungkin ibu masih cape, pikir Hanum. Ia mengabaikan ibunya dan melewatinya keluar dari rumah.
“Mang Asep…” panggil Hanum saat melihat gerobak Mang Asep hendak pergi, Hanum pun setengah berlari untuk menyusul.
“Pelan-pelan Neng Hanum. Nanti jatuh.”
“Tunggu ya, Hanum mau beli.”
“Pake mi nggak?”
“Bihun sawi ya” jawab Hanum masih terengah-engah “eh tunggu!” seru Hanum mengagetkan Mang Asep.
“Kenapa neng?”
“Hanum lupa bawa mangkuk, bentar ya biar Mang Asep nggak usah nungguin.”
Saat Mang Asep hendak membuka mulut untuk melarang Hanum, anak itu malah sudah berlari ke dalam rumah. Ia tak ingin membuat Mang Asep menunggu. Hanum bahkan kembali mengabaikan ibunya yang masih makan di kursi tamu.
Dengan kecepatan kilat, Hanum kembali dengan mangkuk ayam jagonya dan uang 20.000 untuk membayar baksonya. Ia menyodorkan mangkuknya pada Mang Asep, namun tetap menggenggam erat uangnya.
“Ibu udah bayar juga mang?”
“Ibu siapa neng?” Tanya Mang Asep heran.
“Ibu saya dong Mang Asep. Masa ibu kita kartini, mau ngelawak nih Mang Asep.”
“Loh yang jajan baru Neng Hanum aja kok.”
Jantung Hanum berpacu lebih cepat seketika, ia menoleh ke arah rumah dan masih ada bayangan ibunya yang bisa terlihat dari jendela. Iya yakin benar bahwa ibunya sedang makan bakso. Hanya ada dua kemungkinan, ibu membelinya dari tempat lain atau yang dimakannya bukanlah bakso. Tapi ibu makan bakso kok, gumam Hanum yakin.
“Kalau ibu mau sekalian jajan, Mang Asep tungguin ya.” Ucap Mang Asep yang membuyarkan lamunan Hanum. Ia menyodorkan mangkuk yang sudah terisi dengan bakso.
“I-iya mang.” Jawab Hanum tergagap dan menerima mangkuk baksonya.
Hanum berjalan menjauh dari gerobak bakso Mang Asep setelah menyerahkan uang dan mendapat uang kembali sebesar 8000 yang ada di saku celananya. Pikirannya kembali melayang, Hanum masih memperhatikan bayangan ibunya dari balik jendela.
Ibu masih ada disana, di kursi yang sama. Mungkin masih memakan baksonya, bakso yang mungkin juga dibeli dari tempat lain. Sudahlah. Benak Hanum.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
atin p
ngeri y...
2021-10-08
1