Ketindihan

Kamis pagi, sehabis mengelilingi jalanan setapak bersama adek sepupuku, Ovie, dengan berboncengan sepeda kami singgah di sebuah warung kelontong di dekat kota.

Ketika tiba di depan warung, kami tak melihat si empunya biasa berdiri menyambut dengan ramah. Aku pun mengintip dari balik tumpukan jajanan kering. Terdengar suara kasak-kusuk di dalam sana.

Ovie mencoba memanggil si pemilik warung. Keluarlah seorang pria paruh baya yang bermata sipit sedang memegang kotak besar. Dia adalah pria Cina yang kerap dipanggil Koh Ming.

Sepertinya dia tengah menyusun barang-barang yang baru di impor. Terpaksa dia harus menunda tugas nya dan beralih menemui kami.

"Hayya, pagi-pagi sudah datang kemari budak-budak nih. Mau beli apa kalian, hah?"

Aku dan Ovie saling lirik, lalu tersenyum penuh arti.

"Koh Ming, sebelum itu, boleh nggak kalau kami bantu Koh untuk nyusun barang nya pasti banyak kan?"

Wajah Koh langsung berubah cerah, "Oh, Boleh banget! Kalian memang budak-budak baik hati lah. Sini, masuk aja!"

Aku dan Ovie pun masuk, lantai warung penuh dengan barang-barang berceceran. Kami bergerak mengambil satu persatu kotak, mengeluarkan isinya dan meletakkannya di etalase kayu. Toples-toples kue ditata vertikal di atas etalase tersebut. Kemasan sachet kami gantung di atas papan yang terpasang di langit-langit.

Sampai jam di dinding warung Koh Ming berdentang menunjukkan pukul sembilan, pekerjaan akhirnya selesai. Pembeli sudah mulai berdatangan, melambai dari luar, menyatakan dagangan yang ingin dibeli. Koh Ming menyuruh kami untuk istirahat terlebih dahulu. Lalu dia balik kanan untuk meladeni pembeli.

Aku dan Ovie duduk di bangku panjang di sudut. Mengamati transaksi jual-beli Koh Ming, tak lambat, gesit dan teratur. Pembeli merasa puas dan pamit pulang. Tapi belum berselang dari pembeli tadi, pembeli lain sudah mengambil alih, seterusnya dan seterusnya hingga menjadi ramai.

Koh Ming terlihat kewalahan. Aku pun bangkit, memberi kode ke Ovie lalu menghampiri Koh Ming, menawarkan diri untuk membantu nya lagi.

"Hayya, nggak enak hati lah, Koh. Nggak papa nih, kalian baru saja membereskan tugas berat, nggak mau istirahat aja dulu."

"Santai aja, Koh. Kami nggak merasa keberatan kok."

"Baiklah, kalau gitu. Kalian bisa ambil kan belanjaan yang diminta sama pembelinya. Kalau tak bisa ingat, itu ada kertas, catat saja."

Kami mengangguk mengerti. Langsung beroperasi cepat.

Warung ini merupakan warung terlaris di ibu kota. Selain sifat Koh Ming yang ramah, tempatnya juga menjadi pusat perhatian bagi orang-orang yang berlalu lalang. Dinding yang bernuansa merah terang berhiaskan pernak-pernik naga dan bunga dandelion menjadi ornamen khas di sekitar nya. Wajar saja, setiap pagi hingga petang penjualannya selalu laris habis dengan laba yang begitu besar.

...***...

"Dira, Ovie, kemari bentar!" Koh Ming yang sedang menghitung uang, memanggil kami.

"Ada apa, Koh?"

"Ini upah kalian karena udah bantu, Koh. Makasih banyak untuk hari ini. Jarang-jarang ada anak muda seperti kalian yang berkenan membantu orang tua seperti ini." Koh Ming memberikan beberapa lembar amplop merah kepada kami yang langsung kamu sambut dengan suka cita.

Sebetulnya niat membantu Koh yang terselubung di hati kami pertama kali adalah untuk mendapatkan upah. Yang tadinya ingin membeli sesuatu malah terjebak bekerja dengan Koh. Benar-benar pikiran yang licik tapi itulah yang terjadi. Dikarenakan juga Koh yang super dermawan memunculkan banyak peluang bagi kami.

Setelah itu, kami pamit pulang. Matahari juga sudah mulai tenggelam ke peraduan, meninggalkan bercak-bercak jingga di hamparan langit. Kalau sedikit saja terlambat bisa-bisa kami kena marah Ibu.

Selepas salat magrib dan makan malam, aku memilih untuk menonton TV mencari channel yang menarik.

"Kak Dira! Kita nonton film Drakor aja yuk! Aku ada rekomendasi film terbaru untuk kakak. Bagus loh filmnya!" Ovie mendadak muncul, mengagetkanku.

Oh ya, Ovie akan menginap di rumahku selama beberapa hari. Paman dan Bibi menitipkan dia kepada keluargaku  untuk menjaganya sementara waktu karena mereka pergi ke luar kota untuk berbisnis. Merepotkan sih, tapi karena itu amanat yang harus dilaksanakan jadi aku harus menerimanya.

Seperti sekarang ini, permintaannya tak mungkin aku tolak karena akan berdampak buruk bagiku juga. Dia akan menangis dan mengadu kepada Bibi nanti. Asal kalian tahu, Ovie itu anak yang cengeng padahal sudah kelas 8 SMP.

“Yaudah, kita nontonnya di kamar aja ya, pake laptop Kakak.”

Ovie bersorak kegirangan mendengar jawabanku, terlalu bersemangat dia melangkah duluan ke kamar. Aku hanya geleng geleng kepala selanjutnya pun bangkit dari karpet bulu, mematikan layar TV dan menyusul adek sepupuku itu.

Laptop putih bermerek Asus sudah diletakkan di atas kasur, memposisikan badan dengan nyaman, lalu membuka website tontonan Drakor. Film yang direkomendasi oleh Ovie berjudul Death Bell bergenre horor.

“Kamu yakin mau nonton ini? Nanti udah takut.”

“Tenang aja, Kak. Nggak serem-serem kali lah filmnya, masih bisa aku nonton.”

“Okelah kalau gitu.” Aku pun meng-klik pemutaran video, film mulai berjalan.

Sekitar setengah jam, ketika sudah sampai ke pertengahan film, adegan-adegan mengerikan disuguhkan satu persatu. Film yang berkisah tentang terror yang  harus dihadapi 20 orang murid pintar di Chang-in High School. Para murid terpilih tersebut diketahui harus mengikuti pelajaran tambahan yang diadakan pada liburan musim panas sebagai persiapan memasuki perguruan tinggi.

Beragam pembantaian muncrat menghiasi setiap layar laptop, suara-suara teriakan dari pemeran seakan membuat film seperti nyata dialami oleh mereka. Aku menyukai film yang seperti ini dan mulai menikmatinya.

Ovie yang berada di sampingku mulai menutup-nutup mata, teriak-teriak tak jelas dan lebih nyebelinnya dia malah gelendot ke tubuhku ketika aksi brutal itu terjadi. Aku merasa risih tapi hanya bisa pasrah sambil tetap fokus menatap layar laptop.

Selang beberapa menit, ku lihat Ovie sudah terkantuk-kantuk, tubuhnya oleng sesekali tapi memaksa diri untuk tetap menonton. Aku yang kasihan menyuruhnya untuk berbaring duluan. Dia langsung melebarkan jarak denganku dan tergeletak di sudut ranjang. Sekejap, tidurnya sudah terlelap.

Malam semakin larut, suasana juga sudah mulai sunyi. Hanya suara dari laptopku yang masih bising memecah keheningan sekitar.

Aku tersenyum ketika film berakhir, ending yang cukup memuaskan. Mataku melirik ke jam dinding, jarumnya berdiri di 23.30 WIB, ku tutup langsung laptopku dan beranjak ke kamar mandi untuk buang air kecil dan menggosok gigi.

Setelah selesai bilas-membilas, aku memilih untuk minum putih sebentar. Hingga, tiba-tiba mataku menangkap sebuah bayangan hitam berdiri di balik jendela ruang tengah.

"Siapa di sana?" Tidak ada jawaban. Aku yang mengira itu mungkin orang iseng yang sengaja mengerjaiku, mencoba mengeceknya. Entah terhempas angin atau apa, bayangan hitam itu menghilang tak berapa lama.

Tubuhku merasa merinding, hawa juga terasa aneh, secepat kilat aku kembali ke kamar. Tiba di ambang pintu, dari dalam, terdengar suara seseorang berteriak. Aku mengintip, bukannya tak mau masuk aku hanya ingin memastikan dulu apa yang terjadi.

Di sudut sana, Ovie yang masih terpejam matanya terlihat tengah melawan--tapi tidak ada siapa-siapa. Menghempas-hempaskan tangannya ke udara, meronta-ronta seperti orang kerasukan.

Aku langsung panik dan melangkah mendekat. Ku goyang-goyangkan bahunya kencang sembari memanggil namanya keras.

"Ovie!! Ovie! bangun, Vie!!"

Tersentak, dengan wajah yang begitu pucat, keringat dingin membasahi pelipisnya. Ketika melihat ku Ovie langsung menangis, memelukku.

"Kak, aku takut! ada hantu, Kak! Tolong aku, aku nggak mau mati!"

"Hantu? Mana da hantu, tadi kakak di sini nggak ada siapa-siapa."

Ovie melepaskan pelukannya, matanya memindai sekitar. Benar, tidak ada siapa-siapa hanya dia dan kak Ovie.

"Tapi, tadi itu ada, Kak. Aku nggak bohong. Tolong percaya sama aku." Air matanya kembali menetes.

"Yaudah, besok kamu ceritain semuanya sama kakak apa yang terjadi. Sekarang kamu harus tidur, kakak juga akan tidur."

...***...

Karena kejadian tadi malam, Ovie sampai mengalami demam. Ku bawakan semangkuk bubur untuknya dan obat.

"Kak, aku ingin cerita tentang tadi malam."

"Kamu kan lagi sakit, jangan banyak ngomong dulu. Istirahat saja, nanti kalau udah sembuh baru cerita."

Ovie menggeleng. Dia bersikeras membujukku untuk mengizinkannya bercerita. Baiklah, kalau itu mau dia.

Ovie pun menceritakan kejadian yang dialaminya. Ada dua makhluk mengerikan mendampingi di kanan-kirinya. Yang satu berbaring dengan balutan kain putih, muka gosong dan satunya lagi berdiri dengan wajah kerut dan mata bolong satu sambil memandang lekat ke arah Ovie.

Keduanya menganggu Ovie dengan cara yang tak patut. Makhluk bermata bolong mengelus-elus wajah Ovie lalu menutup mulut Ovie yang membuatnya hampir saja kehabisan napas dan satunya lagi tidur berdempetan dengan Ovie, meniup-niup telinganya mengeluarkan bau busuk menyengat.

Aku merinding mendengar kisah ini. Ketakutan masih terlihat jelas di wajah Ovie. Dia menangis untuk kedua kalinya. Ku peluk dia untuk memberikan ketenangan.

"Ovie, sebelumnya kamu pernah ngalamin hal kayak gitu, nggak?"

"Nggak pernah, Kak. Baru kali ini."

"Apa ada sesuatu yang kamu lakukan atau pergi kemana gitu sampai harus ketindihan kek gitu?"

Ovie terdiam. Kali ini tak berani menatap ku. Hingga beberapa detik berlalu, baru dia angkat bicara.

"Aku diam-diam ada ngambil kue putih di warungnya Koh Ming, Kak."

"Aduhh, kenapa kamu ambil milik orang sembarangan. Kan jadinya kamu sendiri yang kena dampaknya!"

"Maaf, Kak. Kuenya kelihatan enak. Aku nggak tahan."

Aku menghela napas. "Yaudah, besok kita minta maaf sama Koh Ming dan bilang yang sejujurnya."

Ovie mengangguk lesu.

Keesokan harinya, pukul delapan pagi, kami sudah nongkrong di depan warung Koh Ming. Tak seperti kemarin lalu yang terlihat sibuk hari ini dia sedang duduk santai, menunggu pembeli. Kami langsung menyapanya.

"Hayya, kalian ini pagi-pagi sudah bersemangat. Mau beli apa, budak-budak?"

"Tidak ada, Koh. Kami mau minta maaf aja. Kemarin lalu, Ovie nggak sengaja ambil kue putih yang Koh taruh di meja kecil di sudut."

"Iya, Koh. Ovie minta maaf ya. Sebagai gantinya, Ovie mau beli kue lain aja ya."

Koh tak merespon. Tiba-tiba, wajah Koh berubah kusut. Senyuman ramahnya pudar, matanya menatap tajam ke arah kami.

Aku jadi takut sendiri menghadapi ini. Tapi, ini mungkin yang terbaik, kalau tidak ditindak- lanjuti, bisa jadi Ovie akan mengulang kejadian yang sama lagi nanti.

"Ikut Koh, sebentar."

Kami pun mengikuti kemana Koh pergi. Hingga tiba disebuah ruangan kecil, dengan sedikit penerangan.

"Koh, ini kita dimana?" perasaan ku mulai tak enak.

Tepat ketika Koh menarik sesuatu di ujung ruangan, tubuhku seketika membeku. Tak bisa berkata apa-apa, bahkan kepalaku tak bisa berpikir jernih lagi.

Ovie di sampingku mulai menangis, gemetar, memeluk lenganku erat.

Dua makhluk yang bisa aku simpulkan mirip seperti cerita Ovie. Dan herannya, Koh menuntun mereka ringan bagaikan hewan peliharaan.

"I...ni, mak..sudnya apa, Koh?"

"Dira, Ovie. Kalian sudah membuat marah kedua peliharaan, Koh. Dengan mengambil kue putih itu, makanan mereka. Kalian tak perlu takut, Koh nggak akan menyerahkan daging kalian ke mereka, asalkan kalian mau membantu Koh." Koh mengelus kepala makhluk berwajah kerut itu.

Aku menelan Saliva dengan susah payah. "Apa yang harus kami lakukan?"

Koh tersenyum jahat. "Kalian hanya perlu melayani mereka dengan memberi makan seminggu tiga kali juga memenuhi keinginan mereka. Tenang saja, semua kebutuhan mereka Koh yang tanggung. Kalau kalian menolak, resikonya akan lebih besar. Mereka akan menganggu kalian dan juga keluarga kalian."

"Kak Dira, aku takut, Kak."

"Tenang lah, Ovie. Kita harus menghadapi ini." Aku berjalan mendekat ke arah Koh. "Baiklah, Koh. Selama kami selamat, aku akan memenuhi keinginan Koh. Tapi dengan satu syarat. Tolong beri waktu berapa lama kami bekerja dengan Koh."

"Tiga bulan. Hanya tiga bulan."

Kesepakatan pun disetujui oleh kedua pihak.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!