Nightmare Diary
Aku melihatnya lagi, di bawah guyuran hujan dia berdiri di depan pintu rumahnya dengan tubuh yang dihiasi lumpur sambil menggenggam sekantong plastik hitam. Dia adalah tetangga baruku, orang yang suram dan penyendiri.
Sejak kepindahannya ke kampung ku, tak pernah sekalipun dia menampakkan batang hidungnya kepada tetangga-tetangga yang lain, baik sekedar untuk menyapa ataupun bersilaturrahmi.
Bahkan tidak ada gosip mengenai asal-usul tetangga baruku itu. Kebiasaannya yang memilih mendekam di gubuk rumahnya membuat warga kampung yang bersahabat dan ramah seketika membisu dan memalingkan muka ketika melewati rumahnya, seakan keberadaannya itu tembus oleh pandangan mata.
Pada saat musim hujan tengah menyambut kota, aku sering melihatnya pulang dengan menggunakan jas hitam sambil menenteng sebungkus plastik hitam di tangannya. Entah apa isi di dalamnya, aku tidak terlalu peduli.
Barangkali dia hanya ingin keluar ketika keadaan sedang sepi, untuk membeli beberapa kebutuhan yang sudah ampas.
Dan malam ini seperti biasa dia melakukan alurnya lagi. Karena terus-menerus terjadi, kini rasa penasaran menggelayut diriku seakan menyuruhku untuk menguntitnya. Dia masuk dan menutup pintu, saatnya aku bereaksi.
Aku pun keluar sambil mengendap-endap memasuki pekarangan rumahnya. Beberapa menit kemudian, aku sudah berada di balik pintu depan. Ku buka perlahan kenop pintu, suara derik berseru memecah keheningan. Entah kenapa suasana rumahnya begitu mencekam dan bau amis. Bulu kudukku seketika merinding.
“Kenapa hawa di dalam rumah ini begitu dingin dan menyeramkan?” Gumamku.
Aku mencoba melangkah menjelajahi setiap sisi ruangan. Rumah ini di bangun bertingkat. Aku sedang berada di lantai satu yang tersusun dari dapur, kamar mandi dan ruang tamu.
Aku menuju ke dapur, terlihat bersih walaupun ada sisa-sisa kotoran yang masih berceceran dilantai. Aku menggeledah bagian-bagian yang tertutup. Ku buka laci atas lemari rak piring, kosong.
Selanjutnya meja makan yang ditimpa oleh tudung saji, hanya terdapat bekas piring makanan yang belum di taruh ke wastafel. Tapi, mataku menangkap sesuatu bercak merah yang menempel di sudut meja yang beralas kain. Percikan merah itu jatuh membentuk sebuah jejak dan berhenti tepat di bawah badan kulkas.
Aku mendekat ke benda tersebut kemudian ku buka pintu kulkas. Tidak ada barang mencurigakan di sini, hanya makanan penutup, buah-buahan serta seonggok daging yang di plastik rapi. Aku menghela napas, ku tutup kembali kulkasnya. Lalu Aku melanjutkan menyelidiki ruangan lain lagi.
Waktu berdetak semakin cepat, tak terasa sudah satu jam aku berada di rumah tetangga baruku ini. Aku mendengus kesal, hasilnya nihil setelah lelah menyusuri semuanya.
“Lebih baik aku pulang saja, daripada ketahuan oleh orang suram itu.”
Aku pun memutuskan untuk kembali ke rumahku. Tapi ketika sudah dekat di ambang pintu, terdengar suara langkah kaki menggema di titik anak tangga. Seketika, ketakutan menjalar di sekujur tubuhku.
Aku berlari ke dapur dan mencari tempat persembunyian. Ku pilih berlindung di bawah meja makan, karena instingku mengatakan dia takkan mengarah kemari. Derap langkah kaki itu semakin dekat dan jelas, sepertinya dia menuju ke sini.
Sial, aku keliru. Bodohnya aku! Ku rapatkan tubuhku di antara kaki kursi, keringat dingin mulai berayun-ayun di dahi. Tubuhku bergetar hebat. Brakkk…Dentuman keras membuatku terkejut setengah mati, sekarang dia berada tepat di atas ku.
“Astaga, Daging ini gurih sekali! Sial, perutku masih meminta jatah lagi. Ck!”
Setelah melontarkan omong kosong, kaki jenjangnya berjalan ke wastafel. Guyuran air mengucur merdu bersama suara nyaring piring yang di gosok.
Aku mendongakkan sedikit kepalaku untuk melihat rupa wajahnya. Badan tegap, rambut
ikal dan kulit yang bersih. Umurnya barangkali berkisar 22 tahun, lebih tua dua tahun dariku. Sepertinya, tidak ada yang menakutkan dari tetangga baruku ini. Lebih baik aku keluar saja dan meminta maaf, tidak sopan juga aku bersembunyi lama-lama.
Saat ingin beranjak dari bawah kolong, sesuatu jatuh ke lantai. Refleks aku segera mengunci mulutku agar tidak berteriak, bagaimana tidak! Di hadapanku terkapar sebuah jari manusia yang dicincang. Nafasku tercekat ketika tangan tetanggaku sedang mengambil benda tersebut.
Saking ketakutannya, aku mundur dan terbentur oleh kaki kursi menimbulkan bunyi gesek yang pasti memicu pendengaran tetanggaku.
Seketika pergerakannya berhenti. Kali ini, aku benar-benar ketakutan setengah mati, air mata mulai mengalir di pipiku. Tubuhnya mulai menurun sedikit demi sedikit dan di tangannya telah mengapit pisau bermata tajam yang siap mengikis kulit.
“Ya tuhan, tolong aku.” Aku hanya bisa pasrah dengan kematian ini.
Tapi tiba-tiba, terdengar suara benturan bersamaan dengan teriakan cempreng dari arah tangga. Kami terkejut, tetanggaku langsung berlari menuju suara tersebut. Aku yang juga ingin tahu mengintip di kolong tangga. Seorang gadis remaja berusia belasan tahun tersangkut di ujung tangga dengan tubuh yang bersimbah darah, kakinya patah tak terbentuk.
“Apa yang kau lakukan, dasar bodoh!”
Tetanggaku marah besar lalu menampar gadis itu yang tengah meraung kesakitan.
“Tolong aku, tolong lepaskan aku.” Gadis itu memohon.
“Cih, kalau sudah rusak begini mau di jual pun tidak laku, lebih baik aku masak dan makan saja dagingnya.”
Tetanggaku menyeret tubuh gadis tersebut dengan kasar. Di campakkannya tepat di hadapanku. Aku tertegun, gadis itu adalah orang yang aku kenal, teman dekatku, Yuna.
“Tidak, ini tidak mungkin Yuna!” Aku berteriak memanggil namanya, tapi dia tidak mendengarnya.
Tetanggaku mulai melakukan aksinya, dia sudah mengikat Yuna dengan kawat tipis. Di ambilnya pisau di atas meja makan dan dimutilasi tubuh Yuna dimulai dari tangan, lalu kaki hingga ke anggota lainnya dengan pelan dan nikmat.
Tak peduli seberapa keras teriakan Yuna berkumandang, dia terus mencabik dan memotong tubuhnya sampai hancur berantakan.
Sekujur tubuhku lemas, baru kali ini aku melihat dengan mata kepalaku sendiri kejadian pembunuhan apalagi yang menjadi korbannya adalah temanku. Darah merembes hingga mengenai wajahku.
Setelah selesai memotong, dengan wajah terlukis kegembiraan dia mengambil bagian tubuh itu dan dimakannya dengan lahap. Perutku mual melihatnya.
Aku tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya memohon agar ada pertolongan dari orang luar. Rasa sakit terus menyengat hatiku, aku tak sanggup lagi.
Aku ingin keluar dari sini. Karena terlalu gegabah, aku menjatuhkan sebuah guci yang tidak sadar berada di belakangku. Tetanggaku menoleh ke kolong tangga dan mata kami bertemu. Secepat kilat aku berlari ke pintu dan….
“Angkat tanganmu!” Serombongan polisi datang dan mengerubungi tetanggaku. Semua yang berada di ruangan itu terkejut termasuk aku.
"Sepertinya kami datang tepat waktu sampai-sampai kau belum menghabiskan makananmu, dasar kanibal tamak!” Polisi itu terus menodongkan senjatanya di wajah tetanggaku. Tidak bisa berbuat apa-apa, dia hanya pasrah dan menyerahkan dirinya dalam keadaan celemotan.
“kau akan dihukum 1.000 tahun di penjara atas pembunuhan yang kau lakukan terhadap 10 gadis remaja yang tidak berdosa, termasuk gadis yang tengah kau mutilasi itu.”
Akhirnya, rahasia tetangga suram itu telah berhasil terungkap. Aku memandang sekumpulan petugas polisi yang tengah membongkar dan membersihkan TKP dengan wajah senang. Ku rebahkan tubuhku di sofa.
“Yuna, semoga kau bisa tenang di sana, maafkan aku yang tidak bisa menyelamatkanmu.”
Saat itu, pandanganku menumbuk ke sebuah koran di atas meja kecil. Tanganku meraihnya,
terpajang sebuah kalimat besar yang berisikan:
BEBERAPA MINGGU LALU, HILANGNYA 10 GADIS REMAJA SECARA MISTERIUS DAN BELUM DITEMUKAN HINGGA SEKARANG.
Diantaranya: Meysa, Ririn, Deya, Vina, Liana, Hana, Kiyra, Qina, Yuna dan… “Deva! Itu kan namaku.”
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments
Cut zidda ulya
terima kasih!!!
2022-06-18
1
Ansyanovels
Hai Kak aku mampir and terus semangatt!!
2022-06-09
0