NovelToon NovelToon

Nightmare Diary

Gloomy Neighbor

Aku melihatnya lagi, di bawah guyuran hujan dia berdiri di depan pintu rumahnya dengan tubuh yang dihiasi lumpur sambil menggenggam sekantong plastik hitam. Dia adalah tetangga baruku, orang yang suram dan penyendiri.

Sejak kepindahannya ke kampung ku, tak pernah sekalipun dia menampakkan batang hidungnya kepada tetangga-tetangga yang lain, baik sekedar untuk menyapa ataupun bersilaturrahmi.

Bahkan tidak ada gosip mengenai asal-usul tetangga baruku itu. Kebiasaannya yang memilih mendekam di gubuk rumahnya membuat warga kampung yang bersahabat dan ramah seketika membisu dan memalingkan muka ketika melewati rumahnya, seakan keberadaannya itu tembus oleh pandangan mata.

Pada saat musim hujan tengah menyambut kota, aku sering melihatnya pulang dengan menggunakan jas hitam sambil menenteng sebungkus plastik hitam di tangannya. Entah apa isi di dalamnya, aku tidak terlalu peduli.

Barangkali dia hanya ingin keluar ketika keadaan sedang sepi, untuk membeli beberapa kebutuhan yang sudah ampas.

Dan malam ini seperti biasa dia melakukan alurnya lagi. Karena terus-menerus terjadi, kini rasa penasaran menggelayut diriku seakan menyuruhku untuk menguntitnya. Dia masuk dan menutup pintu, saatnya aku bereaksi.

Aku pun keluar sambil mengendap-endap memasuki pekarangan rumahnya. Beberapa menit kemudian, aku sudah berada di balik pintu depan. Ku buka perlahan kenop pintu, suara derik berseru memecah keheningan. Entah kenapa suasana rumahnya begitu mencekam dan bau amis. Bulu kudukku seketika merinding.

“Kenapa hawa di dalam rumah ini begitu dingin dan menyeramkan?” Gumamku.

Aku mencoba melangkah menjelajahi setiap sisi ruangan. Rumah ini di bangun bertingkat. Aku sedang berada di lantai satu yang tersusun dari dapur, kamar mandi dan ruang tamu.

Aku menuju ke dapur, terlihat bersih walaupun ada sisa-sisa kotoran yang masih berceceran dilantai. Aku menggeledah bagian-bagian yang tertutup. Ku buka laci atas lemari rak piring, kosong.

Selanjutnya meja makan yang ditimpa oleh tudung saji, hanya terdapat bekas piring makanan yang belum di taruh ke wastafel. Tapi, mataku menangkap sesuatu bercak merah yang menempel di sudut meja yang beralas kain. Percikan merah itu jatuh membentuk sebuah jejak dan berhenti tepat di bawah badan kulkas.

Aku mendekat ke benda tersebut kemudian ku buka pintu kulkas. Tidak ada barang mencurigakan di sini, hanya makanan penutup, buah-buahan serta seonggok daging yang di plastik rapi. Aku menghela napas, ku tutup kembali kulkasnya. Lalu Aku melanjutkan menyelidiki ruangan lain lagi.

Waktu berdetak semakin cepat, tak terasa sudah satu jam aku berada di rumah tetangga baruku ini. Aku mendengus kesal, hasilnya nihil setelah lelah menyusuri semuanya.

“Lebih baik aku pulang saja, daripada ketahuan oleh orang suram itu.”

Aku pun memutuskan untuk kembali ke rumahku. Tapi ketika sudah dekat di ambang pintu, terdengar suara langkah kaki menggema di titik anak tangga. Seketika, ketakutan menjalar di sekujur tubuhku.

Aku berlari ke dapur dan mencari tempat persembunyian. Ku pilih berlindung di bawah meja makan, karena instingku mengatakan dia takkan mengarah kemari. Derap langkah kaki itu semakin dekat dan jelas, sepertinya dia menuju ke sini.

Sial, aku keliru. Bodohnya aku! Ku rapatkan tubuhku di antara kaki kursi, keringat dingin mulai berayun-ayun di dahi. Tubuhku bergetar hebat. Brakkk…Dentuman keras membuatku terkejut setengah mati, sekarang dia berada tepat di atas ku.

“Astaga, Daging ini gurih sekali! Sial, perutku masih meminta jatah lagi. Ck!”

Setelah melontarkan omong kosong, kaki jenjangnya berjalan ke wastafel. Guyuran air mengucur merdu bersama suara nyaring piring yang di gosok.

Aku mendongakkan sedikit kepalaku untuk melihat rupa wajahnya. Badan tegap, rambut

ikal dan kulit yang bersih. Umurnya barangkali berkisar 22 tahun, lebih tua dua tahun dariku. Sepertinya, tidak ada yang menakutkan dari tetangga baruku ini. Lebih baik aku keluar saja dan meminta maaf, tidak sopan juga aku bersembunyi lama-lama.

Saat ingin beranjak dari bawah kolong, sesuatu jatuh ke lantai. Refleks aku segera mengunci mulutku agar tidak berteriak, bagaimana tidak! Di hadapanku terkapar sebuah jari manusia yang dicincang. Nafasku tercekat ketika tangan tetanggaku sedang mengambil benda tersebut.

Saking ketakutannya, aku mundur dan terbentur oleh kaki kursi menimbulkan bunyi gesek yang pasti memicu pendengaran tetanggaku.

Seketika pergerakannya berhenti. Kali ini, aku benar-benar ketakutan setengah mati, air mata mulai mengalir di pipiku. Tubuhnya mulai menurun sedikit demi sedikit dan di tangannya telah mengapit pisau bermata tajam yang siap mengikis kulit.

“Ya tuhan, tolong aku.” Aku hanya bisa pasrah dengan kematian ini.

Tapi tiba-tiba, terdengar suara benturan bersamaan dengan teriakan cempreng dari arah tangga. Kami terkejut, tetanggaku langsung berlari menuju suara tersebut. Aku yang juga ingin tahu mengintip di kolong tangga. Seorang gadis remaja berusia belasan tahun tersangkut di ujung tangga dengan tubuh yang bersimbah darah, kakinya patah tak terbentuk.

“Apa yang kau lakukan, dasar bodoh!”

Tetanggaku marah besar lalu menampar gadis itu yang tengah meraung kesakitan.

“Tolong aku, tolong lepaskan aku.” Gadis itu memohon.

“Cih, kalau sudah rusak begini mau di jual pun tidak laku, lebih baik aku masak dan makan saja dagingnya.”

Tetanggaku menyeret tubuh gadis tersebut dengan kasar. Di campakkannya tepat di hadapanku. Aku tertegun, gadis itu adalah orang yang aku kenal, teman dekatku, Yuna.

“Tidak, ini tidak mungkin Yuna!” Aku berteriak memanggil namanya, tapi dia tidak mendengarnya.

Tetanggaku mulai melakukan aksinya, dia sudah mengikat Yuna dengan kawat tipis. Di ambilnya pisau di atas meja makan dan dimutilasi tubuh Yuna dimulai dari tangan, lalu kaki hingga ke anggota lainnya dengan pelan dan nikmat.

Tak peduli seberapa keras teriakan Yuna berkumandang, dia terus mencabik dan memotong tubuhnya sampai hancur berantakan.

Sekujur tubuhku lemas, baru kali ini aku melihat dengan mata kepalaku sendiri kejadian pembunuhan apalagi yang menjadi korbannya adalah temanku. Darah merembes hingga  mengenai wajahku.

Setelah selesai memotong, dengan wajah terlukis kegembiraan dia mengambil bagian tubuh itu dan dimakannya dengan lahap. Perutku mual melihatnya.

Aku tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya memohon agar ada pertolongan dari orang luar. Rasa sakit terus menyengat hatiku, aku tak sanggup lagi.

Aku ingin keluar dari sini. Karena terlalu gegabah, aku menjatuhkan sebuah guci yang tidak sadar berada di belakangku. Tetanggaku menoleh ke kolong tangga dan mata kami bertemu. Secepat kilat aku berlari ke pintu dan….

“Angkat tanganmu!” Serombongan polisi datang dan mengerubungi tetanggaku. Semua yang berada di ruangan itu terkejut termasuk aku.

"Sepertinya kami datang tepat waktu sampai-sampai kau belum menghabiskan makananmu, dasar kanibal tamak!” Polisi itu terus menodongkan senjatanya di wajah tetanggaku. Tidak bisa berbuat apa-apa, dia hanya pasrah dan menyerahkan dirinya dalam keadaan celemotan.

“kau akan dihukum 1.000 tahun di penjara atas pembunuhan yang kau lakukan terhadap 10 gadis remaja yang tidak berdosa, termasuk gadis yang tengah kau mutilasi itu.”

Akhirnya, rahasia tetangga suram itu telah berhasil terungkap. Aku memandang sekumpulan petugas polisi yang tengah membongkar dan membersihkan TKP dengan wajah senang. Ku rebahkan tubuhku di sofa.

“Yuna, semoga kau bisa tenang di sana, maafkan aku yang tidak bisa menyelamatkanmu.”

Saat itu, pandanganku menumbuk ke sebuah koran di atas meja kecil. Tanganku meraihnya,

terpajang sebuah kalimat besar yang berisikan:

BEBERAPA MINGGU LALU,  HILANGNYA 10 GADIS REMAJA SECARA MISTERIUS DAN BELUM DITEMUKAN HINGGA SEKARANG.

Diantaranya: Meysa, Ririn, Deya, Vina, Liana, Hana, Kiyra, Qina, Yuna dan… “Deva! Itu kan namaku.”

 ***

The Nightmare

Saat itu, aku sedang sendirian di rumah. Orang tuaku sedang menjenguk nenekku yang sedang sakit. Mungkin mereka akan pulang sekitar pukul 8 malam nanti. Rasa bosan menghampiriku di kala itu. Tak tahu harus melakukan apa, Aku memilih berbaring santai di sofa dan menyalakan televisi.

Jariku-jariku mulai mengotak-atik remote control, mencari siaran yang menarik. Ketika tiba di MNCTV, layar televisi sedang menampilkan film Boboiboy the movie 2 yang berarti film kesukaanku. Ku taruh pengendali jarak jauh ini di atas meja yang telah berhasil memilah channel terbaik untukku.

Jam terus berjalan hingga menunjukkan pukul 16.15. Scene falling action terakhir dari film favoritku telah mengakhiri semua adegan para animasi itu. Tapi tak cukup juga untuk mengusir rasa bosan yang sudah merajalela ini. Kalau tidak di suruh untuk menjaga rumah, pasti aku sudah berkeliaran ke rumah teman-temanku.

Aku pun mengambil handphone dan memergoki postingan-postingan yang muncul di permukaan instagram. Sesekali membalas chat yang sudah bertimbun akibat pesan yang sudah lama terabaikan.

Selang beberapa menit, perutku mulai memanggil. Aku menaruh benda pintar ini di sofa dan pergi ke dapur untuk mengambil makanan.

“Untung ada sedikit camilan di kulkas,”batinku meruah senang.

Aku pun mengumpulkan beberapa snack dan soft drink dan membawanya ke ruang sebelumnya. Ketika balik ke ruang TV, tiba-tiba TV-nya menyala. Seingat Ku, aku sudah mematikannya tadi. Ku tepis cepat-cepat pikiran aneh ini dan menyimpulkan bahwa mungkin saja aku lupa mencabut colokannya.

Ku tekan kembali tombol on/off di bawah layar TV, benda elektronik ini langsung mati dengan sekejap. sekilas tampak sebuah bayangan melintas dari layar hitam TV. Aku menoleh ke belakang, tidak ada siapa-siapa. Perasaanku mulai tak enak, aku pun langsung membawa makanan ke kamar saja.

                                   ***

Hari semakin gelap, matahari mulai memasuki tempat peristirahatannya. Jutaan hewan penerbang mulai menjalari cakrawala, pulang ke rumah mereka masing-masing ketika lembayung senja merona di pipi cakrawala.

Saat itu, aku sedang membaca buku. Tiba-tiba, telingaku menangkap suara derap langkah kaki seseorang di ruang tamu. Aku mengira itu adalah orang tuaku yang sudah pulang. Langsung saja aku menuju ke sana. Tapi, ketika aku sudah menjejakkan kaki di ruang tersebut hanya terlihat deretan sofa yang sedang bersantai, barangkali mereka bingung menatapku kenapa aku berada di sini.

Aku yakin tadi aku mendengar suara langkah kaki. Sekali lagi, aku mencoba berasumsi bahwa ini hanya halusinasi. Tiba-tiba, aku tertegun, dari arah kaca jendela seperti ada orang yang berdiri sambil memandang ke arahku. Ketakutan mulai menggerogoti tubuhku.

“Si..apa di sa..na!”

Tidak ada jawaban darinya. Aku pun mendekati jendela dan menyibak gorden agar bisa melihat orang tersebut. Tapi, tidak ada tanda-tanda keberadaan seseorang.

Tok…Tok..Tok..

Terdengar suara ketukan pintu yang sangat keras. Aku benar-benar merasa ketakutan dan panik secara histeris kali ini. Aku pun duduk di atas sofa dan meringkuk, menutup telingaku dengan bantal sofa. Lama-kelamaan ketukannya semakin kecil dan tak terdengar lagi. Karena penasaran, aku pun mengeceknya dengan membuka pintu.

“Tidak ada siapa-siapa, jadi siapa yang ngetuk kencang banget tadi!”

Aku menelan ludah, tubuhku bergetar. Aku ingin cepat-cepat kembali ke kamar tapi, entah kenapa tubuhku seperti patung besi susah digerakkan. Detik berikutnya, tak bisa ku pungkiri. Di depanku berdiri sosok pria berdasi dengan wajah menyeramkan, bajunya berlumuran darah dan di tangannya mengawat sebuah pisau bermata tajam.

Aku tak tahu harus berbuat apa. Jantungku berdegup sangat kencang. Di arahkan pisau tersebut ke arahku sambil tersenyum menyeringai. Aku tak bisa diam seperti ini saja, aku tidak mau mati. Dengan sekuat tenaga, ku gerakkan tubuhku sambil membanting pintu kemudian berlari ke kamar secepat kilat.

Sesampainya di kamar, ku atur napas dan mendekam di atas kasur. Pikiranku masih menangkap jelas sosok pria tersebut.

“Bagaimana ini, bagaimana kalau pria tadi mau membunuhku. Aku harus apa. Aku tak mau mati seperti ini. Ayah, ibu kapan kalian pulang, aku sangat takut!”

Air mataku mengalir deras di pelupuk mata, kepalaku sangat pusing. Ku lirik jam yang sedang tertawa melihatku.

“Menjijikkan!”umpat ku kesal. Waktu seakan mempermainkan ku dengan berdetak sangat lambat. Ku telengkupkan kepalaku di atas bantal, mencari sedikit ketenangan.

“Prang….

Aku tersentak, ketika tiba-tiba mendengar suara benda pecah di luar. Aku langsung bangkit dan keluar dari kamar untuk mencari tahu sumber suara itu.

Aku sudah mencari ke semua ruang tapi tidak ada benda satupun yang pecah, kalau ada pun pasti kepingannya sudah tercecer di lantai. Oh ya, ada satu tempat yang belum aku datangi, Ya dapur aku pun segera ke sana. Setiba di dapur, tidak ada juga benda yang pecah.

“Siapa sih yang resek banget ngerjain orang!”gumam ku kesal. Tiba-tiba, aura dapur berubah menjadi aneh. Indra penciumanku mulai mengecup bau busuk yang menyengat. Aku merasa ada sesuatu di bawah kakiku. Saat kulihat, aku terkejut setengah mati. Potongan tangan dan kaki berserakan dimana-mana. Perutku mual, seketika itu juga aku muntah. Tubuhku berguncang hebat. Aku mundur beberapa langkah hingga menabrak tubuh seseorang.

“KAU!” lagi-lagi aku bertemu dengan pria menyeramkan tadi. Persis dengan pisau yang masih mengait di tangannya.

“Siapa kau, apa yang telah kau buat dengan semua ini, ha!” Aku membentaknya, entah darimana keberanian ini datang. Pria itu tak menjawab malah mengacungkan pisau ke arahku.

“Menjauh dariku!!” Ia seperti tak menghiraukan ucapanku dan malah mendekat. Tak tinggal diam, aku pun berlari menjauhinya. Tiba-tiba, aku tersandung benda keras. Sebuah boneka manekin tergeletak di depan mukaku dengan bola matanya mengeluarkan cairan hitam, ia tersenyum lebar. Aku berteriak dan melemparkan boneka tersebut dengan kasar kemudian segera bangkit.

“Apa yang sebenarnya terjadi, apa aku sedang bermimpi tapi kok kelihatan nyata semuanya.”

“KAU TAK AKAN BISA LARI, DIVA. AKU AKAN MEMBUNUH MU HA.. HA.. HA…”

Aku sangat ketakutan. Keringat satu-persatu mulai bercucuran di dahiku. Bukan hanya mukanya saja yang seram tapi suaranya juga seperti gemuruh yang menggelegar. Aku berlari sekuat tenaga untuk keluar dari rumah ini, tapi dari tadi aku hanya berputar-putar dan tidak melihat satu pun pintu. Aku seakan terjebak di sebuah labirin, padahal pintu kan berada di ruang tamu tapi aku tidak menemukannya juga. Pria tersebut berhasil mengikat jarak denganku. Ia mendorongku hingga jatuh.

“Tolong jangan bunuh aku!” aku menangis keras saat pria itu memegang tanganku. Sayatan pisau terdengar ngilu ketika ia mengikis pergelangan tangan ku. Sakit, perih itu yang ku rasakan.

Tanpa rasa bersalah, Pria itu tertawa hingga mengeluarkan bau daging busuk yang sangat menyengat. Aku meronta-ronta agar bisa melepaskan diri. Tanganku mulai putus, sekuat tenaga ku dorong tubuh kekarnya. Dia terjatuh ke lantai.

“DASAR BOCAH SIALAN, AKAN KU BUNUH KAU HIDUP-HIDUP!”

Aku langsung berlari meninggalkannya. Darah bercucuran lewat pergelangan tanganku yang sudah setengah lepas. “Tolong aku, jika memang mimpi tolong bangunkan aku. Aku tak mau terbunuh di tangan pria menyeramkan itu.”

Aku mulai lelah. Kakiku tak sanggup lagi menopang tubuhku. Hingga aku berhenti dan melihat kedua orang tuaku tergantung di sepintas tali. Muka mereka penuh dengan darah dan nanah, bola matanya hilang dan telinganya putus tak tersisa. Aku lemas melihatnya sekujur tubuhku gemetar.

“KAU SUDAH DATANG BOCAH SIALAN!”

Pria brengsek itu benar-benar mempermainkan ku. Aku menatapnya tajam. “Psikopat sialan, apa yang sudah kau lakukan pada orang tuaku!!”

“AKU HANYA INGIN MEMBUATNYA MENJADI BONEKAKU SAJA, APA KAU KEBERATAN?”

“BAJ*NGAN!! Hu…hu.. kenapa kau lakukan ini. Biarkan aku pergi, aku mohon.”

“HEY, BOCAH PENUH BAC*T HIDUPMU ITU TAK ADA GUNANYA LEBIH BAIK KAU MATI SAJA HA…HA..HA”

Tiba-tiba, kumpulan akar mengikat kaki dan tanganku. Aku tak bisa bergerak. Dengan langkah santai, pria itu mendekatiku sambil tersenyum menyeringai. Kemudian ia mengacungkan pisaunya tinggi-tinggi. Aku menutup mata dan pasrah dengan air mata yang terus mengalir. Lalu dia menusuk dadaku hingga berkali-kali. “ARGHHH!!!”

“DIVA!”

Hah…hahah..aku terbangun bermandikan keringat dingin di seluruh tubuhku. Ku lihat Ayah dan ibu sudah berada di hadapanku dengan wajah cemas.

“Diva kau tidak apa-apa, kau tadi berteriak-teriak saat tidur, Nak. Ibu takut terjadi sesuatu denganmu.”Ibu mengelus rambutku lembut.

Aku mengatur nafasku yang masih tersengal-sengal. Ku usap wajahku seraya membaca doa.

“Ibu, Ayah, aku sangat takut” aku menangis sambil memeluk Ibu. Kedua orang tuaku  saat itu bingung melihatku. Dengan sabar mereka membiarkanku tenang. Setelah enakan, ku ceritakan semua apa yang ku alami di mimpi tadi.

Entah itu nyata atau tidak tapi aku merasa semua yang ku lihat masih terpapar di ingatanku juga rasa sakit yang masih melekat ketika di potong tanganku dan di tusuk jantungku. Ayah dan Ibu terkejut sekaligus tak percaya. Bagaimana mungkin aku bermimpi seperti itu, aku pun tak tahu. Saat itu, aku tidak mau tinggal sendiri lagi di rumah. Takut jika kejadian itu benar-benar nyata.

Ketika Magrib Menjelang

Kita pernah mendengar bukan mitos tentang setan yang berkeliaran ketika magrib tiba. Bahkan orang tua dahulu melarang kita untuk berada di luar rumah. Mengapa? Sebab, mereka percaya bahwa setan akan memburu dan bergentayangan pada waktu itu.

Apakah kalian akan percaya? Aku akan menceritakan tentang kisah nyata yang dialami oleh temanku. Saat itu, aku baru saja pulang dari les ketika matahari mulai tenggelam di ujung cakrawala. Aku yang termasuk anak yang tak suka pulang terlalu cepat, mengunjungi rumah adik sepupuku untuk mengajak dia bermain. Rumahnya terletak bersebelahan dengan rumahku.

“Andri, keluarlah ayo kita main. Kakak sudah pulang nih! Kamu kan ingin melihat senja sore ini!” Teriakku ketika sampai di depan rumahnya.

Aku sudah menganggap Andri seperti adik kandungku sendiri, kemana-mana kami selalu bersama makanya kami terlihat seperti amplop dan perangko. Itu juga karena kami merupakan anak tunggal di keluarga. Jadi kami ibarat sendok dan garpu yang saling melengkapi satu sama lain apalagi jika Andri membutuhkan teman untuk bercurhat. Andri anak yang sangat introvert, dia tidak suka bermain bersama teman sebayanya.

Maka dari itu, aku sebagai kakak yang dekat dengannya harus menemani dia bermain, walaupun capek dan tak sempat beristirahat ketika pulang dari les sekolah. Kami sering sekali bermain di waktu magrib menjelang. Walaupun orang tua kami selalu melarang kami untuk tidak bermain pada waktu itu, karena mereka percaya akan ada makhluk tak kasat mata yang akan menculik anak-anak.

Menurutku itu hanya sugesti yang dibuat oleh orang-orang dulu untuk menakut-nakuti.

“Eh, Kak Alda. Maaf Kak, aku tidak bisa bermain hari ini. Aku sudah berjanji kepada orang tuaku untuk tidak bermain lagi di waktu magrib.”

“Oh baiklah, Kakak juga ingin beristirahat hari ini. Tapi tak apa-apa nih kamu kan sudah berjanji kemarin untuk pergi bersama kakak melihat senja.”

“Yah, sebenarnya agak kecewa sih Kak. Tapi mau bagaimana lagi, Ayahku tadi sudah mengancam ku kalau misalnya aku pergi sama kakak, nanti Ayah akan menghukum ku.”

“Benar juga, Ayahmu kan sangat tegas mana mungkin dia main-main dengan ucapannya. Ya sudahlah Kakak juga tak mau kamu kena masalah lain kali aja ya kita lihatnya.”

“Makasih ya, Kak!”

Aku pun pergi dari hadapan Andri. Setengah perjalanan, mukaku berpaling untuk melihat Andri lagi. Tapi yang kudapati hanya sebuah pintu yang berdiri tegak mematung. Entah kenapa aku merasa kasihan kepadanya, padahal ia sudah menanti-nantikan kalau hari ini ia akan pergi melihat senja.

Aku langsung merebahkan tubuhku ke kasur ketika sudah sampai di kamar. Rasa lelah mengelus ku membuat mataku mengantuk. Ku palingkan wajahku ke kaca jendela untuk menepis rasa kantukku. Saat itu, senja sedang menyelimuti bumi. Menampakkan gemericik jingga yang memikat mata. Mengiringi matahari yang siap kembali ke peraduannya. 

Lantunan ayat suci Al-quran terdengar merdu di masjid yang tak jauh dari rumahku, menandakan adzan sebentar lagi akan dikumandangkan. Aku pun bangkit, ingin menutup gorden jendela sebelum ibu datang, kalau tidak aku akan dimarahi nanti. Tapi tiba-tiba, dari pantulan kaca tampak seorang anak kecil yang sedang berlarian di sekitar halamanku. Aku memperjelas penglihatan. Anak kecil itu mirip sekali dengan Andri.

“Tapi, mana mungkin itu Andri kan dia bilang tidak boleh keluar tadi. Kalau pun itu Andri pasti dia sudah mengajakku mana berani dia keluar sendiri,” batinku menyeru.

Rasa penasaran mendorongku untuk nekat memanggilnya. Ku buka jendela perlahan. Angin sore sedikit demi sedikit masuk dan mulai meraba tubuhku, memberikan sensasi yang tak biasa. Ketika jendela sudah terangkat, tiba-tiba anak kecil tadi sudah lenyap bagaikan di telan bumi. Bulu kudukku mulai berdiri. Cepat-cepat aku menutup jendela, barangkali aku hanya berhalusinasi.

Tapi, ketika jendela sudah ditutup, anak kecil itu sudah berdiri tepat di depan jendela. Aku terkejut setengah mati, bagaimana bisa dia sudah berada di sini seperti sambaran petir, sangat cepat. Setelah diperhatikan, wajahnya persis seperti Andri. Hanya saja diriasi dengan kepucatan dan sayu. Aku bertanya kepadanya apakah ia memang Andri. Dia mengangguk. Aku yang waktu itu tak curiga sama sekali langsung merasa bersyukur karena itu memang Andri.

“Kok kamu pergi bermain, tadi katanya nggak dikasih!”

“Aku sudah diberi izin tadi, Ayolah Kak temani aku main!”

Aku merasa suara Andri kaku dan agak strange. Tapi, aku tidak peduli. Yah, bisa jadi suaranya serak karena terlalu banyak makan es krim. Tiba-tiba, sentuhan dingin menusuk ke dalam tulangku, membuat bulu kudukku meremang. Aku merasa aneh tapi langsung ku tepis jauh-jauh pikiran tak menentu ini.

Langit sudah menuangkan cairan hitam di sela-sela gumpalan awan, menandakan malam akan segera tiba. Aku tak mungkin keluar lagi dan ku tolak ajakan Andri. Entah kenapa, ia malah menatapku tajam seperti elang yang ingin memangsa.

“Kalau begitu biarkan aku masuk!”

Aku mulai heran, Andri kan cara bicaranya tak pernah sekasar ini. Karena merasa kasihan aku pun mencoba untuk membuka jendela saja, apalagi cuaca senja sudah mulai menua. Tapi, ketika jendela sudah diambang, suara ketukan pintu terdengar keras dari luar kamarku. Ibu masuk dan melihatku masih berada dikamar langsung mengomeli ku.

“Udah adzan dari tadi kamu masih bernaung dikamar, cepat pergi salat sana! Itu lagi jendelanya masih terbuka. Apa kamu tak dengar apa yang ibu bilang, tutup gorden beserta jendelanya kalau nggak nanti masuk setan. Aduh kamu ini!”

“Tapi Bu, ada Andri tadi di luar”

Aku menoleh ke arah jendela, dan aku tidak melihat batang hidung Andri lagi. Dia hilang secara misterius.

“Mana Andri, kamu ini kebanyakan ngeyel ya?! Lagipula mana mungkin Andri keluar magrib-magrib, pasti dia akan dimarahi Ayahnya. Sudah, cepat kamu ambil wudhu sana!”

Tanpa pikir lagi, aku pun langsung menuruti perintah Ibu.

Keesokan harinya, aku datang ke rumah Andri dan menanyakan apakah dia ada bermain di luar selepas lantunan adzan digemakan. Andri menjelaskan bahwa dia tidak keluar sama sekali, bahkan pintu rumahnya sudah di kunci setelah aku bergegas pulang ke rumah.

Aku pun merinding hebat, kalau bukan Andri jadi siapa??

Aku pun menceritakan kepada Andri kronologi kejadian yang aku alami semalam. Dia pun merasa sangat terkejut dan ketakutan. Semenjak itu, kami tidak pernah lagi bermain ataupun keluar ketika magrib menjelang. Aku memutuskan untuk menemani Andri bermain di hari minggu saja. Dan satu lagi, aku merasa sangat bersyukur karena ibu datang tepat waktu kalau aku buka jendelanya entah apa yang akan terjadi.

Itulah kejadian nyata yang dialami oleh temanku, bahwa kepercayaan orang-orang dulu itu fakta.

Bahkan dalam hadist rasulullah pun menjelaskan larangan ke luar rumah ketika magrib. Karena dimana saat magrib, spektrum warna alam berubah menjadi selaras dengan frekuensi jin dan iblis yaitu spektrum warna merah. Saat itulah tenaga iblis dan jin sangat kuat disebabkan oleh resonasi yang dimilikinya bersamaan dengan warna alam.

Maka dari itu, jangan keluar lagi ya pada saat magrib.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!