Sementara Bima dan Marni membicarakan hal-hal tak masuk akal yang terus terjadi, Marini sedang memasak di rumahnya untuk suaminya Pak Mahmud. Tepat saat semua lauk matang, Pak Mahmud datang dengan cangkul yang dipikulnya.
Pak Mahmud masuk melalui pintu dapur setelah sebelumnya mencuci kaki dan tangannnya di keran belakang rumah yang sengaja ia sediakan. Setelah melepas baju berkebunnya, ia masuk ke dalam rumah untuk mandi dan berganti pakaian baru.
“Tumben telat pak.” Kata Marini saat Pak Mahmud selesai mandi.
“Iya…. Tadi agak panjang ngobrol sama Pak Gondo.”
“Oh. Yaudah cepet ganti bajunya terus makan.”
“Iya."
Pak Mahmud berlalu meninggalkan istrinya yang masih menata makanan di atas dipan yang biasa mereka gunakan untuk makan. Letaknya ada di dapur yang terhubung langsung dengan tungku. Marini sengaja membuka pintu dapur agar suasana menjadi lebih terang dan angin bisa leluasa masuk selain dari celah bambu yang dibuat suaminya.
Saat semua sudah rapi, Pak Mahmud bergabung untuk mengisi energinya dengan masakan Marini. Biasanya…. Marini akan memasak sebelum berangkat ke kebun, sehingga mereka akan membawa bekal atau makan makanan dingin di rumah. Tapi kali ini berbeda.
Karena kondisi keluarga Marni, Pak Mahmud bisa merasakan masakan hangat yang baru matang buatan istrinya yang sudah lama tak ia rasakan. Biasanya hanya nasinya saja yang hangat jika makan di rumah, lain lagi ceritanya kalau makan di kebun.
“Jadi ngobrolin apa sama Pak Gondo? Mau jual beli tanah lagi?” Marini segera menyampaikan rasa ingin tahunya.
“Bukan….” Jawab Pak Mahmud singkat.
“Gadai kebun lagi?”
“Ini masalah Bima bu….” Pak Mahmud menggantung kalimatnya.
“Bima kenapa? Kayaknya nggak ada urusan deh.”
“Pak Gondo mau menjodohkan anaknya sama Bima.”
“Kenapa harus Bima? Memang anak Pak Gondo kenal Bima dimana? Seinget ibu mereka nggak satu sekolah, jadi pasti nggak pernah ketemu.” Kata Marini yang wajahnya kini berubah masam.
“Sik toh, aku belum selesai cerita.”
Marini diam. Acara makan mereka belum dimulai karena disela oleh cerita Pak Mahmud. Marini agak curiga dengan niat Pak Gondo, lelaki yang sedang diceritakan suaminya itu.
“Jadi ternyata, yang dirias Hanum tadi pagi itu anaknya Pak Gondo.” Pak Mahmud mulai ceritanya lagi dengan piring kosong di tangan “nah disana dia ketemu sama Bima. Ibu inget kan yang nganter Hanum itu siapa?” Sambung Pak Mahmud.
“….” Tak ada jawaban dari Marini.
“Nah… karena sudah ketemu. Anaknya minta dijodohkan sama Bima.”
“Terus bapak bilang apa sama Pak Gondo?” Tanya Marini ketus.
“Ya bapak bilang lah. Bapak nggak ada hak untuk jodohkan Bima, keputusan ada di anaknya. Nggak mungkin bapak maksa untuk jodohin dia, itu kan keputusan kita saat membesarkan Bima bu.”
“Bagus kalau begitu” Marini kini melunak “udah deh pak, kita makan dulu.”
Sedari tadi mereka malah belum menyentuh apapun karena obrolan tentang Pak Gondo rasanya lebih penting dari perut yang sedang keroncongan.
“Bapak bener kan bilang kayak gitu ke Pak Gondo?” Tanya Marini lagi saat mereka tengah menyantap makan siang mereka.
“Iya bu….” Pak Mahmud meyakinkan “ibu kenapa sih nggak percaya banget.” Sambungnya.
Tak ada jawaban dari Marini, hanya ada wajah cemas yang ia tunjukan. Pak Mahmud menyadari kegelisahan istrinya, namun ia tak ingin menanyakannya lebih lanjut.
Marini memang sepertinya trauma dengan kata perjodohan, karena ia sendiri adalah korban dari perjodohan yang tidak sehat menurutnya. Orang tua Marini menjodohkannya dengan seorang juragan kaya raya sebelum menikah dengan Pak Mahmud. Namun sayang, pernikahannya hanya bertahan tiga bulan saja.
Kekerasan rumah tangga tentunya tidak dibenarkan Marini, dan keluarga suaminya malah menutupi semua perbuatan kejam yang ia terima. Hingga ia melarikan diri dan berhasil menggugat cerai dengan bukti memar di tubuhnya dan saksi seorang pembantu di rumah mertuanya dan akhirnya bertemu dengan Pak Mahmud.
“Lagi pada makan nih.” Ucap Bima yang kedatangannya tidak disadari Marini dan Pak Mahmud.
“Makan lagi Bim.” Tawar ibunya.
“Udah kenyang bu.”
“Bude Marni udah baikan?” Tanya ibunya lagi.
“Udah bangun sih bu. Tapi….” Bima menahan kalimatnya yang menghentikan kegiatan makan ibu dan bapaknya “ada yang aneh lagi.” Kata Bima akhirnya.
“Apa yang aneh Bim?” Kini Pak Mahmud yang bertanya meski istrinya sama penasaran dengannya.
“Sama kayak kemarin, bude Marni diserupai lagi sama memedi.”
Marini dan Pak Mahmud mengucap istigfar bersamaan, tentu mereka kaget dengan kejadian yang diceritakan anaknya. Tangan Marini menutupi mulutnya, ia tak bisa lagi berkata-kata setelah istigfar yang diucapkannya. Sementara Pak Mahmud meletakkan piringnya yang masih tersisa nasi beberapa suap lagi. Keduanya saling tatap sekilas.
“Kali ini Bima juga lihat. Dan itu memang bener-bener serem. Hanum ketakutan banget.”
“Ya terus kenapa kamu tinggal Bim.” Protes ibunya.
“Bude Marni yang suruh pulang. Bima nggak enak kalau terus-terusan ada disana.”
“Kamu nih….” Ibu nya hendak menepuk wajah Bima tapi tak jadi.
Marini segera bangkit dan mencuci tangannya, ia sedikit merapikan dirinya sebelum pergi ke luar. Ia bahkan tak memedulikan sisa-sisa makanan yang harus dirapikannya.
“Bima ikut bu.” Seakan tahu tujuan ibunya, Bima bergegas bangkit dan berjalan mengekori ibunya.
Pak Mahmud juga turut serta, ia buru-buru mencuci tangan dan merapikan sembarang nasi, lauk dan piring kotor untuk segera menyusul istrinya. Ia bahkan tak menghabiskan beberapa suap terakhir nasinya.
Ketiganya kini sudah beriringan menuju rumah Hanum, langkah mereka panjang dengan tergesa. Mereka sama-sama berpikir mungkin akan ada sesuatu yang terjadi selanjutnya di rumah Marni, apalagi Marini, ia yang paling panik saat ini seakan kejadian buruk telah terjadi.
“Mar….” Seru Marini.
Marni tengah melamun di teras rumahnya, ia masih belum bisa menyingkirkan pemikiran-pemikiran tentang semua kejadian aneh yang terjadi di sekelilingnya.
“Mba, mas. Kok kalian malah disini lagi?” Marni bangkit menyambut kedatangan ketiganya.
“Ya kami khawatir sama kamu Mar.” Jawab Marini.
“Aku insha alloh nggak apa-apa mbak. Hanum juga masih tidur.”
Semuanya masuk ke dalam rumah dan mengambil tempatnya masing-masing untuk duduk diatas kursi rotan di ruang tamu. Keadaan hening dan mencekam. Tak ada lagi pembicaraan saat ini selain suara air yang dituangkan Marni untuk tamunya.
Marini dan Pak Mahmud saling tatap, mereka merasa kebingungan untuk membuka obrolan. Bima juga sama bingungnya, tatapannya terus tertuju pada kamar Hanum berada, semoga ia baik-baik saja harapnya dalam hati.
“Aku ambil makanan ringan sebentar ya.” Kata Marni akhirnya memecah keheningan.
Marni melenggang meninggalkan tiga tamunya yang masih sama-sama diam. Ia menuju dapur dan mengambil toples berisi keripik singkong hasil bumi dari Pak Mahmud.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Ai Emy Ningrum
knp ga di habis kan dulu makanan nya toh pak ,buuu...biar ga mubazir gituh ☺️☺️
2021-10-20
1
atin p
semangatt
2021-10-08
1