Penumpang Yang Menunggu Di Jembatan

"Ini ongkosnya, Bang, terima kasih." Wanita paruh baya itu menyodorkan selembaran uang rupiah kepadaku.

Tanganku langsung meraih upah tersebut sembari menyunggingkan senyum. "Jangan lupa kasih bintang limanya ya, Mbak."

Dia hanya mengangguk lalu berlari kecil memasuki rumahnya. Setelah menyadari wanita itu sudah hilang dari pandangan, aku pun menyalakan motor dan bergegas pulang.

Namaku Dimas Andrean, kerap kali disapa oleh kebanyakan orang dengan sebutan Bang Aan. Seperti yang kalian lihat, aku adalah seorang ojol. Sudah lebih dari lima tahun aku bekerja sebagai tukang pengantar orang. Walaupun terbilang lelah karena harus bekerja di jalan bahkan harus tahan banting dengan keadaan apapun, tapi pekerjaan ini melebihi cukup untuk menghidupi kebutuhan diriku sendiri.

Bulan bersinar samar. Tak ada bintang yang bergelantungan, awan juga terlihat sangat pekat. Sepertinya akan mendung. Aku memilih bertandang sebentar ke sebuah warung untuk makan beberapa suap nasi. Setelah salat Dzuhur tadi, perutku belum terisi. Lumayanlah, rezeki hari ini tumpah ruah jadi makan pun terlewatkan.

"Bang, bungkus nasi goreng satu, ya. Pake telur mata sapi dan jangan terlalu pedes." Pesanan akan sampai beberapa menit lagi, aku pun mengedarkan pandangan untuk mencari tempat duduk.

Kursi paling ujung terlihat kosong, langsung saja ku langkahkan kakiku menuju ke sana. Untuk mengusir rasa jenuh, aku memainkan game di handphone. Suara obrolan ringan dari pemuda-pemuda di sebelah ku memecah keheningan dalam warung yang tampak sepi.

Sesekali aku menguping pembicaraan mereka. Sampai pada topik yang menarik perhatian ku, tanganku langsung berhenti berseluncur di layar handphone. Ku dekatkan rapat-rapat telingaku agar terdengar dengan jelas.

"Kalian tahu tidak, akhir-akhir ini aku mencoba lewat dari jalan Jembatan Padaraya. Rupanya itu jalan pintas menuju kota Kere, sangat dekat malah. Tapi, kenapa jalanan itu sepi ya padahal kan tak payah capek-capek putar balik dari jalanan jauh." Pemuda berkumis tipis mulai bercerita.

"Jon, Lo nggak usah lewat situ lagi, deh!" Pemuda bertubuh gemuk menimpali.

"Kenapa, Di? Bukannya lebih hemat bensin kalau kita lewat jalan itu."

"Gue juga pernah lewat situ, Jon. Sampai suatu kejadian yang bikin gue selalu dihantui dan nggak nyaman kalau udah kemana-mana sendiri. Gue rela ambil jalan sejauh mungkin supaya nggak ketemu lagi dengan muka jembatan itu." Muka ketakutan dari pemuda keriting mulai nampak ke permukaan. Yang lainnya juga sama, suasana seketika berubah drastis.

"Apa yang terjadi emangnya?"

"Saat itu, gue baru pulang dari kerja part time di toko kue sebelah. Itu udah tengah malam dan juga adek gue berkali-kali nelpon buat pulang secepatnya karena nyokap gue lagi sakit. Seperti yang Lo bilang, Jon, daerah situ emang yang paling dekat jadinya gue ngambil lewat situ lah. Jalannya sepi banget sedikit pun nggak ada kendaraan yang lewat. Gue ngebut lah takutnya ada apa-apa nanti. Sampai setengah perjalanan, gue nggak tahu datangnya darimana seorang perempuan udah berdiri di depan gue, rem mendadak lah gue. Tapi, pas gue lihat tu orang udah nggak ada di tempat. Panik lah gue, walaupun udah ngerem tapi sempat juga kena sama badan depan motor gue. Tiba-tiba, ada yang nepuk bahu gue. Gue balik lah ke belakang dan...."

Suara notifikasi dari ponselku mengejutkan suasana yang mendebarkan itu. Bersamaan dengan datangnya pesanan ku tadi. Aku yang juga terperangah langsung meminta maaf karena sudah memotong cerita asyik mereka. Nampak dari raut wajah mereka yang kelihatan tidak senang karena telah menganggu, aku pun segera angkat kaki dari tempat itu.

Di luar warung, aku mulai mengecek notifikasi apa yang masuk. Rupanya pemberitahuan dari aplikasi Gojek bahwa lima bintang sukses terkirim dengan nama Misnawati. Aku tersenyum puas, pemasukan uang bertambah lagi. Alih-alih dengan rasa senang yang menggebu, seketika aku tertegun ketika mataku menilik angka di sudut handphone, sudah pukul setengah sepuluh. Berkisar dua jam lagi, pintu rumah sudah di kunci.

Langsung saja aku menghidupkan mesin motor dan tancap gas menuju rumah.

Ketika di perbatasan jalur dua, dering ponsel memaksaku untuk berhenti. Ku rogoh benda pipih tersebut dan tertera sebuah panggilan dari nomor tak dikenal. Aku pun mengangkatnya.

"Halo?"

"Eummm, Mas ojol bisa anterin saya pulang, nggak? Soalnya saya lembur tadi, ini saya udah pulang tapi karena kemaleman nggak ada satupun taksi yang lewat. Mas bisa kan?"

"Oh, bisa Mbak. Mbak tenang aja, kasih tahu saya lokasi Mbak di mana?"

"Saya ada di jembatan Padaraya, Mas."

Jembatan Padaraya? "Oke, oke saya segera ke sana!"

Sambungan pun terputus. Aku langsung putar balik menuju lokasi yang ditentukan tersebut. Sesampainya di tempat tujuan, aku mengedarkan pandangan untuk mencari seseorang yang menelpon ku tadi. Tak perlu lama, aku sudah menemukan seorang perempuan berdiri tak jauh dari keberadaan tempuh ku. Aku yakin pasti dia karena memang tidak ada seorangpun di sini.

"Mbak yang tadi telpon kan?"

Dia mengangguk. Aku tak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena kepalanya menunduk. Rambutnya yang panjang menutupi sisi-sisi pipinya.

"Yaudah, Mbak, Silahkan naik."

Setelah perempuan itu naik ke jok belakang motor ku, kami pun berangkat.

"Mbak, mau dianterin ke mana nih?"

Tidak ada jawaban darinya. Aku pun mengulang pertanyaan kembali, tetap tak mendapat respon apapun. Perasaan ku mulai tak enak. Aku pun melirik dari kaca spion, tidak ada yang mencurigakan. Tak mau berpikir yang aneh-aneh aku mencoba untuk diam saja dan terus membawanya jalan.

Serasa waktu berjalan begitu lambat, dari tadi kami seperti berputar-putar di sekitaran jembatan. Hanya itu-itu yang terus kami lewati. Aku mulai kesal, kalau seperti ini aku tak bisa pulang ke rumah dan makan nasi goreng dengan tenang.

"Mbak, ini mau sampai kapan kita sampainya? Dari tadi Mbak diam aja, gimana saya mau tahu di mana tujuan Mbaknya!"

Entah aku salah dengar atau tidak, tiba-tiba, aku menangkap samar suara tawa cekikikan di belakangku.

"Di sini aja, Mas."

Akhirnya perempuan tersebut bicara juga. Tak terlalu peduli dengan apa yang terjadi, aku pun berhenti. Saat ku tengok ke arah keberadaan perempuan tersebut, aku tertegun tak ada siapa-siapa di sana. Tiba-tiba, suara getar dari saku celanaku mengusir rasa keterkejutan ku. Langsung ku tekan tombol hijaunya.

"Mas, dimana sih! Sudah 20 menit saya tunggu, kok Mas nggak datang-datang. Saya batalin aja ya, Mas. Sudah saya suruh jemput dengan Abang saya nih!"

Tubuhku seketika membeku. Tak tahu harus bereaksi apa lagi. Jantung ku sudah berpacu cepat. Gemetar, keringat dingin, takut semua bercampur menjadi satu. Hingga, tepukan halus menyadarkan ku. Ku turunkan handphone perlahan, masih terdengar suara kesal dari seberang.

"Mas, makasih udah dianterin."

Bau amis menyebar menusuk hidung ku. Kaki ku sangat lemas rasanya aku ingin mati ketika sosok yang berbicara tersebut sudah berdiri di hadapan ku. Mukanya hancur berantakan, Bolong dimana-mana. Bekas tusukan di leher menyeruak keluar menampakkan daging yang sudah kecoklatan. Di kedua telinganya mengalir darah segar. Tangannya terulur kepadaku menampakkan sebuah bola mata yang masih utuh.

"Ini ongkos untuk Mas."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!