Setelah mendapat semua yang diperlukannya Hanum menghampiri Marini, siapa tahu ia butuh bantuan pikirnya.
“Ada yang perlu Hanum bantu lagi bude?” Tanya Hanum.
“Nggak ada nduk” sahut Marini “semua makanan udah bude rapiin ke kulkas. Nggak banyak yang dirapiin. Paling ini lampu tengah, dapur sama luar bude nyalain, biar keliatan ada orangnya” Terang Marini “atau biasanya gimana?” tanya Marini takut keliru.
“Iya dinyalain semua nggak apa-apa bude.”
“Yowes yuk. Udah selesai.”
Marini dan Hanum sama-sama melangkah keluar rumah, di saat yang sama Bima mendatangi mereka dari halaman.
“Udah bu?” Tanya Bima.
“Udah kok. Orang nggak banyak yang di rapiin.” Jawab ibunya.
“Sini aku bawain Num.” Bima mengulurkan tangannya untuk membawa paper bag di tangan Hanum.
“Nggak usah Bim. Ini ringan kok.” Sahut Hanum.
“Oh yaudah. Yuk.” Ajak Bima yang mengekori ibunya dan Hanum.
Ketiganya kini menuju ke kediaman Bima, Bima berjalan di belakang Marini dan Hanum seolah dia adalah bodyguard mereka. Tak sampai sepuluh menit mereka sudah sampai di rumah dan cukup terkejut dengan tamu yang masih ada di sana.
Terlihat sebuah mobil BMW putih model sedan terparkir di halaman rumah, pintu yang terbuka lebar dan siluet yang terlihat dari jendela.
Bima, Hanum bahkan Marini sedikit mengerutkan dahi saat memasuki rumah, terlihat seorang bapak dan seorang gadis yang ada di rumah mereka. Padahal Pak Mahmud sudah pergi sejak bada ashar.
Mungkin memang obrolan dua orang yang asyik itu bisa berlangsung lama, atau… ada obrolan penting hingga memakan waktu yang lama. Tapi… apakah gadis muda ini juga terlibat?
“Ko lama banget bu?” Tanya Pak Mahmud.
“Iya tadi kan sekalian solat di rumah Mbah Uti.”
“Ini loh yang bapak bilang Pak Gondo, sama putrinya, Ayu.” Pak Mahmud mengenalkan tamunya “Ini Marini istri saya, ini Bima dan Hanum anak saya.” Sambung Pak Mahmud mengenalkan keluarganya.
Pak Gondo dan Ayu berdiri untuk menyalami istri sang tuan rumah, Bima dan Hanum. Sementara Hanum dan Bima saling tatap saat Pak Mahmud mengenalkan Ayu, putri Pak Gondo dan melihat wajahnya. Mereka mengingat wajah itu. Wajah yang tadi pagi mereka lihat di desa Kalibening.
Setelah acara salaman, Marini, Bima dan Hanum pamit masuk ke dalam kamar masing-masing karena merasa tidak perlu untuk ikut serta dalam obrolan Pak Mahmud. Hanum langsung masuk ke kamar Bima karena memang itu tempatnya tidur untuk malam ini.
Layout rumah Bima dan Hanum hampir sama. Tiga kamar tidur yang berjajar dan berseberangan langsung dengan ruang tamu dan ruang keluarga yang cukup luas. Di belakang juga ada dapur dan kamar mandi yang cukup luas dan juga gudang untuk menyimpan motor mereka.
Kamar depan sama-sama digunakan kamar Hanum dan Bima, kamar tengah digunakan untuk musholla di rumah Bima sementara di rumah Hanum dijadikan gudang penyimpanan baju. Dan kamar terakhir digunakan Pak Mahmud dan Marini disini dan digunakan ibunya di rumah Hanum.
Setelah rumah lamanya kebakaran, Pak Mahmud dan Marini membangun kembali rumah baru mereka, keduanya sepakat untuk meniru layout rumah Marni dan Hanum karena tidak rumit dan enak untuk digunakan bergerak. Maka terjadilah, dua rumah yang sama di lokasi yang berbeda.
“Kalau begitu kami pamit ya pak.” Suara bass Pak Gondo terdengar sampai ke kamar Bima.
“Iya monggo-monggo pak. Sik sebentar” Pak Mahmud berdiri dan setengah berteriak pada istrinya “Bu…. Pak Gondo arep mulih kii.” Ujar Pak Mahmud dengan suara yang lantang agar istrinya bisa mendengar dan keluar dari kamar.
“Iya pak.” Terdengar jawaban Marini yang tergesa keluar dari kamarnya.
“Kami pamit ya.” Kata Pak Gondo sekali lagi saat Marini sudah keluar.
“Iya pak. Hati-hati di jalan.” Timpal Marini.
“Kami pamit bu.” Suara halus Ayu terdengar.
Setelah selesai berpamitan, Pak Gondo dan Ayu berjalan keluar menuju mobil putih mereka. Mobil melaju di kegelapan malam yang mulai menjemput.
“Itu toh pak sing arep dijodohke karo anak e.” Sambar Marini tanpa basa-basi dengan wajah yang kecut.
“Iyo bu.” Pak Mahmud menghela nafas panjang.
“Nggak usah lah… ibu nggak mau ada urusan sama orang desa sana. Terlalu berbahaya.” Kata Marini yang melengos meninggalkan Pak Mahmud sendirian.
Ini kali pertama Marini bertemu dengan Pak Gondo secara langsung setelah sebelumnya banyak diceritakan suaminya. Pak Gondo itu seperti tuan tanah di desa Kalibening, banyak sekali lahan yang dimilikinya. Dan Pak Mahmud sering terlibat dengannya karena urusan jual beli atau gadai pertanahan dan hal-hal lainnya.
Helaan nafas panjang Pak Mahmud terdengar, bahkan sampai ke kamar Bima. Iapun turut mengekori istrinya ke kamar. Sementara kedua orang yang ada di dalam kamar itu pun sejak tadi sudah mendengar percakapan yang ada di ruang tamu, karena suaranya memang terdengar sampai ke kamar.
Kedua orang yang duduk di bibir ranjang itu saling menatap lekat sambil bergandengan tangan satu sama lain. Mereka berbicara dengan mata mereka, sementara tak ada percakapan yang bisa mereka bahas saat ini. Keduanya berputar dengan pikiran masing-masing dengan keadaan yang mendadak.
Lama Hanum dan Bima berpikir.
“Bim…”
“Num…”
Keduanya berbicara bersamaan seperti sudah membaca pikiran satu sama lain.
“Kamu duluan yang ngomong.” Kata Bima.
“Kamu udah bilang belum sama ibu bapak kamu tentang kita?”
“Sementara ini belum. Tapi bukan berarti aku nggak akan bilang.” Jawab Bima seadanya.
“Kamu?”
“Aku juga belum bilang sama ibu. Kondisinya masih kayak gini. Menurut kamu ini saat yang baik untuk ngasih tau mereka?”
Bima menggeleng. Saat ini memang tidak tepat dengan adanya kejadian di rumah Hanum yang juga menguras energi dan pikiran. Hanum dan Bima tidak tahu respon apa yang akan mereka dapat dari kedua orang tuanya.
Mereka sudah terlalu lama bersama sebagai teman. Apakah orang tua mereka akan mengerti kalau kini mereka tidak dalam hubungan seperti itu. Mereka sudah melibatkan hati dalam hubungannya.
“Tapi….” Bima angkat bicara namun menggantung kalimatnya.
“Apa?”
“Lebih baik ngomong sekarang meski keadaan lagi kayak gini. Aku takut kalau nanti-nanti malah tambah rumit. Kamu denger kan omongan ibu aku.” Jelas Bima.
“….” Hanum tak menjawab. Ia hanya menatap wajah kekasihnya.
Untuk pertama kalinya Hanum dan Bima menghadapi krisis dalam hubungan mereka, dan kini mereka sedang memutuskan langkah apa yang harus mereka ambil untuk kebaikan mereka dan semua orang.
“Aku setuju. Mungkin agak rumit, tapi lebih cepat lebih baik.” Hanum menyetujui pendapat lelaki di hadapannya dan genggaman tangan mereka semakin erat.
“Okeh. Kita udah mutusin dan apapun yang terjadi kita akan tetep sama-sama.” Bima mengacungkan tangan mereka yang bertaut yang membuat Hanum mengangguk mantap.
Kini keduanya tengah menyusun kata-kata yang mungkin akan mereka sampaikan pada kedua orang tua mereka. Kata-kata mana yang sekiranya akan mudah diterima dan dimengerti.
Puluhan kata sedang mereka pilih dan merangkainya menjadi susunan yang baik dan mengundang persetujuan. Karena meski hubungan keluarga mereka baik, kemungkinan selalu ada. Dan kemungkinan inilah yang mereka hindari. PENOLAKAN.
Hanum dan Bima tak menerima penolakan saat ini, bahkan jika itu terjadi mereka akan tetap berjuang untuk bersama. Mereka sudah sama-sama dimabuk asmara dan enggan untuk berpisah meski hanya beberapa saat, keduanya pasti sudah dilanda badai rindu jika terpisah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments