Homestay In The Sea

Ini pengalaman Nina ketika kelas 2 SMA yang saat itu sekolahnya akan menyelenggarakan kegiatan homestay yang sudah menjadi tradisi turun temurun sekolah sejak angkatan sebelumnya.

Pagi sekitar pukul 07.00 WIB, Nina dan teman-teman seangkatannya telah membopong beberapa koper untuk di bawa ke penginapan. Tujuan perjalanan mereka ke daerah pesisir laut. Mereka akan diantar-jemput oleh bis wisata kepunyaan sekolah. Sebelum berangkat, ada sedikit pengarahan dari kepala sekolah tentang adab dan tata tertib selama menduduki daerah pedalaman itu.

Yang pertama, jangan pernah pergi keluar sendirian setidaknya ditemani oleh tiga orang atau lebih. Yang kedua, jangan terlalu ramah kepada orang dan jangan juga terlalu sombong bersikap netral saja. Yang ketiga, jaga masing-masing barang yang dibawa jangan sampai dibiarkan tercecer.

Mereka hanya mangut-mangut mendengar penuturan tersebut. Tak butuh waktu lama, dua bis sudah menunggu di luar gerbang. Mereka pun berhamburan keluar untuk naik ke kendaraan tersebut. Mereka akan menempuh waktu 3 jam. Selama perjalanan, hanya sesekali Nina melirik ke luar jendela selebihnya ia habiskan dengan memejamkan mata.

Jam terus berjalan, tak terasa bis sudah memasuki kawasan pedalaman. Jalannya sempit dan penuh tanjakan. Di sekelilingnya dihiasi dengan tambak seluas 1 hektar yang terhubung ke tepi sungai. Beberapa darinya tumbuh tanaman lumut yang menyatu membentuk pulau kecil di tengah tempat itu.

Sekitar 35 menit melewati jalan yang penuh lika-liku akhirnya mereka sampai di desanya, tampak spanduk yang terpajang di tiang gerbong sudah melambai-lambai seakan memberitahukan mereka di sini tempatnya.

Dari kaca jendela, terlihat Pak Kepala Desa sedang berbincang dengan ketua panitia homestay mereka. Nina pun turun dan mulai mengangkut barang-barangnya. Mereka dipandu oleh salah satu lelaki dewasa yang merupakan anak dari kepala desa tersebut namanya, Bang Rifki.

Bang Rifki menuntun mereka ke rumahnya yang dikategorikan sebagai rumah yang cukup mewah di daerah itu. Mata mereka langsung terpana dengan pemandangan depan halaman rumahnya, terhampar sebuah sungai yang tak berujung sepertinya itu bagian dari air laut yang mengalir.

Nina beserta teman perempuannya akan menginap selama tiga hari di rumah Pak Kepala Desa. Sedangkan laki-lakinya menginap di mesjid yang ada di desa itu. Karena masih terlalu lelah setelah berjam-jam duduk di bis, mereka beristirahat, mengisi daya energi untuk menjelajah besok.

Esok harinya, ketika matahari telah menyembulkan wajahnya ke permukaan. Nina telah bersiap-siap dengan pakaian kasual dan rok hitam yang membungkus tubuhnya. Jadwal perjalanan mereka hari ini yaitu menyusuri pedesaan sebagai perkenalan awal.

Bang Rifki akan mengajak mereka berkeliling dimulai dari rumah Pak Kepala Desa lalu melangkah ke jalan yang ada di samping rumah tersebut.

"Kira-kira, kita akan dibawa kemana dulu ya? sahabatnya Nina, Caca angkat bicara. Mereka berjalan beriringan.

"Mana aku tahu, kita ikuti aja Bang Rifki itu." Jawab Nina cepat.

Para warga yang ada di sekitar mulai berkerumun menyambut mereka. Bahkan anak-anak yang ada di sana pun ikut nimbrung ke rombongannya. Anak-anak itu seakan menjadi tour guide cilik perjalanan mereka.

Tempat pemberhentian rute pertama mereka yaitu di pantai. Pantai tersebut dibatasi oleh batu-batu berukuran raksasa, lantas mereka harus melewati batu itu terlebih dahulu sebelum menjejaki pasir pantai. Suasananya begitu tenang dan sejuk. Angin semilir pagi berhembus sepoi-sepoi.

Sembari berjalan di atas batu, Bang Rifki sedikit bercerita tentang masa lalu desa ini. Dulu, sekitar tahun 20-an desa ini pernah dihantam oleh tsunami. Bangunan-bangunan yang dibangun megah hancur berantakan. Sehingga kebanyakan rumah-rumah serta lingkungan yang direnovasinya merupakan sumbangan donasi dari pemerintah.

"Dulu juga daerah ini pernah dijadikan tempat wisata. Kalian lihat pulau yang luas di tengah laut di sana itu? pulau itu dinamakan Pulau Impian. Sebelum tsunami memakan pulau itu banyak sekali turis yang berkunjung ke sana." Ucap Bang Rifki.

"Emang gimana Bang, gambaran pulau itu dulu?" Nina bertanya.

"Ooo... dulu pulau itu begitu bagus, bersih dan asri. Cocok dijadikan sebagai tempat foto karena ada beberapa alat photo booth juga di sana. Nanti ya Abang ajak kalian ke sana di hari terakhir."

Mereka semangat menanggapinya dengan sorakan kecil. Selanjutnya tak banyak yang mereka lakukan hanya berfoto ria mengabdi momen untuk dijadikan sebagai dokumentasi nanti.

Terik matahari mulai menyengat. Setelah puas bermain di pantai mereka pun melanjutkan perjalanan. Bang Rifki ingin mengarahkan mereka ke rumah-rumah warga yang nantinya sebagai tempat menetap untuk sementara. Mereka di sana akan membantu pemilik rumah tersebut sampai masa penghabisan home stay.

Tapi, saat Nina mengedarkan pandangan ke arah pantai sekali lagi, matanya tiba-tiba menangkap seorang anak laki-laki kira-kira berumur 9 tahun sedang bermain air laut seorang diri. Air sudah mulai pasang takutnya kalau dibiarkan sendiri nanti malah terjadi sesuatu apalagi keadaan pantai masih sepi. Nina pun bergegas turun untuk menemui anak tersebut.

Ketika Nina mulai mendekat, anak itu bukannya mundur malah semakin maju ke tengah laut. Nina yang panik langsung berlari ke arahnya dan menarik tangannya.

"Dek, jangan terlalu jauh mainnya nanti kamu tenggelam. Ayo, kita main di permukaan aja ya."

Belum sempat mendengar jawabannya, seseorang telah menepuk pundak Nina. Refleks ia segera berbalik dan mendapati wajah teman-temannya yang sudah kelihatan panik.

"Ngapain kamu ke tengah laut, Na mau cari mati ya! Kamu membuat kami panik tahu!" Caca beserta teman-teman lainnya sudah mengerubungi dirinya dan menariknya ke permukaan.

Sekarang malah ia yang dilanda kebingungan. Kenapa mereka marah? Apa mereka tidak melihat ada anak kecil yang main sendirian di tengah laut tanpa pendamping? kan bagus kalau Nina yang tolong.

"Itu tadi aku lihat anak kecil main di sini. Ini dia... " Saat Ia menoleh ke arah anak kecil yang digenggam tangannya tadi malah tidak ada siapa-siapa. Nina hanya meraih angin kosong.

"Mana anak kecilnya?! Kamu ini siang-siang sudah berhalusinasi!"

"Sumpah, tadi aku lihat, aku nggak bohong tahu. Kok bisa nggak ada sih! Dek, kemana kamu?! Dek..!"

"Sudahlah, kamu hanya buang-buang waktu saja. Ayo, jangan membuat Bang Rifki kewalahan gara-gara kelakuanmu itu."

Nina pun pergi mengikuti rombongan dengan wajah cemberut.

Malam semakin larut, bulan begitu kentara membagi sinar putihnya. Mata Nina masih menyapu sekitar yang sudah gelap penerangannya. Ia melihat teman-temannya sudah terlelap tidur. Mereka tidur di ruang tamu yang agak luas secara berdempetan, seperti ikan asin yang dibaringkan di nampan--benar-benar sempit dan panas.

Dan itu membuatnya tak bisa memejamkan mata sedetik pun. Nina memilih untuk keluar sebentar menikmati udara malam di desa yang sejuk, menelusup ke pori-pori. Pemandangan tambak langsung menyambutnya di depan ditambah dengan cahaya yang berkilau di antara riak air.

Nina duduk di batu pembatas. Bersenandung kecil sambil menutup mata. Tidak ada yang kelihatan aneh hingga beberapa menit kemudian udara semakin menusuk tulang. Aura sekitar mulai terasa pengap. Dari jarak 3 cm dari tempatnya berada tercium bau amis yang menyengat.

"Uh! kenapa tiba-tiba baunya aneh begini?" Nina menutup hidung. "Lebih baik aku segera kembali."

Ketika ingin beranjak, mendadak telinganya mendengar suara tangisan yang cukup keras. Dari arah berlawanan, samar-samar ia melihat seseorang tengah berjongkok sembari menyelundupkan kepala ke lututnya. Sepertinya anak kecil yang sedang tersesat, pikir Nina.

Lalu ia menghampiri anak tersebut. "Dek, kenapa keluyuran malam-malam begini? Nanti kamu sakit, loh."

Anak itu tidak menoleh, tetap berderai air matanya. Detik setelahnya ia berkata, "Kak, aku takut sendiri. Tolong temani aku untuk pulang ke rumah."

Nina merasa kasihan, hatinya tergerak untuk membantu anak tersebut. "Baiklah, kakak akan temani kamu."

Anak itu langsung berdiri dan meraih tangan Nina. Mereka pun berjalan menelusuri perkampungan.

...***...

"Nin, Nina bangun! Ayo bangun! nanti kita terlambat rombongan, loh! Hari ini kan Bang Rifki mau bagiin kelompok buat homestay!" ucap Caca sambil menggoyang-goyangkan tubuh Nina.

Dengan mata yang masih mengantuk, Nina segera bangun lunglai ke kamar mandi.

Setelah bersiap-siap, para siswi itu langsung diarahkan untuk berkumpul di teras rumah Pak Kepala Desa. Masing-masing kelompok sudah dibagikan menjadi 5 grup yang terdiri dari 5 orang. Nina sekelompok dengan Caca, Fani, Denny, dan Aya. Untuk mempersingkat waktu, mereka langsung capcuss ke rumah warga.

Nina beserta kelompoknya sudah bertengger di salah satu gubuk warga dan mendapat tugas mengupas tiram. Dengan peralatan seadanya seperti pisau mereka langsung mengerjakannya dengan khidmat.

"Kamu tidak apa-apa, Nin? Mukamu pucat sekali." Fani yang duduk bersebelahan dengan Nina merasa aneh dengan gerak-geriknya yang lesu.

"Aku sedikit pusing. Aku mau balek."

"Kamu sakit, Nin? Kalau begitu biar aku antar kamu pulang." timpal Caca yang langsung ditahan oleh Nina.

"Tidak usah, aku bisa sendiri." Nina langsung bangkit dan berjalan sendiri menuju rumah Pak Kepala Desa. Teman-temannya menatap satu sama lain dilanda kebingungan melihat sikap Nina yang agak pendiam.

"Apa nggak salah kita biarin dia pulang sendiri. Aku takut dia kenapa-napa." Ucap Aya yang disambut anggukan oleh Denny.

"Sudah nggak papa dia mungkin emang butuh sendiri." jawab Fani yang masih menatap punggung Nina sebelum lenyap di belokan.

Sekitar tiga jam mereka baru menyelesaikan kegiatan mengupas tiram. Keringat bercucuran di sekujur tubuh apalagi matahari sudah naik ke puncak, membuat keadaan semakin lepek. Mereka pun berpamitan kepada Ibu pemilik rumah untuk bergegas pulang.

Setiba di rumah, terlihat kasak-kusuk orang yang tiba-tiba berdatangan berkumpul di halaman rumah. Mereka yang penasaran langsung berlari ke dalam untuk menemui teman-teman lainnya.

"Ada apa ini?!" Caca buru-buru masuk dan menghadang salah satu teman sekolahnya yang lain, Anida.

"Itu..Nina..Nina tenggelam Ca!!"

Bagai petir di siang bolong, Caca merasa lemas seketika. Jantungnya berpacu cepat. Sahabatnya Nina tenggelam!

"Di mana lokasi kejadiannya?!" Tanyanya yang mulai terisak. Ia langsung berlari ke tempat kejadian setelah diberitahu oleh Anida, daerahnya berada di laut tempat mereka pertama kali berkunjung.

Matanya menerawang mencari-cari keberadaan petugas atau polisi yang biasa datang untuk memeriksa daerah TKP. Tapi, kondisi laut terlihat sepi seperti tidak ada tanda-tanda orang yang baru tenggelam. Gadis berambut panjang itu berteriak memanggil Nina, ia sudah menginjak bibir pantai yang berdebar ombak.

"NINA, JANGAN BERCANDA. AKU TAHU KAMU HANYA BERSEMBUNYI, KELUARLAH JIKA KAMU MEMANG MASIH HIDUP. Tolong jangan pergi secepat ini!!"

Angin dingin membelai rambut Caca. Tiba-tiba dari arah selatan, tampak seseorang melambaikan tangan ke arahnya. Perlahan sosok tersebut mendekat dan langsung dihadiahi pelukan oleh gadis itu.

"Aku tahu kamu masih hidup. Mereka hanya berkata omong kosong tentangmu." Caca melonggarkan pelukannya dan menatap Nina. "Apa kamu berpikir kenapa aku tahu kamu ada di sini? Kita sudah berteman sejak lama tentu aku lebih tahu tabiat sahabatku. Kamu tadi kelihatan tidak enak badan, kan biasanya kamu akan mencari tempat yang sepi dan sejuk untuk menenangkan diri."

"Ayo kita pulang, teman-teman lainnya masih mengkhawatirkan kita nanti."

"Aku tidak mau pulang. Aku mau di sini." Nina menggenggam tangan Caca erat. "Temani aku."

Caca hanya tersenyum dan sekejap menyetujui permintaan sahabatnya itu. Mereka menghabiskan waktu di laut tak peduli matahari akan beristirahat nantinya.

...***...

Pria muda itu menurunkan pulpennya ketika suara rendah dari dapur memanggilnya. Bait terakhir yang sempat membuatnya bingung telah diselesaikan pada jurnal dokumentasinya. Dosen yang super galak memberikan ia tugas artikel dengan tema unik dan tak masuk akal.

Untungnya dia mendapat inspirasi dari kisah nyata yang baru saja terjadi. Matanya menilik ke koran yang ada di atas meja belajarnya. Entah kebetulan atau takdir yang bertindak, mistis dan gaib itu kadang menjadi teman bagi dunia nyata.

"Rifki, ibu panggil dari tadi nggak di jawab. Ayo makan dulu keburu dingin nanti."

"Iya, Bu!"

Pria yang bernama Rifki itu langsung bangkit mengikuti langkah Ibunya menuju dapur.

'DUA MAYAT GADIS SMA TAK DAPAT DITEMUKAN YANG TENGGELAM DI LAUT KETIKA MENGIKUTI KEGIATAN HOMESTAY'

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!