Mati Lampu

Imam di depan mengakhiri zikir yang sejak tadi berlangsung mengiringi waktu isya itu. Semua santri dan santriwati langsung mengambil langkah menuju ke kelas masing-masing untuk belajar kitab. Di tepi jalan berbukit, tampak dua orang lelaki sengaja singgah terlebih dahulu di kedai kecil yang bersebelahan dengan mushala untuk mengisi perut yang sudah keroncongan sejak salat isya tadi.

Mereka menunggu pesanan dengan tergesa-gesa karena 10 menit lagi kelas akan dimulai. Hidangan mie goreng pun sudah disajikan oleh Ibu penjual, mereka langsung menyantap makanan tersebut di bangku panjang. Di atas langit sana, bintang tak terlihat jelas, bulan bersembunyi di balik awan. Malam yang sangat pekat menemani kedua lelaki itu.

Belasan sandal telah berjejer rapi di depan pintu kelas, termasuk juga sandal jepang berwarna putih yang kilap dengan noda hitam yang merupakan khas guru mereka itu. Habislah, sepertinya hukuman sebentar lagi menanti mereka. Kedua lelaki itu pun patah-patah membuka daun pintu, puluhan pasang mata langsung tertuju ke arah mereka.

Deheman terdengar keras dari seorang pria paruh baya yang duduk tanpa menoleh sedikitpun. Dengan wajah tanpa dosa, keduanya masuk dan menjulurkan tangan bermaksud untuk menyalami pria tersebut.

“Darimana aja kalian?” Suaranya terdengar dingin.

Tak ada sambutan dari tangan gurunya itu, keduanya menarik balik tangan mereka. Lelaki berambut ikal menggaruk tekuk sembari menatap teman sebelahnya, memberi kode, tak sanggup menjawab. Yang ditatap hanya bisa menghela napas sebenarnya ia juga ketakutan tapi tutup mulut pun tak bisa memberikan solusi terbaik.

“Eumm, kami tadi makan di kedai Buk De, Ustad. Perut kami udah meronta-ronta dari Isya, nggak sanggup kami nahan lagi.”

“Apa kalian nggak makan sore di dapur tadi?”

“Nggak sempat, Ustad. Kami disuruh kerja bakti bersihin mushala dan tempat wudhu sama Ustad Devan.”

Pria paruh baya yang bernama Fahri itu tak merespon lagi. Kali ini, keberuntungan berpihak kepada mereka, alasan mereka bisa dimaklumi. Ustad fahri langsung menyuruh duduk keduanya, melanjutkan kembali pengajian yang sempat tertunda.

Sekitar 20 menit membahas tentang bab pembagian harta warisan, Ustad Fahri berhenti sejenak. Pandangannya menyapu sekitar, sorot kebingungan dari anak-anaknya terlihat jelas. wajar saja, bab ini memang cukup berat untuk dipelajari, butuh pengulangan ekstra untuk bisa ditangkap oleh otak.

“Ada yang ingin bertanya?”

Tak sampai sedetik pun, tiga atau lima acungan tangan sudah menyerbu ucapan Ustad Fahri sebelumnya. Senyum tipis terlukis di bibirnya, beliau langsung mempersilahkan murid-muridnya untuk bertanya. Salah satu diantara mereka, lelaki bertubuh gemuk, Dean, melontarkan pertanyaan terlebih dahulu. Isi pertanyaannya tentang bagaimana hukum pembagian warisan bagi anak angkat.

“Anak angkat tidak berhak mewarisi, tapi bisa diberikan Hadiah. Jumlah dari keseluruhan Hadiah tidak boleh lebih dari 1/3 (sepertiga) dari total keseluruhan harta waris.” Begitu jawaban singkat dan jelas dari Ustad Fahri yang membuat si penanya manggut-manggut mengerti.

Setelah itu, dilemparkan dengan pertanyaan lainnya. Tak terasa menit terus berputar dan semua pertanyaan sudah terjawab ludes oleh Ustad Fahri.

Tanpa disadari, di luar sana, langit sudah semakin gelap menumpahkan sedikit demi sedikit kandungan air hingga membentuk hujan. Petir sesekali menyambar membuat suara menggelegar yang memekakkan telinga. Ustad Fahri memilih berhenti sejenak sebelum membahas kembali lanjutan bab harta warisan.

“Ustad, boleh izin kamar mandi, nggak? Si Abian nih kebelet BAB!” ucap seorang lelaki di bangku ujung dekat tembok, mengacungkan tangan.

“Nggak ada izin-izin. Kalian tadi baru masuk dan sekarang udah minta keluar lagi. Tunggu aja sampai pulang nanti.”

“Please ustad, sumpah ini dah mau keluar nggak tahan lagi!” Lelaki yang bernama Abian itu sudah berdiri sambil memegang perutnya.

Ustad Fahri menghela napas, benar-benar merepotkan. Akhirnya beliau mengizinkan kedua lelaki itu untuk pergi ke kamar mandi.

...***...

“Cepat, bodoh!” Abian menarik paksa tangan sohibnya, Alzam, yang terlalu lambat berjalan, sengaja menikmati suasana luar kelas.

Kamar mandi berada di ujung ruang multimedia—yang terletak berseberangan dengan ruang belajarnya—sehingga mereka harus melewati lapangan upacara, menembus hujan yang semakin deras. Tiba di tempat tujuan, Abian langsung masuk dan memenuhi hajatnya.

Hening seketika mengambil alih menyisakan Alzam yang berdiri sendirian, matanya menyapu sekeliling.

Dingin mulai menggerogoti pori-porinya, dia membalut tubuhnya dengan memanfaatkan sarung yang dipakainya. Beberapa menit sudah berlalu tapi Abian belum juga keluar. Alzam yang mulai jengah, mencoba mengetuk pintu.

“Abian! Cepetan! Ngapain aja kau di dalam?Lama kali!”

“Iya, tunggu sebentar lagi!”

Lelaki itu menghentakkan kakinya, geram. Bisa-bisa berlumut dia menunggu Abian sangking lamanya. Dia kembali mondar-mandir tak jelas seorang diri. Tak lama setelah itu, terdengar gemuruh yang sangat keras, menghantam bumi.

Dan mendadak seluruh lampu padam. Gelap menyergap sekitar. Alzam ketakutan setengah mati, keringat dingin mulai mengucur membasahi tubuhnya. Kali ini dia memanggil Abian dengan keras, menggedor pintunya kencang. Tapi malah tak ada jawaban apa-apa yang didapatkannya.

“Anj*ng, Abian laknat! Disaat begini pun dia belum juga keluar. Ya Allah, maafkan Alzam, tolong lindungi Alzam dari segala hal yang mengerikan, dari setan yang tiba-tiba muncul dan dari apapun itu.”

Alzam mengangkat tangannya tinggi-tinggi, mulutnya komat-kamit membaca doa seperti dukun yang menyemprotkan mantra. Jantungnya berpacu cepat, matanya mulai berair tak tahu harus melakukan apa di situasi yang diliputi kegelapan ini.

Hingga keajaiban datang, lampu pun hidup lagi menyebarkan cahaya ke seluruh penjuru madrasah. Puji tuhan yang maha Esa, Alzam melonjak girang sekaligus kaget ketika seseorang menepuk pundaknya. Dia menoleh dan menemukan Abian berdiri, memasang wajah datar.

“Sialan, sekarang baru kau menampakkan batang hidungmu. Kemana aja tadi? Kau tega meninggalkan aku sendiri, Abian!” Alzam berucap dengan bumbu dramatis.

Abian mengedikkan bahu, tak peduli. Buru-buru dia menarik tangan Alzam dan membawanya pergi.

Hujan sudah agak reda walaupun air yang turun belum sepenuhnya berubah gerimis. Di ruangan kelas yang masih berpenghuni, dengan wajah yang melukiskan berbagai ekspresi setelah kejadian mati lampu, mereka masih menunggu keputusan dari Ustad Fahri. Jam baru menunjukkan pukul setengah sepuluh yang artinya setengah jam lagi pembelajaran akan berakhir.

Namun karena kondisi yang tidak mendukung, Ustad Fahri pun memperbolehkan mereka untuk pulang lebih awal. Rasa takut yang semula hinggap langsung berganti dengan senyuman cerah yang mendominasi. Semua beranjak dari tempat duduk, berhamburan keluar dari ruangan.

Tanpa disadari, mereka melupakan satu

hal penting yaitu dua lelaki yang belum balik dari kamar mandi itu.

...***...

“Hei! Kenapa kita kemari? Kelasnya kan ada di sana!” Alzam melepas kasar pegangan tangan Abian, menatapnya tajam. Sekali lagi, Abian hanya mengedikkan bahu, tak merespon ucapan Alzam.

Hingga senyum menyeringai terbit membentuk lengkungan lebar di wajahnya. Alzam bergidik ngeri, dari tadi sikap Abian sangat aneh.Tak mau berpikir macam-macam ia langsung menarik Abian memutar arah menuju habitat asal mereka.

Keadaan kelas masih sama, Ustad Fahri pun masih bertengger manis di tempat duduknya. Keduanya melangkah masuk bersisian dan merebahkan diri ke bangku mereka dengan tenang, memasang kembali telinga untuk menyimak.

Entah karena baru balik atau memang perasaannya yang menegur, suasana menjadi sesak dan dingin. Aura aneh menebar ke seluruh kelas. Alzam merinding lantas ia mencolek bahu Abian bermaksud ingin bertanya.

Tiba-tiba, Abian berdiri, mengebrak meja. Kepalanya memutar ke arah Alzam, bukan, lebih tepatnya berputar-putar seperti gasing. Lalu kepalanya lepas begitu saja, terlempar menabrak dinding ruangan. Percikan darah berserak mengotori dinding tersebut.

Sungguh kejadian yang diluar nalar. Alzam terpaku, terlalu sulit mencerna apa yang terjadi. Detik selanjutnya, ia tersadar bahwa di ruangan itu hanya ia seorang yang nyata, saat beribu pasang mata menodong ke arahnya menampakkan wajah-wajah mengerikan mereka.

Alzam ingin pergi. Tapi, tubuhnya seakan ditahan oleh perekat lem, tak bisa bergerak. Sentuhan halus menggelitik leher Alzam, sebuah makhluk dengan tubuh yang dipenuhi lubang-lubang yang mengalir nanah mendekat. Memeluknya dari belakang. Sontak, Alzam berteriak kencang, menghindar dengan cepat.

“Tolong, jangan sakiti aku. Jangan mendekat!”

Dengan langkah tergesa-gesa, ia menuju ke pintu. Ingin keluar secepatnya. Namun, pintunya malah tak bisa dibuka.

Alzam mencoba mendobrak pintunya, menendangnya tapi tetap saja pintunya masih bergeming. Seketika ia dikejutkan oleh makhluk lain lagi, berdiri di sampingnya, tersenyum lebar seperti momo dengan mata yang menonjol.

Alzam tak bisa berbuat apa-apa, tubuhnya gemetar hebat.

“Kalau memang ini mimpi, tolong, bangunkan aku. Siapapun itu, aku mohon, bangunkan aku dari mimpi mengerikan ini.”

Khi…Khi…Khi

Ketakutannya ditertawakan oleh

makhluk ngesot di sudut sana. Dan itu membuat suasana semakin menambah kesan horor. Tawa lengking tersebut terus bergema seakan memberi instruksi hingga satu persatu, makhluk-makhluk itu datang mendekat hendak mengerubungi Alzam.

Keringat dingin, jantung tak karuan, dan ketakutan yang semakin mengekang membuat kepalanya berdenyut parah. Kesadarannya berangsur-angsur direbut paksa sampai semua menjadi gelap.

...***...

“Astagfirullahalazhim!” Pekik seseorang ketika masuk ke kelas langsung terkesiap melihat Alzam terbaring tak sadarkan diri di lantai. Dia menghampiri dan mengecek kondisi Alzam. Muka pucat dan dingin tapi masih bernapas.

Kemudian, lelaki itu melongok keluar mencari orang yang bisa diajak bantu. Tapi, tidak ada siapa-siapa di lorong hanya dia seorang yang baru datang.

Akan terbuang waktu kalau menunggu yang lainnya datang, dengan bekal tenaga seadanya dia pun menaruh tasnya ke meja dan segera menggotong tubuh Alzam untuk dibawa ke UKM.

Semenjak kejadian itu, Alzam terserang demam selama 3 hari. Dia juga sering berhalusinasi, berteriak-teriak tak jelas seperti orang kesurupan, menunjuk-nunjuk ke sembarang arah seakan di sana ada makhluk yang mau menerkamnya.

Pihak sekolah yang mendengar kabar tersebut membuat keputusan dengan memulangkan Alzam sementara waktu untuk memulihkan keadaan

Teman-teman Alzam yang tak sengaja meninggalkannya pada malam itu sangat merasa bersalah termasuk Abian. Lelaki itu sampai menangis melihat sahabatnya terus dihantui oleh peristiwa tersebut.

Tabir masa lalu itu telah terbuka kembali. Menyebabkan nostalgia horor bagi lingkungan sekolah. Kejadian tersebut sudah pernah meneror salah satu murid alumni madrasah lima tahun lalu. Murid itu bunuh diri karena trauma sehingga pihak sekolah menutup rapat kasus tersebut.

Menurut kabar burung, ketika zaman penjajahan melanda, tanah itu sebelum dibangun madrasah pernah digunakan tempat eksekusi, pembunuhan misterius sampai pemujaan setan. Wajar saja jika ‘mereka’ kembali menduduki wilayah asalnya.

Tapi untunglah Alzam tidak melakukan tindakan yang tak lazim. Efeknya tak sampai merusak psikologis lelaki itu. Mungkin setelah kembali ke kampung halamannya ia sudah pulih dan stabil.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!