Gadis Kecil di Rumah Sakit

Kejadian ini terjadi ketika aku berada di rumah sakit xxx. Saat itu, aku baru saja menjenguk ibuku yang baru saja melahirkan adik pertamaku. Kebetulan sekali, aku disuruh menginap di sana. Tak terasa, jam terus berputar hingga menunjukkan pukul 22.00 WIB. Rasa bosan menghampiri ku, di kala ku tutup layar handphone yang sedari tadi menemaniku yang belum terlelap tidur. Aku beranjak keluar dari ruang ibuku untuk mencari udara segar.

Hawa dingin mulai menusuk tubuhku ketika melewati lorong-lorong rumah sakit. Sunyi meliputi suasana lorong yang hanya diterangi oleh lampu pijar. Beberapa menit setelahnya, terdengar suara anjing menggonggong merdu di atas bukit yang tak jauh dari rumah sakit. Aku tersentak dan merasa sejak tadi aku hanya berputar-putar di sepanjang lorong, padahal jaraknya hanya 25 m dari ruang ibuku menuju pintu keluar rumah sakit. Gelita malam menembus bayanganku yang saat itu mematung di tengah lorong. Telingaku menangkap derap langkah kaki serta cekikikan seseorang menggema di seluruh ruangan.

Bulu kudukku meremang hebat. Keringat dingin mulai berayun-ayun di dahi. Di ujung lorong, tiba-tiba tampak seorang gadis kecil berdiri sambil menatap ke arahku. Aku melangkah mendekat mencoba melihat dengan jelas siapa sosok gadis tersebut. Tak bisa dipungkiri, jantungku seakan berhenti berdetak ketika berhadapan dengannya. Bagaimana tidak? Wajahnya diriasi dengan nanah yang meleleh hingga menimbulkan bau busuk yang menyengat. Sontak kakiku tak bisa kugerakkan, kaku. Aku berusaha berbalik, perutku sudah merasa mual.

Gadis itu sepertinya menghampiriku, langkah kakinya terdengar jelas. Samar-samar aku mendengar suara nyaring memanggil namaku. “Rina, tolong aku!” Aku tak sanggup melihat ke belakang, ketakutan mulai menjalari tubuhku. Ku gerakkan kakiku sebisa mungkin untuk bisa pergi darinya. Tepat pada saat sosok itu menyentuh pundak ku, aku langsung pangling dan berlari secepat kilat. Aku tak peduli dengan permintaannya, dan lebih anehnya lagi kenapa dia bisa tahu namaku.

Tak terasa aku sudah mulai kelelahan berlari. Ketika berhenti, aku tersentak. Seketika lorong rumah sakit tak seperti biasanya. Yang tadinya sunyi dan gelap kini banyak orang yang berlalu lalang dan ditambah dengan penerangan yang stabil. Aku melangkah perlahan dan mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru lorong.

“Mungkin mereka bisa memberitahuku kembali ke tempat ruangan ibu.” Ku dekati salah satu perawat wanita yang sedang menyusun berkas-berkas di meja resepsionis.

“Permisi Mbak, aku boleh minta tolong.” Tidak ada jawabannya darinya bahkan perawat tersebut tidak menoleh sedikitpun ( saat aku bertanya, perawatnya menghadap membelakangi ku.) Aku pun memanggilnya sekali lagi.

“Mba---Arrghhhh!!” Tiba-tiba, tangannya sudah mencengkeram leherku. Rupanya orang-orang yang berada di sini bukan manusia. Terlihat wajah perawat tersebut dipenuhi oleh luka sayatan pisau. Sebelah matanya bercucuran cairan hitam dan mulutnya menganga lebar hingga tumpah air liurnya. Aku bergidik ngeri menatapnya. Sekuat tenaga aku berusaha melepaskan cekikannya yang sudah semakin kuat.

“KAU SUDAH MEMASUKI DIMENSI KAMI, SEKARANG KAU HARUS MENERIMA

HUKUMANNYA!!”

“To…long!” leherku sungguh sakit, aku tak bisa menahannya lagi. Air mata mulai meluncur setetes demi setetes dari pelupuk mataku. Aku merasa hidupku sudah berakhir. Kepalaku pusing, mataku mulai meredup. Tapi….

“RINA, BERTAHANLAH!!” Tiba-tiba, meluncur sebuah tombak dengan cepat hingga mengenai dada si perawat. Darah mengucur deras, tangan yang mengerat di leherku terlepas begitu saja. Aku tersungkur ke lantai. Seorang gadis kecil langsung menarik tanganku untuk menjauh dari sosok perawat tersebut. Kami berlari menuju ke bukit belakang rumah sakit.

Aku terduduk lemas sambil memegang leherku yang terasa menyayat. Rasa sakitnya seperti terkena tusukan pisau yang masih menempel.

“Lehermu masih sakit?” tanyanya.

Aku mengangguk lalu menoleh ke arahnya. Wajahnya terlihat pucat dan sendu, seperti menyimpan luka dan penderitaan yang terlukis di sana. Suaranya juga sedikit serak.

“Terima kasih karena telah menyelamatkanku, entah apa yang akan terjadi jika kau tidak datang.”

Tanpa sadar, air mataku kembali menetes. Entah di mana aku berada, aku hanya ingin pulang. Aku ingin kembali ke ruang ibuku, aku ingin berkumpul bersama keluargaku yang ingin merayakan kelahiran adik pertamaku.

Tiba-tiba, gadis itu menepuk pundak ku. “Rina, kau ingin kembali dan merayakan kelahiran adik pertamamu kan?”

Aku terkejut, bagaimana dia bisa tahu isi pikiranku dan anehnya lagi dia juga tahu namaku padahal kami tidak saling kenal satu sama lain. Aku pun mengangguk, tapi rautnya tiba-tiba berubah sedih.

“Baiklah, kalau itu mau mu. Tapi sebelum itu, bisakah kau meluangkan sedikit waktumu untuk bermain bersamaku?”

Aku merasa sedikit aneh dengan permintaannya itu. Bukankah lebih baik kalau kita kembali terlebih dahulu ke dunia nyata, apalagi suasana di sini semakin mencekam. Tapi, karena aku ingin sekali kembali, aku pun menuruti keinginannya.

Dia membawaku ke sebuah taman yang dikerubungi oleh beraneka ragam jenis bunga, Terdapat sekumpulan kupu-kupu bertamu di sekelilingnya untuk menghisap sari dari mahkota bunga. Pantulan sinar bulan menyambut kami dengan memberikan butiran-butiran cahaya yang melayang. Kami duduk di bangku yang dihiasi oleh akar membentuk gelombang. Sungguh memikat kedua mataku.

“Tempat apa ini, aku belum pernah melihatnya.”

“Ini tempat kesukaanku. Aku menghabiskan waktu untuk bermain di sini.”

Kami terdiam membiarkan keheningan menyelimuti sebentar. Ku tutup mataku, menampung oksigen yang sempat tersendat tadi, udara di sini begitu menenangkan hingga merasuk ke dalam jiwa. Seketika rasa sakit di leherku lenyap, ini benar-benar sebuah keajaiban. Lalu, aku menatap gadis yang masih mematung di sampingku.

“Gadis, kau bilang ingin bermain kan? Ayo!”

“Tapi lehermu kan masih sakit?”

“Ini sudah tidak sakit lagi, ayo sebelum aku kembali!” Aku menarik tangannya. Kami mengelilingi taman dan memetik setangkai bunga mawar. Aku menaruh satu bunga tersebut di telinga gadis.

“Kamu cantik sekali, gadis!”

Gadis tersipu malu, aku tertawa geli melihatnya.

Setelah itu, ku petik beberapa macam bunga dan merangkainya sedikit demi sedikit menjadi sebuah mahkota. Mata gadis berbinar setelah melihat hasil karyaku. Karena dia begitu menyukainya, aku pun memberikannya.

Waktu seakan berhenti, membiarkan kami bermain sepuasnya yang ditemani oleh derik-derik benda malam. Menaiki ayunan, menangkap kupu-kupu dan menari di bawah rembulan.

Tak terasa, kami mulai kelelahan. Kami memilih duduk kembali di bangku sebelumnya.

“Kau tahu Rani, aku sangat senang bisa berteman denganmu. Di kehidupanku dulu, tidak ada seorang pun yang mau berteman denganku. Mereka malah menjauhiku dan menganggap ku sebagai monster. Tapi, kau berbeda Ran! Aku tak ingin berpisah denganmu.”

“Gadis, mana mungkin kita akan berpisah. Kau tahu, aku sudah menganggap mu sebagai sahabatku. Ketika aku kembali, kau juga akan kembali, kan? Lagipula aku tak sabar ingin mengajakmu untuk ikut ke perayaan kelahiran adikku.”

Ting…ting..

Tiba-tiba, Terdengar suara dentingan lonceng menyebar ke seluruh

taman.

“Suara apa itu?”

“Sepertinya sebentar lagi matahari akan terbit. Rani, kau harus segera keluar dari dimensi ini sebelum suara ini menghilang. Di sana ada sebuah pintu yang bercahaya, kau bisa keluar lewat pintu itu.”

“Baiklah, ayo sebelum terlambat.” Aku segera menarik tangannya, kami berlari menuju pintu itu. Suara dentingan itu mulai semakin mengecil.

Saat tiba di depan pintu, gadis langsung melepaskan tangannya dari genggamanku.

“Gadis, apa yang kau lakukan. Kita harus keluar!”

“Tidak, Rani. Tempatku ada di sini, aku tidak bisa kembali ke tempatmu.”

“Apa yang kau bicarakan, kita berdua telah terjebak di dimensi ini. Kau manusia dan tidak mungkin tinggal di dunia yang bukan tempatmu.”

Gadis menggeleng pelan. Aku tidak bisa membiarkannya tinggal seorang diri, ketika ingin menarik tangan gadis lagi ia mendorong tubuhku dengan sangat kuat hingga terlempar masuk ke dalam pintu tersebut. Aku berteriak memanggil nama Gadis, hingga senyuman terakhir yang terukir di wajahnya yang menjadi perpisahan ketika daun pintu telah tertutup habis.

Kesadaran ku mulai terkumpul ketika suara seseorang yang memanggil namaku. Sedikit demi sedikit kelopak mataku mulai terbuka dan melihat banyak orang telah mengerumuniku termasuk keluargaku ada juga petugas rumah sakit.

“Rani, kau sudah sadar, Nak! Ibu sangat mengkhawatirkan mu.” Ibu langsung merengkuhku ke pangkuannya, tampak jelas dari mata sembabnya, beliau menangis semalaman.

“Kau menghilang dari semalam, Ran. Kami sangat khawatir dengan apa yang terjadi denganmu tapi syukurlah kau selamat.”

“Ayah, Ibu apa kalian melihat gadis?”

Pertanyaanku membuat kedua orang tuaku terlihat bingung. Mereka bilang, mereka tidak tahu siapa anak yang bernama gadis itu. Saat itu, aku hanya ingin bertemu dengan gadis. Aku bertanya kepada petugas itu, tapi mereka juga tidak tahu.

Aku bangun dan mencari keberadaan gadis, hingga mengelilingi ruangan rumah sakit tapi tetap tidak menemukannya. Tiba-tiba, aku teringat dengan tempat terakhir kami berpisah. Ya taman itu, langsung saja aku berlari ke sana.

Sesampainya di sana, aku tidak melihat tanda-tanda keberadaan gadis. Aku sudah lelah, aku tidak bisa menemukannya. Saat mataku menelusup ke bangku taman, terdapat secarik kertas dan gelang mawar. Aku mengambil kertas tersebut dan melihat ada tulisan tangan yang sangat rapi.

Dear Rani,

Terima kasih karena telah mau menjadi sahabat pertamaku. Aku sangat senang bisa mengenalmu. Apa kau tahu, namaku bukan gadis tapi entah kenapa aku suka nama itu. Oh ya, ada hadiah kecil dariku, mungkin itu tidak secantik karyamu. Aku berharap suatu saat nanti kita bisa bertemu lagi.

Salam dariku, Stella

Sebulir air terbit dari pelupuk mataku. Aku mengambil gelang mawar tersebut dan melingkarkannya di tanganku. Cantik sekali.

“Gadis, aku akan selalu memanggilmu dengan nama itu. Terima kasih dengan hadiahnya, aku akan menyimpannya dengan baik.”

Itulah kenangan terakhir darinya untuk ku. Setelah itu, aku mendapat kabar bahwa gadis itu telah meninggal 5 hari yang lalu sebelum ibuku melahirkan. Dia menderita kanker kulit yang membuatnya dijauhi banyak orang. Sejak saat itu, roh gadis itu bergentayangan di rumah sakit untuk mencari teman.

Sampai sekarang aku masih merasa tak percaya bahwa gadis adalah teman hantu ku. Aku tak terlalu mempersalahkannya. Aku hanya ingin suatu saat nanti kami akan bertemu lagi seperti yang diharapkan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!