BAB 8

Berjalan mondar-mandir, merutuk dan mengomel sepanjang hari, serta menatap handphone yang layarnya terdapat banyak retakan bukanlah pemandangan yang baru untuk David. Bahkan atasannya itu sudah melakukan kegiatan tersebut sejak beberapa jam lalu sambil mengetuk jemarinya di atas meja dengan konstan.

Kalau saja David berani angkat bicara, rasanya ia ingin memberitahu bosnya kalau ada hal atau kegiatan yang jauh lebih penting daripada menatap handphone yang sudah tidak terbelah dua itu, contohnya seperti menandatangani dokumen atau meninjau lokasi proyek?

"David?" Bian membuka suara setelah berjam-jam lamanya. Sadar atau tidak, David menghela napas lega. Akhirnya .... ya, akhirnya sang atasan menyadari keberadaannya juga. 

"Yes, Sir?"

Bian terlihat ragu-ragu, pria itu beberapa kali membuka mulut namun detik berikutnya mengatupkan bibirnya kembali. Gemas rasanya, namun David tetap bersabar menunggu apa yang akan diperintahkan oleh atasannya tersebut.

Menunjukkan ponsel rusak yang sebelumnya tergolek pasrah di atas meja, Bian kemudian bertanya, "Menurutmu apa aku harus memperbaiki ini atau membeli yang baru?" 

David menaikkan satu alisnya. Jadi, hanya itu yang ada dipikiran bosnya selama berjam-jam ini? 

"Tergantung dari seberapa pentingnya handphone itu. Kalau di dalamnya ada banyak file penting, saya rasa lebih baik diperbaiki." ujar David.

Bian mengangguk beberapa kali. Apa yang dikatakan David memang masuk akal. Akan tetapi ... bagaimana Bian tahu di handphone itu ada berkas pentingnya atau tidak? 

"Kalau aku memperbaiki ini dan ternyata tidak ada berkas penting di dalamnya, Lera pasti berpikir aku tidak mampu membelikan yang baru untuknya."

"Saya akan menca—"

Handphone di atas meja —miliknya— berdering, hal itu membuat Bian lekas memberikan aba-aba pada David untuk menelan kembali apapun yang ingin dia katakan. 

Demon Estanbelt, nama itu tertera pada layar ponselnya. Bian tidak lekas mengangkat panggilan tersebut, di sini dia sedang bermain tarik ulur dengan keluarga Estan. Oleh karena itu Bian tidak ingin terlihat begitu antusias atau Demon akan mengendus rencananya dan mengacaukannya dengan mudah, semudah pria itu membalikkan telapak tangan.

Sudah 46 detik dan sampai saat ini ponsel miliknya masih berdering. Bian rasa apa yang akan Demon sampaikan cukup penting. Namun, disini Bian belum tahu apakah berita yang akan pria itu sampaikan padanya adalah berita baik atau justru berita buruk. Tepat sebelum layar ponselnya meredup, dengan gesit pria itu mengusap layar berwarna hijau. "Ya, Mr. Estan?"

"Hi, Bian. I wanna tell you something."

"What is it? Bad or good news?"

Bian bisa mendengar helaan berat lawan bicaranya dari saluran telpon. 

"Both." jawab Demon, "kau mau dengar yang mana dulu?" 

Sadar atau tidak, Bian menahan napasnya beberapa detik sebelum menanggapi. "Kabar baiknya?"

"Pihak investor bersedia memberikan modal untuk proyek yang sedang kau kerjakan."

Bian mengembangkan senyumnya, ia tidak bisa menyangkal kalau saat ini perasaannya begitu senang. Apa yang ia perjuangkan dan ia kerjakan selama ini tidak sia-sia. 

"Dan kabar buruknya, Lera menolak untuk ditempatkan di perusahaan mu."

Tunggu, apa yang baru saja Demon katakan? Lera menolak bekerja untuknya? Sial, Bian sama sekali tidak memprediksikan hal ini. Ia kira menggiring Lera ke sisinya semulus yang ia bayangkan.

Bian mengepalkan tangannya, kedua giginya saling beradu karena kesal namun ia mencoba untuk bicara dengan santai. "Oh, ya?"

"Kau taulah, dia sangat keras kepala."

"Anda sudah bilang kalau aku akan memberikan upah dua kali lipat padanya?"

"Sudah, tapi Lera tetap menolak. Bahkan dia lebih rela bekerja di sini tanpa bayaran daripada bekerja padamu. Mendengar apa yang Lera ucapkan, jujur saja aku merasa tersentuh, dia tidak pernah melakukan ini sebelumnya, jadi—"

Tidak!

Bian tidak bisa membiarkan hal itu terjadi. Lera, gadis itu harus tetap bekerja di sini, dalam jarak pandangnya bagaimanapun caranya.

"Kalau dia berubah pikiran? Apa kau akan mengizinkannya?" potong Bian dengan cepat.

"Sure."

Setelah panggilan ditutup, Bian segera meraih kunci mobilnya. "Aku akan kembali sebelum jam 1 siang." ucapnya pada David.

Jika menelisik apa yang Demon katakan, ia bisa menarik kesimpulan bahwa gadis itu ada di sana. Dia akan menyusul Lera, dia harus bicara dengan gadis itu dan memikirkan taktik yang bisa membuatnya berada di sisinya.

.

.

.

"Bian akan memberimu upah 2 kali lipat."

Lera kembali berdecak setiap kali teringat ucapan Demon sebelumnya. Cih, seolah iming-iming itu dapat membuat pendiriannya goyah saja. 

Jujur saja, Lera memang membutuhkan banyak uang, sangat. Tetapi jika harus bekerja dibawah kaki pria psikopat itu? Tidak akan! Walaupun dibayar 10 kali lipat pun tidak akan membuatnya tergiur.

Ya, sama sekali tidak!

Satu hal yang membuat Lera tidak habis pikir, kenapa Bian begitu terobsesi untuk membuatnya berada dalam jarak pandangnya disaat ia berusaha untuk menjauh darinya?

"Bian sialan!" umpat Lera, "gara-gara dia, aku jadi lupa untuk mengambil beberapa lembar uang dari dompet Emo!" rutuknya lagi.

Lera melirik jam yang melingkar di tangannya, jarum jam sudah berada di angka 11.00 yang artinya dia sudah berjalan kaki selama satu jam. Rupanya perasaan marah menjadi salah satu amunisi untuk kedua kakinya sampai-sampai ia tidak sadar sudah berjalan sejauh dah selama itu.

"Apa sih yang pria itu mau huh? Kenapa dia harus ikut campur dalam hidupku? Masa gara-gara tendangan yang tak seberapa keras dua hari yang lalu membuatnya setega ini? Apakah membuat handphone ku rusak masih belum cukup juga?" kali ini ocehannya dibarengi dengan hentakan kaki. 

"Daripada bekerja untuk Bian, lebih baik aku mengamen di jalan!" Lera kembali bersungut.

Melihat sebuah kaleng di jalanan, dengan sekuat tenaga gadis itu menendang kaleng tersebut tanpa ampun. "Lihat saja, aku akan membuktikan pada kalian semua kalau aku, Lera Neurasasta Aditama, bisa bertahan hidup tanpa kemewahan keluarga Estanbelt sekalipun!" teriaknya sebagai penutup. 

Setelah mengeluarkan kegundahan hatinya tadi Lera sedikit merasa lega, setidaknya sebelum ia mendengar suara 'CRACK' dari sebuah mobil yang terparkir di sisi jalan.

"Ya Tuhan! Apa yang baru saja aku lakukan?"

"Apa yang kau lakukan pada mobilku?"

Lera menahan napas sesaat setelah membalikkan badan dan mengetahui siapa pemilik mobil naas tersebut. 

Sudah jatuh, sekarang tertimpa tangga pula!

Entah mengapa perumpamaan itu terdengar pas untuk situasinya saat ini. Seseorang yang ia benci, seseorang yang tidak ingin ia temui baru saja keluar dari sebuah toko bunga. Seorang pria yang Lera yakin itu adalah kaki tangannya berdiri tepat di belakang Bian, tatapannya seperti sinar laser mematikan.

Astaga, rasanya Lera ingin meleleh ke aspal dan menghilang daripada harus berhadapan dengan Bian.

Terpopuler

Comments

Ferdiansyah Bulungan

Ferdiansyah Bulungan

oooo GT to critanya, lht sja bisnis nanti km bakalan bucin

2020-05-12

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!