BAB 10

"Kau mau membawaku kemana?" tanya Lera penuh kewaspadaan.

Pertemuan mereka hanya terjadi beberapa kali, Lera jelas tidak begitu mengetahui sosok pria di sampingnya selain dia adalah salah satu rekan bisnis sang sepupu —yang sinting dan gila.

Menoleh ke samping, Bian melihat gadis itu sedang berpangku tangan sambil menatap keluar jendela. Bian tersenyum, wajah Lera memang terlihat santai namun dari gerak kakinya yang mengetuk-ngetuk tidak jelas seperti itu membuat Bian tahu kalau sebenarnya dia sedang gelisah.

"Ke tempat makan, bukan ke apartemenku." jawabnya yang ditanggapi Lera dengan dengkusan, "oh, maaf kalau membuatmu kecewa, ladies. Akan ada waktunya untuk membawamu kesana, tenang saja." sambungnya bersamaan dengan satu kedipan menggoda.

Lera memutar kedua bola matanya sebal, "Bicaralah dengan stir mobilmu, brengsek!" umpatnya kemudian. Bukannya tersinggung, pria itu justru tergelak.

Bian kembali melirik gadis itu, mengamati bagaimana penampilannya yang sangat bertolakbelakang dengan saat mereka bertemu pertama kali di sebuah taman. Kalau tidak salah ingat, saat itu Lera terlihat begitu elegan dengan memakai sebuah dress creamy, wajahnya yang terpoles make-up natural membuatnya terlihat cantik, sangat cantik.

Namun sekarang, dia hanya memakai kaos yang sudah tidak terlihat baru dengan celana jins belel dan wajah tanpa make-up. Pasti sangat berat untuk menjalani kehidupan yang 180 derajat berbeda dari biasanya.

Bian teringat ucapan David yang ia tugaskan untuk mencari tahu tentang kehidupan gadis itu.

"Namanya Lera Neurasasta Aditama. Dia anak dari Andrew Aditama, sejak kecil dia hanya tinggal dengan Ayahnya di Australi, dan pindah ke Jakarta pada usia 13 tahun, saat itu dia tinggal dengan Neneknya, Nyonya besar dari keluarga Estanbelt yang sering dipanggil Omah Sinta." ujar David panjang lebar.

"Ibunya?" tanya Bian penasaran karena sedari tadi informasi tentang ibu Lera sama sekali belum disinggung.

"Ini yang membuat saya miris, Tuan. Ibunya meninggal saat dia berusia 7 bulan karena menderita sakit keras."

Bian terhenyak, senyum miris terlukis di sudut bibirnya. Menjalani kehidupan tanpa kehadiran seorang ibu jelas bukanlah perkara mudah. Rasa iri dan haus akan kasih sayang jelas menggerogoti hatinya, harta boleh melimpah namun itu sama sekali tidak dapat mengisi kekosongan itu.

"Lalu, bagaimana dengan keberadaan ayahnya?"

"Tuan Aditama tidak mau menetap di Indonesia karena masih belum bisa menerima kematian istrinya, beliau menyibukkan diri untuk mengurus perusahaan di Australi," jelas David, ekspresi wajah Bian seketika mengeras. Ia jadi teringat sosok pria brengsek yang telah menelantarkan dirinya dan Ibunya.

"Dilihat dari manapun atau dari sisi manapun aku memang cantik, Bian. Tapi maaf, aku sama sekali tidak tertarik padamu." suara Lera menyentak Bian dari ceceran ingatan semalam.

Bian mengerling, "Bagaimana kalau aku bisa membuatmu tertarik padaku?"

"Tidak akan."

"Kenapa?"

"Karena aku sudah punya seseorang yang aku cintai dan akan aku nikahi nanti."

Lera memicingkan kedua matanya saat melihat respon Bian yang seolah meragukan alasannya.

"Cowok yang kau temui di parkiran kampus?"

"Bagaimana kau tahu?"

Bian terkekeh, "Hanya menebak."

Lera menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. "Kau benar. Dia orangnya. Sosok pria tampan dan manis, tidak seperti seseorang." ujarnya sambil memberi tatapan tidak suka pada Bian.

"Bagaimana kalau kita bertaruh?"

"Bertaruh?"

Bian menyunggingkan senyumnya. "Hn, kita bertaruh, kalau aku bisa membuatmu tertarik padaku—"

Belum selesai, pria itu bahkan belum memberikan pilihan pada gadis itu namun sudah dipotong dengan lugas. "Lupakan, aku sama sekali tidak berminat dengan permainan bodoh-mu itu."

"Kau takut?" tanya Bian, tangan pria itu dengan cekatan menekan tombol sen dan memutar stir memasuki area restoran.

"Aku tidak takut, aku hanya tidak tertarik dengan permainan bodoh yang coba kau mainkan." tolaknya dengan tegas.

Lera mengedarkan tatapannya ke sekeliling untuk memastikan dimana mereka berada. L'Oliveto, Lera membelalakkan matanya tidak percaya, ia kemudian menatap sosok Bian —yang sudah turun dari mobil dan pria itu tengah berjalan memutar untuk membuka pintu penumpang— dengan tatapan ngeri.

Kenapa dia membawaku ke tempat seperti ini? Apa dia berusaha untuk mempermalukan ku? Bian sialan!

"Ayo turun."

Lera menggeleng, "Tidak, kau saja."

Bukan, Lera bukannya tidak menyukai masakan Italia. Dia hanya ... tidak mampu membayar? C'mon, kalian tahu bahwa saat ini kehidupan dan keuangannya sangat tidak memungkinkan untuk dirinya berada di dalam restoran manapun.

Masuk ke sana hanya untuk melihat Bian menyantap makanan lezat bukanlah pilihan terbaik. Lera tidak mau mempermalukan dirinya sendiri, perutnya jelas akan membunyikan genderang perang karena sejak pagi ia belum memakan apapun.

"Lera cepat turun, aku sangat lapar." suara Bian mulai terdengar menyebalkan dan tidak sabar.

"Tapi aku tidak lapar!"

"Kalau kau tidak lapar ya sudah, kau cukup duduk dan temani aku makan karena aku tidak suka makan sendirian." Bian kembali berujar, ia masih berdiri di depan pintu penumpang, menunggu Lera keluar.

"Kalau kau tidak suka makan sendiri, seharusnya kau pulang dan makan dengan Ibumu!" sungut Lera.

Bagi sebagian orang kata-kata itu mungkin terdengar biasa saja, namun tidak untuknya. Bian membeku ditempatnya, raut wajahnya berubah menegang. Tatapan yang sebelumnya lembut kini menjadi dingin dan galak.

'Apa aku salah bicara? Kenapa Bian terlihat marah?' batin Lera bertanya-tanya. Perasaannya tiba-tiba saja merasa tidak nyaman, belum lagi Bian yang terlihat masih bungkam.

"Aw, kepalaku!"

Lera berteriak karena tanpa aba-aba pria itu langsung menggendongnya keluar dari mobil dan membawanya pergi ke dalam restoran, dia berjalan menuju sebuah ruangan yang privat lalu membantingnya ke atas sofa.

Apa-apaan sih pria ini?! Lera menggeram dalam hati sambil menatap pria itu kesal.

Rasanya Lera ingin sekali menendang Bian karena sudah berbuat seenak jidatnya. Tapi, berhubung ia berada di sebuah ruangan tertutup, yang tidak bisa dilihat oleh orang lain, hal itu membuat nyalinya menciut. Dia tidak pernah bisa menebak apa yang akan pria itu lakukan padanya.

"Dua kali, Bian. Pertama kepalaku yang terbentur pintu mobil dan sekarang tanganku huh?" Lera memijit tangannya yang terasa sakit, saat Bian membantingnya tadi tangannya jatuh mengenai pinggiran meja yang tak jauh dari sofa.

Seakan baru sadar dengan apa yang sudah dilakukannya, Bian terlihat terperangah. "Aku minta maaf." Dia segera mendekat dan melihat tangan Lera, "sakit?" ia kemudian memijatnya perlahan.

"Tentu saja sakit, bodoh!" omel Lera, dia segera menarik tangannya.

"Aku benar-benar menyesal." ucapnya lagi, wajah tegangnya beberapa saat lalu sudah kembali rileks dan tatapannya kembali melembut. "Aku janji tidak akan melakukan hal itu lagi."

"Hal apa?" pancing Lera.

Entahlah, pria ini sangat tidak bisa dipahami. Emosinya sangat cepat berubah-ubah, detik lalu bersikap kejam namun detik berikutnya bersikap lembut seperti ini.

"Melampiaskan amarah pada orang lain." suara Bian terdengar pecah dan parau.

Lera mengerutkan keningnya. Apa maksud dari kata-katanya itu? Apa dia sering melakukan hal kasar seperti tadi pada orang-orang yang membuatnya kesal?

Rasanya Lera ingin kembali mengorek informasi tentang pria di depannya namun ketukan pintu membuatnya mengurungkan diri. Bian berjalan untuk membuka pintu dan setelahnya beberapa orang masuk dengan membawa berbagai makanan yang membuat kelenjar liur Lera langsung bekerja dua kali lipat.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!