BAB 18

"Lera masih belum masuk kerja sampai hari ini?" Bian bertanya dari balik dokumen yang sedang dibacanya.

Mengingat bagaimana gadis itu menghilang tanpa mengatakan apapun dan sama sekali tidak memberi kabar atas keabsesnannya selama dua hari ini, rasanya Bian ingin sekali meluapkan perasaan marahnya pada seseorang.

"Saya belum mendapat kabar. Sepertinya memang tidak masuk, saat lewat ruang staf kebersihan tadi pagi ... saya tidak melihat keberadaan nona Lera."

Suara kertas yang diremas membuat David meneguk ludah gugup. Jarum jam bahkan belum menyentuh angka 9 yang artinya masih terlalu pagi untuk menghadapi amukan bosnya tersebut.

"Br3ngsek!" Bian mengumpat.

Demon Estanbelt, pria itu bisa-bisanya datang seperti angin kemudian membawa Lera tanpa bicara sepatah katapun padanya. Tanpa basa-basi? Tanpa izin darinya?

Bian tahu, sangat tahu kalau gadis itu adalah sepupu pria itu, tapi tetap saja Demon tidak bisa bertindak seenaknya terlebih lagi status Lera adalah pegawainya.

"Dav—" Bian baru saja akan berbicara namun sosok yang diajaknya bicara sudah menghilang dari ruangannya. "Daviiiid!" teriak Bian kesal.

Kenapa semua orang suka sekali meninggalkanku diam-diam?!

Bian menghempaskan dirinya pada sandaran kursi sambil menghela napas dalam-dalam. Dia harus bisa mengontrol emosinya, marah-marah tidak akan membuahkan apa-apa.

Apa sikapku pada Lera begitu keterlaluan? Pertanyaan itu begitu saja melintas dalam otaknya.

Tidak, tidak!

Dia kemudian menggelengkan kepalanya cepat. Gadis manja itu memang sudah sepantasnya diberi pelajaran hidup. Bahwa, tidak selamanya dia akan selalu berada di atas. Bahwa ... ada saatnya dia harus belajar untuk bertahan dengan tangan dan kakinya sendiri, tidak melulu bergantung pada orang lain.

Suara pintu yang diketuk mengalihkan atensi Bian dari sebuah foto yang terpajang di atas mejanya, "Masuk." titahnya kemudian.

Seorang gadis muda berjalan masuk hati-hati dengan sebuah nampan di tangannya. "Ini kopi anda, Tuan." ucap gadis itu gugup.

"Bawa kemari."

...----------------...

Apa aku harus kembali ke sana?

Lera mengerang sambil memandang gedung di depan sana tidak bersemangat. Selain masih dalam suasana berkabung atas kematian sepuluh kuku kesayangannya, ada hal lain yang membuat gadis itu enggan untuk datang. Membayangkan wajah puas Bian saat ia kembali dan mulai menggosok seluruh toilet gedungnya membuat harga dirinya sangat terluka.

Jika saja memotong kuku orang lain tanpa izin termasuk dalam kategori kejahatan, Lera bersumpah akan menuntut pria itu dan Lera tidak akan pernah berdamai kalau Bian tidak mengembalikan semua biaya yang telah ia habiskan untuk merawat baby nail-nya itu.

Melirik ke samping, Demon terlihat sibuk berkirim pesan dengan seseorang. Ya, itulah alasan kenapa dia masih belum menendang dirinya keluar dari dalam mobilnya.

Apa yang harus aku lakukan agar tidak kembali ke sana?

Sebenarnya Lera tidak masalah untuk bekerja di mana saja, walau harus menggosok toilet pun sudah bukan masalah lagi asal jangan di tempat Bian. Pria psikopat itu entah bagaimana bisa selalu menemukan cara untuk membuatnya kesal dan sial.

"Emo ..." Lera mulai mencicit, ada beberapa skenario yang sudah ia susun di dalam otaknya sejak tadi.

Namun sialnya, kepala sepupunya tersebut seperti dirakit secara khusus untuk mendeteksi setiap kebohongan yang akan dilontarkan oleh lawan bicaranya.

"TIDAK!" ucapnya tegas.

Lihat ... Lera tebak juga apa! Demon Estanbelt tidak semudah itu untuk dibohongi, padahal Lera belum mengatakan apapun selain menyebut namanya.

Oke, mari kita coba Strategi kedua. Wajah memelas, cek. Suara lemas, cek.

"Emo, coba pegang dahi ku." ucap Lera sambil membuat suara parau, khas orang meriang. "Sepertinya aku demam. Bagaimana kalau—"

"Aku antar ke rumah sakit?" Demon lekas memotong ucapannya. Handphone sudah dia letakkan di atas dasbor dan tatapannya saat ini sudah tertuju pada gadis di sampingnya.

Kerutan dalam, pupil yang mengecil dan mulut yang terkatup rapat menandakan kalau pria itu sedang menelisik. 'Oke, aku kalah. Dia sudah pasti tidak akan percaya karena sejak kapan seorang Lera bisa tumbang semudah itu?' gerutu Lera dalam benaknya.

Dan ... Lera jelas tidak mau dibawa ke tempat menyebalkan itu —rumah sakit— apapun alasannya. Bau obat membuat perutnya mual dan suasana menyedihkan di sana membuatnya merasa sesak sampai rasanya sulit untuk bernapas.

"Tidak usah."

"Kenapa tidak? Kau bilang demam."

Lera berdecak, jelas sekali yang keluar dari mulut pria itu bukanlah bentuk perhatian. "Demamnya akan turun setelah minum obat nanti."

Kali ini Demon memberikan tatapan khawatir pada Lera, "Kau yakin?" Dia bertanya dengan suara yang bertentangan dengan ekspresi wajah sok pedulinya.

Dasar menyebalkan!

Sebelum membuka pintu, Lera kembali menatap Demon yang ditanggapi dengan satu alis terangkat tinggi. Mengabaikan rasa malu —memangnya sejak kapan aku memiliki rasa malu— Lera lekas menjulurkan tangannya pada pria itu. "Berikan aku lima puluh ribu, aku tidak punya uang untuk membeli makan siang nanti."

"Kau tidak jadi mengambil uang dari celengan Erry?"

Seketika iris cokelat Lera melebar dan seluruh saraf tubuhnya membeku padahal AC mobil tidak dinyalakan.

Jangan bilang dia melihatnya?

"He-hei, a-aku tidak segila itu." mulut bodohnya entah bagaimana bisa terbata-bata. Hal itu justru membuat Demon memaku tatapannya semakin dalam. "Asal kau tahu saja, walaupun aku tidak punya uang, aku tidak akan mengambil uang dari celengan Erry!"

Pada awalnya Lera memang tergiur untuk mengambil beberapa lembar uang dari dalam celengan, terlebih lagi ia tahu dimana bocah itu menyimpan kunci celengan tersebut. Namun saat melihat wajah polos Erry yang sedang tertidur membuatnya tidak sampai hati untuk melakukan hal itu. Tidak, lebih tepatnya dia merasa malu. Dia orang dewasa, hal yang seharusnya ia lakukan adalah memasukkan uang ke dalam sana, bukan malah mengambilnya.

"Aku tidak mengambilnya!" protes Lera, tidak terima dengan tatapan menuduh Demon. "Lihat, aku tidak memiliki uang sepeser pun!" sambungnya kembali seraya memperlihatkan isi tas yang ia bawa. Pun dengan isi kantong kemeja dan celana jins yang ia pakai.

Demon masih memberikan tatapan curiga pada gadus itu, namun begitu tangannya tetap mengambil dompet yang tersimpan di balik jas. Lera mulai menghitung dalam hati saat jemari panjang Demon mulai mengambil lembaran merah dari dalam sana.

Satu

Dua

Tiga

Empat

Lima!

Wow, itu diluar ekspektasinya. Lera hanya meminta lima puluh ribu, namun Demon justru memberikan kelipatannya. Tanpa basa-basi lagi tangan kurang ajarnya lekas menyambar uang tersebut.

"Itu untuk satu Minggu."

Satu Minggu? Itu bukan tidak masalah. Setidaknya pemberian Demon lebih manusiawi dari pemberian sang Nenek.

"Kau memang yang terbaik!" seru Lera kemudian memeluk dan memberikan sebuah kecupan tanda terima kasih pada kedua pipi sang sepupu.

Demon memutar kedua bola matanya jengah. Jelas saja dia sudah muak melihat banyak drama yang Lera buat. "Jangan bilang pada Omah kalau aku memberimu uang saku." ia mengingatkan.

"Tenang saja, semuanya aman dan terkendali." jawab Lera seraya membuat gerakan menutup resleting pada mulutnya.

Sebelum Demon berubah pikiran, Lera segera keluar dari mobil dan melambaikan tangan.

Baiklah, setelah menerima uang muka, kini saatnya untuk bekerja keras. Lera mengangguk dan mulai melangkah memasuki gedung dengan penuh semangat.

Terpopuler

Comments

Mom Dee 🥰 IG : devinton_01

Mom Dee 🥰 IG : devinton_01

kasian juga si tuan putri 🤭

2024-02-24

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!