In The Middle Night

Angin malam menyapa kulitku dengan lembut, membelai rambut panjang ku dengan sentuhan tanpa wujud miliknya. Pandanganku mulai mengabur, seolah angin malam ini memaksaku untuk menyelam ke alam mimpi.

Otakku mulai mengirimkan sinyal untuk merebahkan diri, hanya saja hatiku enggan menurutinya. Aku masih ingin menunggu, menunggu sepasang malaikat yang selalu menemaniku sejak lahir. Mereka pergi entah kemana, ayah dan ibuku pergi setelah kami menyantap daging bakar spesial buatan ibuku untuk makan malam.

Ratusan menit berlalu, setelah dua jam berdiri balkon ditemani semilir angin. Akhirnya aku mendengar suara mobil yang bergerak pelan memasuki pekarangan rumah. Aku bergegas turun ke bawah untuk menyambut kedua orang tuaku. Dari teras aku bisa melihat ibuku yang berjalan dari arah garasi mobil dan ayah berjalan dari arah berlawanan.

Aku segera memeluk mereka berdua, mereka menyambut pelukanku dengan hangat. Kami masuk ke dalam rumah, ayahku mengajakku untuk tidur.

Tentu aku langsung menurutinya dan berbaring di tempat tidur, sementara ayahku sedang mencari buku dongeng. Ayahku selalu membacakan dongeng sebelum tidur, dari hal pertama yang bisa kuingat dari masa kecilku adalah ayahku yang selalu membacakan dongeng sebelum tidur hingga sekarang umurku 14 tahun.

Ayah selalu membacakan dongeng yang sama, bahkan saat sekarang aku sudah bisa membaca dan menulis. “Hansel dan Gretel”, dongeng tentang dua orang bersaudara yang diculik oleh penyihir di sebuah rumah tua.

Dulu  mungkin aku menganggapnya sebagai dongeng biasa, dongeng yang bahkan letak titik komanya sudah ku hafal di luar kepala. Namun semenjak dua tahun lalu, aku tahu bahwa dongeng versi ayahku agak berbeda.

Dua tahun lalu aku mulai mengerti jika dongeng ayah tak seharusnya diperdengarkan pada anak di bawah umur. Namun aku tak peduli, aku menganggap mungkin itu cara ayahku mengajarkan anaknya untuk lebih mewaspadai orang asing, agar tak terjadi hal-hal yang tak diinginkan.

Ditengah cerita pandanganku mulai mengabur, aku mulai masuk ke alam mimpi. Mimpi yang sangat aneh, aku berada di sebuah ruangan yang sangat gelap dan pengap seperti di ruang bawah tanah.

Aku berusaha untuk mencari jalan keluar namun aku terbangun dan berada di tempat yang sama, mungkin aku sedang mengalami lucid dream. Aku tak bisa melihat dan mendengar apapun seolah aku buta dan tuli. Namun setelah itu aku mendengar suara benturan yang sangat keras.

Suara itu terdengar beberapa kali, aku berlari ke sana kemari untuk mencari asal suara itu. Aku terus berlari dan terjatuh ke dalam sebuah lubang yang dalam.

Mataku terbuka lebar, nafasku memburu dan aku banjir keringat. Aku berusaha menormalkan pernapasanku, setelah memperhatikan keadaan sekitar aku menghela napas lega, aku berada di kamarku.

Aku melirik ke arah jam weker, jam tersebut menampilkan empat angka yang sama, pukul 00.00. Aku menurunkan kakiku dari tempat tidur, tepat saat aku berdiri tegak sebuah suara terdengar. Suara benturan persis seperti yang ku dengar di dalam mimpi, namun suara itu agak samar.

Bulu kuduk ku meremang, aku mencoba memberanikan diri pergi ke kamar orang tuaku. Namun baru selangkah aku mengayunkan kakiku, kembali terdengar suara aneh.

Kali ini bukan suara benturan, terdengar seperti suara rintihan yang sangat samar. Aku tak bisa menggerakkan tubuhku, seolah kakiku terpaku dengan suara samar yang entah dari mana asalnya.

Saat aku ingin melangkah kembali, lantai pijakan kakiku bergetar, sangat samar. Malam ini sangat sunyi sehingga suara apapun seolah dapat terdengar di telingaku.

Aku kembali melangkah, kali ini aku tidak peduli dengan suara atau getaran apapun. Aku terus melangkah sampai ke ruang tamu, saat aku akan menaiki tangga menuju lantai dua tepatnya kamar orang tuaku.

Suara lain kembali terdengar, kali aku sudah sangat lelah.

"Ya tuhan, apalagi kali ini?" Suara ketukan pintu yang sangat pelan, lebih aneh lagi karena ketukan itu terdengar bernada. Seperti ketukan untuk sebuah lagu pendek yang berulang. Entah keberanian dari mana aku memberanikan diri untuk mendekat ke arah pintu, mungkin aku kehilangan akal tapi sekarang aku sudah lelah dengan semua teror malam ini.

“Knock, Knockk Knockk.”

Dua langkah, jarak antara aku dan pintu. Suara ketukan bernada itu berhenti, namun seolah tak membiarkan jantungku beristirahat.

Aku bisa mendengar suara kunci pintu yang di putar dari luar. Aku berharap aku bisa berlari atau setidaknya siapapun tolong bangunkan aku dari mimpi buruk ini. Seandainya aku bisa menganggap ini adalah mimpi buruk, tapi semua yang ku alami terlalu nyata untuk sebuah mimpi.

“CKLEK, CKLEK. NGIIIITT”

Selesai sudah, pintu di depanku perlahan terbuka. Aku membalikkan badanku namun semua sudah terlambat. Sepasang tangan hitam meraih tubuhku, mulutku dibekap. Sebelum kegelapan menelanku, sempat terdengar suara teriakan. Aku tak sempat memikirkan apa itu, karena mungkin inilah akhirnya.

Semua kembali gelap, kali ini aku tidak bisa membedakan apakah ini mimpi atau bukan. Karena itu aku tidak berusaha untuk mencari jalan keluar dari kegelapan yang menyesakkan ini.

Tiba-tiba dari kejauhan aku melihat secercah cahaya, tubuhku bergerak sendiri menuju cahaya itu. Mataku sakit karena terlalu terang, perlahan aku menyesuaikan cahaya yang masuk ke mataku. Hal pertama yang bisa kukenal adalah aku berada di ruangan berwarna putih. Biar kutebak, apakah aku berada di surga?

Tak lama kemudian seseorang masuk dengan memakai jas putih dan stetoskop yang tersampir di bahunya. Dokter? Pikirku. Saat itu aku tersadar bahwa aku sedang berada di rumah sakit.

Dokter itu bertanya tentang keadaanku dan beberapa hal lain layaknya seorang dokter. Tiba-tiba seseorang masuk setelah mengetuk pintu dan memperkenalkan dirinya sebagai polisi. Aku mulai khawatir, apakah aku korban penculikan? Lalu dimana orang tuaku?

Setelah memperkenalkan dirinya, polisi tersebut meminta beberapa keterangan dariku. Aku merasa aneh karena pertanyaan-pertanyaan yang sangat membingungkan.

Polisi itu menceritakan sebuah kronologi yang tak pernah kubayangkan jika hal itu benar-benar ada. Polisi itu menceritakan tentang sebuah ruang bawah tanah yang ada di bawah rumahku, tepatnya di bawah kamarku.

Seorang perempuan disekap selama 14 tahun, selama itu dia sudah melahirkan beberapa kali karena menerima kekerasan seksual dari orang yang menyekapnya, yaitu ayahku.

Namun bayi-bayi itu tak pernah ditemukan, hanya ada tulang belulang yang sudah terpotong potong dan terkubur di halaman belakang rumah. Seperti daging sapi yang telah dimasak lalu tulangnya di kubur.

Ayahku mengunjungi ruang bawah tanah itu setiap jam 12 malam, tepatnya saat aku dan ibu sudah tertidur lelap. Ibuku mengalami amnesia 14 tahun lalu karena kecelakaan, saat itulah ayahku mengurung seorang anak perempuan yang merupakan anaknya sendiri.

Ayahku melakukannya karena ternyata anak itu sedang hamil, polisi itu mengatakan jika ia mencurigai ayahku sebagai dalang dari kecelakaan ibuku untuk menutupi kejahatan bahwa ia yang menghamili anaknya sendiri.

Dan perempuan itu tak pernah melahirkan secara ‘normal’, karena terkadang ayahku memukul perutnya dengan martil atau mengikatnya dengan karet ban lalu ditarik kuat-kuat.

Sebuah keajaiban karena perempuan itu masih hidup walau agak tidak normal. Pergelangan kaki yang patah, bekas cakaran dan lebam di sekujur tubuh, mata yang sudah tak terpancar rona kehidupan dan pakaian yang masih dipenuhi darah segar.

Saat mendengar ciri-cirinya ketika ditemukan pertama kali oleh pihak kepolisian, aku tak yakin hal itu masih disebut normal.

Tak sampai disitu, aku mengetahui fakta bahwa aku bukanlah anak kandung ibuku. Ibuku yang sebenarnya adalah perempuan yang disekap di bawah kamarku sendiri,

akulah satu-satunya anak yang dibiarkan hidup untuk membuat ibuku yang amnesia percaya bahwa kami adalah keluarga yang bahagia. Dan selama 14 tahun, aku dan ibuku hidup dalam rekayasa yang telah ayah ciptakan.

Aku merasa mual setelah mendengar semua itu, karena itu aku memutuskan untuk berjalan jalan di taman rumah sakit. Tubuhku terasa lemas, mungkin karena efek obat bius.

Aku duduk di sebuah bangku yang menghadap ke lorong bangsal VIP, dari kejauhan terlihat seorang pasien yang duduk di atas kursi roda. Perlahan kursi roda itu didorong oleh perawat ke arahku. Pasien itu tersenyum, aku sangat mengenalinya, senyuman itu. Ia adalah ayahku, bibirnya bergerak seperti mengatakan sesuatu.

"SELAMAT TIDUR."

Aku merinding, senyuman yang dulunya membuat hatiku menghangat dan membuatku merasa aman menjadi sangat mengerikan. Kursi roda itu berbelok ke arah lain, hilang dari pandanganku.

Namun senyuman itu terus berputar di kepalaku seperti kaset rusak. Saat itu aku menyadari suatu hal, bagaimana bisa aku melupakannya. kronologi yang baru saja ku dengar persis seperti cerita dongeng yang setiap malam ayah bacakan untukku.

Kehidupan adalah sebuah anugrah untuk sebagian orang, kehidupan juga menjadi sebuah ‘hukuman’ bagi sebagian orang. Semua tergantung bagaimana cara kita memandang dunia dan cara kita mengadu nasib dalam kehidupan.

Namun, bukankah kehidupan telah mengajari kita tentang banyak hal? Dengan hidup kita dapat merasakan indahnya masa kecil walaupun diiringi kejamnya realita, kita dapat merasakan kebahagiaan walaupun dibaliknya ada dusta yang menyakitkan, kita bisa merasakan banyak hal karena kita memiiki kehidupan.

Jadi, bukankah hidup ini harus dirayakan? Atas semua hal yang telah kita rasakan selama ini, atas semua rasa sakit yang telah terganti dengan rasa syukur, atas semua tangisan yang telah terganti dengan tawa dan atas matahari yang telah bersedia menggantikan hujan agar kita bisa tersenyum untuk pelangi.

By: _Savanna

Syifa. A

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!